SEMBURAT cahaya tampak liar ke sana kemari dari senter kecil itu. Di tengah pekatnya malam dan rimbanya hutan, empat orang lari tergopoh-gopoh. Dirangkulnya empat orang lain yang sedang merintih menahan perih. Tak tampak apa-apa di jalan setapak itu, selain kubangan lumpur beratus-ratus meter.
Muara mereka tertuju pada sebuah rumah panggung sederhana nun jauh di dalam sana, di tengah semak belukar dan ilalang. Tiba di anak tangga, empat orang itu
bergegas menggedor pintu rumah dari kayu yang sudah lapuk dimakan umur. Padahal jarum jam di dinding kala itu sudah menunjuk angka 4 dini hari. Pintu
terbuka, sesosok perempuan berdiri di depannya. Mak Kumala namanya. “Masuk, masuk,” sigap perempuan sepuh itu.
Tanpa pikir panjang, empat orang tadi kontan membawa saudara dan kolega mereka menuju ruangan tengah di rumah itu. Direbahkanlah mereka secara bergantian di atas kasur. Ada yang menderita panas tinggi, dan ada pula yang muntah-muntah. Semua dilayani dengan sabar dan hati-hati oleh Mak Kumala.
Di Nyerakat Kiri, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Mak Kumala bukan sekadar “dokter kampung”. Ia adalah simbol pengharapan atas
kesembuhan pelbagai penyakit yang mendera masyarakat di sana. Bukan hanya sakit jasmani, melainkan juga kejiwaan. Mak Kumala bak seorang psikolog yang juga mampu menenangkan jiwa seseorang yang sedang mengalami trance.
Peristiwa di atas bukan sekali terjadi di sana, tapi saban pekan. Bagi masyarakat di Nyerakat Kiri, kehadiran puskesmas pembantu di sana tak menjadi soal.
Malah bagus. Tapi mereka tidak sepakat jika laku ritual pengobatan yang sudah ada sejak berlaksa tahun lalu, dianggap tidak memiliki peran apa-apa. Apalagi
jika sampai ada program pemerintah setempat yang ingin menghapus praktik pengobatan ala orang-orang Nyerakat Kiri ini. “Dua-duanya tidak bisa dihilangkan,
kalau tidak bisa di dokter ya di dukun,” kata Mak Kumala.
Dukun, bagi Mak Kumala, lebih berperan daripada dokter. “Dukun bisa dipanggil ke mana-mana. Kalau dokter kan enggak punya kebiasaan mengunjungi pasien,”
tutur Mak Kumala.
Di Kota Taman –julukan Bontang– seringkali praktik pengobatan yang diyakini oleh masyarakat pedalaman dituding tak ilmiah dan tidak masuk akal. Tapi bagi
kebanyakan masyarakat di sana justru menganggapnya sangat masuk akal. Mak Kumala dapat membuktikannya, bahwa pengobatan tradisional yang mereka lakukan masuk akal. Pernah salah seorang saudaranya bernama Beda, hampir setahun mengalami sakit kepala. Berkali-kali Beda dijujuk ke puskesmas, diberi obat pun pelbagai macam. Tapi tidak juga kunjung sembuh. Beda sempat pula dibawa ke seorang dokter di Kota Bontang. Kondisinya juga sama; tak ada perubahan.
Dalam diagnosa medis, Beda dinyatakan tidak mengidap penyakit apapun. Di puskesmas, Beda sempat pula diberi obat. Namun selama mengkonsumsi obat tersebut, efeknya pada penglihatan Beda menjadi kabur. Mak Kumala menggambarkan, Beda hampir menelan satu kilo obat dari puskesmas sepanjang menderita sakit kepala itu. “Tetapi enggak tahu bagaimana setelah diobati lewat Bebalai (sebuah ritus yang dipercaya masyarakat Nyerakat Kiri, Red.) sembuh. Sampai hari ini dia enggak sakit lagi,” kisah Mak Kumala.
Bagi Mak Kumala, tak jadi soal pengobatan modern ada di Nyerakat Kiri. Tapi masyarakat di sana sudah kadung bagaimana cara hidup bersih dan sehat ala
leluhur. Itu sebabnya, Konsepsi sehat antara masyarakat di Nyerakat Kiri dengan dunia medis modern tentu berbeda. “Menurut dokter, ada cara bagaimana cara
hidup sehat. Kami juga punya bentuk-bentuk bagaimana berobat, bersih diri dan bersih kampung,” beber Mak Kumala.
Dari turun temurun, Mak Kumala mengaku punya cara sehat sendiri. Misalnya saja, bagaimana harus menghargai keberadaan mahluk halus. Kalau ingin menebang
pohon, harus melakukan dulu ritual Hambur Beras Kuning supaya penghuni pohon tidak marah dan mengganggu manusia. “Ya cara sehat yang baik pertama-tama
memelihara adat,” tutur Mak Kumala.
Bagi Mak Kumala dan masyarakat di Nyerakat Kiri, penyakit tidak hanya bisa datang akibat tubuh manusia yang tak seimbang. Tetapi juga karena pengaruh dari
luar seperti mahluk halus. Pun bisa juga dari leluhur yang coba menegur dan menagih janji karena mereka mulai tidak melaksanakan ritual adat. Ya,
keseimbangan kehidupan alam, termasuk di dalam tubuh manusia, dapat dicapai melalui pelaksanaan ritual yang mereka yakini. “Kalau ritual adat lama tidak
dilakukan, ada saja di antara keluarga kami yang sakit,” sebut Mak Kumala.
Dalam pandangan kosmologi masyarakat di Nyerakat Kiri, ritual yang mereka lakukan dapat menyeimbangkan segalanya. Penghuni sungai, karang, laut, hutan, bisa ditenangkan dengan sebuah ritual dan memberi makan masyarakat dan penghuni kampung. Maka tak heran, bila berkunjung ke Nyerakat Kiri, bendera berwarna kuning dapat ditemui di setiap sudut rumah masyarakat. Bendera itu sendiri berukuran kecil, tingginya sejengkal. Ini tak hanya menjadi tanda “pertemanan” mereka dengan mahluk halus. Tetapi juga sebagi tanda “persahabatan” agar rumah itu tidak diganggu segala sesuatu yang gaib.
Penolakan terhadap praktik pengobatan tradisional ini sejatinya pernah diutarakan Endang, seorang dokter di puskesmas pembantu di Nyerakat Kiri. “Saya tidak
sepakat dengan model pengobatan seperti dukun itu. Tapi saya juga tidak bisa melarang masyarakat pergi berobat ke dukun. Orang-orang di kampung tahu bahwa
jam kerja saya hanya di puskesmas. Sementara dukun bisa 24 jam,” aku Endang, saat itu.
Memang, sejak 1993, puskesmas pembantu sebenarnya mulai hadir di tengah masyarakat Nyerakat Kiri. Namun baru aktif beroperasi beberapa tahun terakhir,
seiring pembangunan di Kelurahan Bontang Lestari. Tapi sudah lama pula, masyarakat Nyerakat Kiri menggunakan praktik pengobatan tradisional ala Mak Kumala.
Bukan saja pandai menyembuhkan pelbagai penyakit. Mak Kumala juga dikenal sebagai dukun beranak. Nyatanya, kehadiran puskesmas pembantu di sana tidak membuat peran Mak Kumala ditinggal. #fs