BeritaKaltim.Co

9 Anak Meninggal, Hukum Terkunci

mayat korban Reihan saat dievakuasiRaihan adalah korban ke sembilan menyusul 8 anak lain yang tewas serupa di lubang bekas tambang batubara yang beracun dan dibiarkan menganga tanpa direhabilitasi.

Sejumlah perusahaan yang patut bertanggung jawab atas kejadian maut ini adalah PT Hymco Coal (2011), PT. Panca Prima Mining (2011), PT. Energi Cahaya Industritama (2014) dan lubang yang disebut-sebut warga diduga merenggut nyawa Raihan PT. Graha Benua Etam (GBE).

PT. Graha Benua Etam (GBE) terdaftar dengan Nomor SK IUP: 545/267/HK-KS/V/2011 dan beroperasi dengan luas 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011 dan izinnya akan berakhir pada 9 November 2015. PT Graha Benua Etam ini adalah perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus Gratifikasi kepada Kepala Dinas Pertambangan Samarinda. GBE juga seringkali disebut dalam evaluasi bulanan tambang yang pernah digelar pemkot tahun 2012-2013 sebagai perusahan paling tidak taat, bahkan pernah dihentikan sementara.

Dari evaluasi tambang yang dilakukan Distamben dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Samarinda, PT GBE rupanya sudah dua kali dibekukan. Bahkan PT GBE mau mencuci tangan dengan mengembalikan IUP, namun ditolak. Sebab belum menutup lubang tambang. Dari tujuh lubang, baru satu yang selesai ditimbun, sedangkan sisanya belum.

Warga di dekat lubang tambang menyatakan bahwa lubang bekas tambang batubara ini ditinggalkan nyaris 3 tahun lamanya. Situasi ini jelas melanggar Pasal 19-21 Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib di reklamasi.

Lubang bekas tambang ini juga ditemukan amat dekat dengan pemukiman dan diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman warga, kenyataannya jarak hanya 50 meter saja.

Di lokasi kejadian juga terlihat bahwa perusahaan juga tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.

Inilah dilemanya, para aktivis berpendapat terhadap Wali Kota Samarinda dan Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), sebab unsur “barang siapa”, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UU PPLH, “Setiap pejabat berwenang”, “tidak melakukan pengawasan”, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan”, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.

Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, JATAM Kaltim pada 24 April 2013 dan 21 April 2014 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian, DPR RI hingga Komnas Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Namun hingga saat ini belum ada respon dari lembaga-lembaga tersebut.

Penyidikan kasus ini berlarut-larut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara pun mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan. Jika pasal 184 tersebut tak terpenuhi penyidik semestinya tetap meneruskan penyidikan dengan terus membuka diri dan transparan atas perkembangan penyidikan kepada publik. #rilis JATAM

Leave A Reply

Your email address will not be published.