BeritaKaltim.Co

Derita Warga Kampung Kukar yang Diapit Dua Jalan Tambang

ketua rt DUSUN DURUNG Warga terkena penyakit gangguan pernapasan akibat debu hauling batubara (3)LOA KULU, BERITAKALTIM.com- Inilah cerita pilu warga yang rumah tinggalnya diapit oleh perusahaan-perusahaan tambang batu bara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tercatat, pemerintah di daerah itu telah menerbitkan 443 izin usaha pertambangan (IUP).

Salah satunya adalah Desa Durung, sebuah dusun yang berada sekitar 8 kilometer dari pusat desa Jembayan Kecamatan Loakulu atau sekitar 1 jam perjalanan jika ditempuh dari pusat kota Tenggarong. Dusun Durung merupakan pemukiman kecil yang didiami oleh 125 kepala keluarga yang 90 persen masyarakatnya adalah petani. Warga desa yang bertarung nasib di sana terdiri dari suku sunda, banjar, tanatoraja, dan suku dayak.

Sejak hadirnya aktivitas pertambangan pada tahun 2009, dimulailah cerita derita warga Dusun Durung. Dimulai dari dibuatnya 2 jalan hauling (jalan angkutan tambang) yang digunakan oleh 3 perusahaan tambang batu bara, yaitu PT Bara Kumala Sakti, PT Astaminindo dan Beringin Jaya Abadi.

Dusun Durung diapit oleh 2 jalan hauling yang jaraknya kurang dari 500 meter dari pemukiman dan pertanian warga. Akibatnya warga Durung harus ‘menikmati’ debu yang disebabkan oleh aktivitas hauling tersebut.

Resiko gangguan Kesehatan berupa gangguan saluran pernapasan pun tak terelakkan lagi. Debu baik dari aktivitas angkutan tambang ataupun dari batu bara diketahui sangat berbahaya jika selalu terhirup oleh manusia, karena mengandung logam berat seperti timbal (Pb) dan silika. Partikel debu itu akan terakumulasi dalam tubuh manusia yang lambat laun mengakibatkan rusaknya kesehatan warga.

Bapak Martadi yang juga ketua RT di Dusun Durung menunjukan hasil pemeriksaan rumah sakit AM Parikesit. Di situ memperlihatkan derita yang ia alami. Bapak Martadi mengalami ganguan pernapasan akut semenjak hadirnya aktivitas tambang di dusunnya, akibat seringnya ia menghirup debu aktivas tambang PT BKS, Astamindo dan Beringin jaya Abadi.

Tak jauh berbeda dengan apa yang diderita oleh Bapak Martadi, Ibu Salasiah juga mengalami penderitaan serupa. Sambil menunjukkan hasil pemeriksaan dari rumah sakit , Ibu Salasiah mengungkap gangguan pernapasan yang dia alami.

Tak berhenti sampai di sana penderitaan warga Durung juga makin bertambah dengan hilangnya sumber air warga.

Air merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Sebelumnya warga Durung biasa menggunakan sungai dan sumber air di daerah mereka untuk aktivitas sehari-hari seperti mencuci pakaian, kakus bahkan digunakan untuk minum dan memasak. Namun hadirnya 2 hauling di daerah warga menyebabkan hilangnya sumber-sumber air mereka.

Warga tak dapat lagi menggunakan air yang ada dikarenakan selain sulit didapat, kualitas airnya pun sangat buruk. Akibatnya ancaman penyakit kulit pun dirasakan oleh warga durung. Salah satunya adalah sakit kulit dan gatal-gatal yang diderita oleh Bapak Masrani.

Saat ini seluruh warga Durung setiap bulannya harus mengeluarkan biaya untuk membeli Alumunium Sulfat [Al2(SO4)3.18H2O ] yang digunakan menjernihkan air mereka. Air ini hanya bisa digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian saja. Sedangkan Untuk keperluan minum dan memasak warga harus membeli air galon.

Ibu Rita yang memiliki 3 orang anak mengaku menggunakan air galon sebanyak 4 galon perhari untuk kebutuhan keluarganya dengan harga 5.000 rupiah pergalon. Jika dihitung maka setiap harinya Ibu Rita harus mengeluarkan uang sebesar 20.000 rupiah atau 600.000 rupiah per bulan hanya untuk keperluan air keluarga. Tentunya ini semakin memperberat beban ekonomi yang ditanggung keluarganya yang hanya seorang petani.

Ancaman lain yang harus dihadapi warga Durung adalah rusaknya mata pencaharian dan lahan ekonomi warga Durung.

Awalnya Durung sempat dikenal sebagai penghasil sayur-mayur seperti kacang, ketimun dan labu yang cukup ternama di Loa Kulu. Hasil pertanian mereka biasa dipasarkan di Loa Kulu hingga Loa Janan dan Samarinda. Ibu Asriyani seorang petani Durung, mengaku bisa memperoleh omzet hingga Rp30 juta per 3 bulan dari hasil 2 hektar tanam sayur mayur. Namun setelah tambang hadir, hasil yang diperoleh menurun drastis. Bahkan hanya dapat mencapai 7 sampai 10 juta rupiah per 3 bulan. Jika dihitung dengan biaya pupuk yang dikeluarkan sangat tidak sebanding. Hal serupa juga menimpa sebagian besar warga Durung yang mayoritas memang bergantung dari hasil kebun dan pertanian. Tak jarang warga mengalami gagal panen.

Tak cuma itu, banjir juga sering melanda kawasan pemukiman dan pertanian warga. Banjir yang membawa partikel-partikel tanah dan lumpur ini disebabkan daerah resapan air yang sudah berubah menjadi jalan hauling. Menurut warga, Sungai Jembayan dan sungai-sungai kecil yang seharusnya menjadi tempat mengalirnya air disaat musim hujan telah hilang akibat tertutup tanah aktivitas angkutan tambang. Bahkan banjir tersebut bisa mencapai ukuran pinggang orang dewasa. Kerugian warga pun makin bertambah dikarenakan ternak dan tanaman yang mereka tanam akhirnya mati terendam banjir lumpur tersebut.

Penderitaan warga tidak berhenti sampai di situ saja. Warga Durung sudah hampir 4 tahun memperjuangkan hak-hak mereka dan mengadukan penderitaan mereka kepada pemerintah Kukar. Namun tak ada respon sedikit pun dari pemerintah Kukar. Bahkan Pemerintah Kukar terkesan membiarkan dan hanya menjadi penonton atas penderitaan yang warga alami.

Keinginan warga Durung saat ini sederhana; yaitu agar hak-hak warga yang selama ini terampas dapat diselesaikan. Warga juga menolak hadirnya 2 hauling beserta aktivitas tambang yang selama ini ada di daerah mereka.

Warga durung hanya sedang memperjuangkan hak-hak yang dirampas oleh hadirnya perusahaan tambang baik hak untuk kesehatan, hak ekonomi dan hak lingkungan hidupnya. Tapi yang dilakukan pemerintah Kukar, alih–alih melindungi warganya, pemerintah Kukar malah lebih melindungi kepentingan perusahaan tambang. #rilis GKM

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.