SAMARINDA,BERITAKALTIM.com- Acara rembuk banjir di Samarinda dilaksanakan di kantor Gubernur pekan lalu, menghadirkan sejumlah pakar yang didatangkan dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Narasumber penanganan banjir yang datang di antaranya Prof Indratmo Soekarno dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir Edi Setiabudi Sujono dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Prof Sigit Hardwinarto dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Pembahasan masalah banjir ini juga menghadirkan ahli dari Haskoning DHV Belanda, Adrianus Reinen Van Nes. Menariknya lagi, Sekretaris Kota Samarinda Dr Zulfakar, yang berlatar pendidikan teknik sipil tampil sebagai pembicara pertama.
Menurut pandangan Zulfakar bahwa salah satu cara mengurangi persoalan banjir di Samarinda adalah dengan menekan debit air dari hulu, sementara di tengah dan hilir daya tampung air diperbanyak dengan membangun polder-polder baru. “Seperti kata gubernur, penanganan banjir ini harus holistik dan tidak mungkin selesai dengan cara-cara parsial,” ujarnya.
Nara sumber lain, Prof Indratmo Soekarno dari ITB berpendapat bahwa bebas banjir merupakan hal yang sangat mustahil. Di banyak negara, banjir kecil dan banjir besar pun masih sering terjadi.
Penyebabnya pun beragam, selain faktor perubahan iklim yang ekstrem, perilaku manusia juga memberikan kontribusi besar penyebab terjadinya banjir. Karena itu, banjir menurut profesor dari ITB ini tidak bisa dihilangkan tapi bisa dikendalikan.
“Jadi Saran saya, waduk-waduk baru harus dibangun di lokasi-lokasi strategis yang sudah diperhitungkan. Dalam debit air yang melimpah air bisa dibendung untuk mengurangi banjir, sementara dalam kondisi yang lain, debit air waduk bisa dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dan air bersih masyarakat,” terang Indratmo memaparkan.
Sedangkan Adrianus Reinen Van Nes dari Haskoning DHV Belanda, lebih menekankan kesadaran bersama seluruh stakeholder untuk berpikir positif, menganggap banjir sebagai potensi atau sumber daya yang akan memberikan banyak kebaikan dan tidak selalu menganggap sebagai hal yang buruk.
Caranya, dengan menyiapkan sistem penanganan banjir yang disepakati bersama sehingga air hujan yang datang benar-benar dapat dikelola secara baik dan menjadi berkah, dan bukan turun sebagai musibah.
Pesan menarik lainnya disampaikan Ir Edi Setia budi Sujono dari Institut Teknologi Surabaya (ITS). Dia menyebutkan, Walikota Surabaya bersama masyarakat setempat, mahasiswa dan marinir membersihkan sampah yang menggunung di pintu air Bozem Morokrembangan tanpa APBD. Sampah dan enceng gondok bisa dibersihkan tanpa APBD.
Melibatkan masyarakat dalam kesadaran bersama akan menjadi kunci penting untuk mengurangi persoalan banjir di Samarinda. Salah satunya dengan tidak membuang sampah ke sungai, parit dan selokan,” beber Setia budi.
Diakhir pembahasan rembuk banjir ini kemudian menghasilkan 11 rumusan hasil yang akan menjadi rekomendasi tindak lanjut penanganan banjir di Samarinda selanjutnya. Pengendalian banjir Samarinda disepakati sangat terkait dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam, sehingga memerlukan keterlibatan Pemkab Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Pemprov Kaltim dan Pemerintah Pusat serta Pemkot Samarinda sebagai kawasan terdampak. Prinsip yang direkomendasikan adalah “One River, One Plan, One Management”.
Acara rembuk rakyat penanganan banjir ini juga dihadiri Walikota Samarinda Syaharie Jaang, Wakil Walikota Nusyirwan Ismail, Wakil Bupati Kutai Kartanegara HM Ghufron, Pj Bupati Mahakam Ulu, MS Ruslan dan sejumlah Anggota DPRD Kaltim dan para ketua RT, lurah dan camat se-Samarinda.
Terkendala Pembebasan Lahan
Secara khusus Awang Faroek menguraikan langkah-langkah konsisten Pemprov Kaltim untuk membantu penanganan banjir di Samarinda. Dimana sejak 2011 hingga 2013, Pemprov Kaltim telah menyiapkan anggaran tidak kurang dari Rp605 miliar untuk penanganan banjir di Samarinda. Sayangnya dana multiyears contract tersebut hanya terserap tidak lebih dari separuhnya saja.
Persoalan terbesarnya adalah pembebasan lahan yang masih sulit diselesaikan oleh Pemkot Samarinda akibat harga jual dan nilai ganti rugi yang sangat tinggi ditawarkan para pemilik lahan.
Bahkan tidak jarang, pada titik-titik yang akan dibebaskan itu, sudah berdiri bangunan-bangunan kokoh yang juga menuntut nilai pembebasan yang sangat tidak sebanding dari nilai jual objek pajak (NJOP).
Mengapa anggaran Rp605 miliar yang kita siapkan tidak bisa terserap seluruhnya? Itu karena tidak tuntasnya pembebasan lahan. Masalahnya memang tidak sederhana. Dananya ada, tetapi tidak bisa digunakan karena lahannya tidak bisa dibebaskan karena tuntutan ganti rugi yang terlampau tinggi,” ungkap Awang Faroek .(ib)
Trending
- KPK Sebut Inisial AFI Sebagai Tersangka Dugaan Korupsi di Kaltim
- BMKG catat 19 kali gempa susulan di Berau Kalimantan Timur
- Unjuk Rasa di Depan Kantor DPRD Kaltim Sempat Memanas, Massa Enggan Bubar Sampai Malam
- Pj Gubernur Kaltim Naik Heli Tinjau Banjir Mahulu, Pastikan Infrastruktur Masyarakat
- Banjir Mahakam Ulu, Pemkab Tetapkan Status Tanggap Darurat
- Bantuan Korban Banjir Mahakam Ulu Masih Tertahan di Kutai Barat
- Banjir Besar di Mahakam Ulu, Gubernur Akmal Malik Kerahkan Bantuan Darurat
- Jalan Trans Sulawesi lumpuh akibat luapan banjir
- Artis Epy Kusnandar ditangkap polisi akibat narkoba
- Gunung Semeru kembali erupsi dengan letusan setinggi 800 meter