JANGAN sekali-kali melupakan sejarah atau disingkat Jasmerah sebagai semboyan yang sering diucapkan sang Proklamator Soekarno, juga berlaku bagi Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. Ini tergambar saat Jaang mengukuhkan Pengurus Balakar sub rayon Karang Mumus kecamatan Samarinda Kota di halaman Asrama Kutai Kartanegara Jl Muso Salim.
Momen special ini sekaligus menjadi ‘edisi’ nostalgia Jaang, yang semasa kuliah menjadi penghuni Asrama Kutai (sekarang asrama Kutai Kartanegara) sejak tahun 1985. Minggu (15/3) itu, Jaang sengaja datang lebih awal dari jadwal acara pengukuhan.
Keluar dari mobil, Jaang langsung bergegas menuju kamar 07 asrama Kutai itu. “Dulu saya di sini. Tapi sekarang sudah direhab, sudah jauh lebih bagus dari zaman kami waktu itu,” kenang Jaang. Kemudian Jaang pun berkeliling sambil diiringi warga-warga Gg 4 (dulu Gg 16), yang tidak lain teman-teman Jaang sewaktu di asrama, seperti Sultan Agus, Ambi dan lainnya.
Usai berkeliling, acara pengukuhan Balakar Sub Rayon Balakar dimulai ‘menasbihkan’ Sultan Agus selaku ketua bersama relawan lainnya. Selanjutnya Jaang menyampaikan sambutan. Belum membuka kata sambutannya, dari bangku undangan, tiba-tiba ada ibu-ibu menyeletuk. “Pak masih ingatkan, ulun kawal pian (saya teman anda, red) main voli bahari,” celetuk ibu rambut panjang berkaca mata sambil tertawa mengenang.
Jaang pun spontan tersenyum dan tertawa. “Ingatlah. Di sini inikan lapangan volinya. Ini sejarah, bagaimana Syaharie Jaang dulu, anak yang lahir jauh di tanah hulu Long Pahangai, dan tidak disangka 2 periode wakil wali kota dan sekarang wali kota Samarinda. Jaang dulu pernah tinggal di asrama, mulai tahun 1985 di kamar 7,” ucap Jaang bernostalgia dalam sambutannya.
Jaang juga bercerita tidak jarang mandi di sungai Karang Mumus, karena air PDAM diputus. “Namanya kekanakan mahasiswa, yang beisi motor hampir tiap hari mencuci motor. Padahal kita di asrama sudah dibatasi pemakaiannya, jadi sampai diputus,” kenang Jaang.
Tidak hanya itu, Jaang juga pernah pulang dari kampusnya Universitas Widya Gama Mahakam di Bakom Ruhui Rahayu dengan berjalan kaki karena kehabisan uang. “Pernah jua ada kekawalan membawai ke undangan kawinan. Langsung kita rapi-rapi, ada sampai meminjam batik. Namanya mahasiswa, senang dapat makan nyaman dan gratis. Tapi pas sudah pulang, kami takuni siapa yang mengundang, tidak ada yang tahu. Astagfirullah, mohon ampun mohon maaf, minta reda, namanya kita diajak kekawalan. Sebujurnya kalau undangan resepsi ini, perbaikan gizi kita,” seloroh Jaang.
Yang paling berkesan lagi, Jaang menjadi cucu tersayang Nenek Memem. “Kalau jualan nenek (jual roti gembung) tidak habis, saya yang paling pertama dipanggil. Makannya dicelupkan ke teh dan sambil nonton TV. Sampai sekarang, rutin saya ke rumah nenek tapi datang malam. Sampai saat ini, TV, kursi dulu masih ada,” kenang Jaang lagi.
Sebelum pulang, Jaang kembali menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan Nenek Memem.(***)
Teks: Nenek Memem pun hanya tertawa mengenang kisah dulunya bersama Syaharie Jaang semasa masih di Asrama Kutai, yang sering dipanggil Nenek ke rumahnya makan roti gembung.