LAIN Nyerakat Kiri, lain pula di Bontang Kuala. Kawasan yang berada di Kecamatan Bontang Utara itu jauh lebih modern. Terletak di pesisir, masyarakat bermukim di atas laut. Konon, merekalah penduduk pertama di Kota Taman –julukan Bontang.
Di sana, Ritual Bebalai menjadi hajat tahunan dalam rangkaian Pesta Laut, sebuah perayaan adat dari kerajaan tertua di Nusantara; Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Sejak lama, ritus ini diyakini sebagai penyeimbang pelbagai hal di Bumi.
Itu musababnya, baik mereka di Nyerakat Kiri dan Bontang Kuala, akan berbuat apa saja untuk memastikan ritus ini tetap lestari dan tak lekang oleh zaman. Seperti, menjual sebagian tanah untuk membeli dan mengganti alat musik yang sudah tidak laik digunakan dalam ritus itu.
Cara lain yang mereka tempuh adalah “berkompromi” dengan pemerintah setempat untuk ikut dalam Pesta Laut yang mulai diperkenalkan 1996 lalu. Bagi para
tetua, ritus yang diperuntukkan bagi roh-roh leluhur dan para “sahabat” (mahluk halus, Red.) itu tak semestinya dipamerkan dalam ruang pertunjukkan seperti
Pesta Laut.
Tapi bagi Mak Bian, seorang sesepuh adat, ajakan itu diamini agar negara –dalam hal ini pemerintah setempat– tidak mengganggu ritus yang mereka yakini.
Jadilah, ujar Mak Bian, Ritual Bebalai hanya sekadar main-main saja di Pesta Laut. “Yang sebenar-benarnya ritual ya seperti yang di Nyerakat Kiri tiap
tahunnya,” tutur Mak Bian.
Kendati begitu, Mak Bian mengaku, sepulang dari Ritual Bebalai main-main di Pesta Laut itu, ia harus meminta maaf kepada roh-roh leluhur dan “sahabat”. “Ya
kita ikuti saja ajakan pemerintah supaya mereka jangan melarang acara kita. Apalagi ada pitisnya (bahasa Kutai yang berarti uang, Red.),” seloroh Mak Bian,
tertawa geli.
Main-main yang dimaksud Mak Bian tentu bukan sepenuhnya main-main, yang sama sekali tak membawa makna ritus apa-apa. Main-main yang juga dilakukan serius itu, untuk meyakinkan negara bahwa mereka punya ritus yang sudah eksis sejak lama. Tentu dalam rapal harapan, Mak Bian ingin ritus ini diakui sebagai bagian dari cara menghayati hidup, dan tak perlu dianggap sebagai tahayul yang menyalahi perspektif masyarakat urban.
Jika di Nyerakat Kiri ritus ini dimaksudkan untuk memperlakukan mahluk halus agar tidak mengganggu manusia, maka Bontang Kuala ritus ini juga diyakini untuk mengusir roh-roh jahat aparat negara agar tidak menghalangi aktivitas adat leluhur.
Lalu, apa persamaan Ritual Bebalai dalam kemasan Pesta Laut di Bontang Kuala dengan Ritual Bebalai di Nyerakat Kiri? Dua-duanya dimaksudkan untuk mengobati bagi siapa saja mereka yang ingin berobat. Apapun kondisinya, Mak Bian menyatakan ritus ini tetap ada untuk menjaga fungsinya menenangkan dan menyenangkan mahluk halus agar tidak menyakiti manusia.
Selain Bebalai, ada pula ritus Nurungkan (melarung, Red.) Pisang. Mereka yang meyakini ini konon tidak hanya di Nyerakat Kiri dan Bontang Kuala. Penduduk
asli tanah Bontang banyak pula yang melakukan ritus itu. Kini mereka terpencar di pelbagai tempat di sana. Terutama di pesisir dan pinggiran Bontang.
Nurungkan Pisang menjadi ritual khusus untuk memenuhi janji saat seseorang pernah diobati secara adat.
Konon bila sembuh dari penyakit yang medera, mereka kebanyakan berniat untuk Nurungkan Pisang ke sungai atau ke laut untuk persembahan kepada leluhur yang telah dijanjikan di saat pengobatan. Dalam bahasa awam, Nurungkan Pisang ini sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur. Nurungkan Pisang sendiri tak bisa sembarangan dilakukan. Misalnya, ritus itu baru bisa dilakukan setelah seseorang yang bersangkutan dinyatakan sembuh.
Hubungan masyarakat di masa lampau dengan roh leluhur dan mahluk halus memang sangat kuat di Nyerakat Kiri dan Bontang Kuala. Saking kuatnya hubungan
emosional itu, bola mata Mak Bian selalu berkaca-kaca kala membicarakannya.
Perempuan sepuh ini berucap, selalu ingat bagaimana dulu orangtuanya juga melakoni ritus ini untuk menyembuhkan masyarakat. Cara yang biasa dilakukan sang
ayahanda adalah dengan tarian dan mantra. “Saya kalau cerita seperti ini tidak tahan. Saya rasanya sedih ingat bapak saya,” ucap Mak Bian.
Jelas pula, laku ritus yang biasa dilakoni ini selalu berhubungan dengan roh-roh leluhur. “Kalau kami tidak memelihara adat ini, pasti ada salah satu
keluarga yang tertimpa sakit keras. Itu sebagai peringatan dari leluhur kalau mengabaikan adat nenek moyang kami,” urai Mak Bian.
Berlaksa tahun lalu, kepercayaan atas roh leluhur dan para “sahabat” (mahluk halus, Red.) sudah dijalin. Di tengah gempuran zaman, keyakinan ini tak pernah
luntur di Nyerakat Kiri dan Bontang Kuala. Dari turun temurun dan generasi ke generasi, lakon ritus adat itu diteruskan.
Konon, ada kepercayaan lain yang diyakini masyarakat setempat. Mereka percaya, manusia punya pertalian darah dengan buaya. Sebab, leluhur punya keturunan
buaya. Entah bagaimana ihwalnya. Tapi itu bisa dikenali ketika ritus berlangsung dan mereka mendadak mengalami trance.
Mereka yang punya ikatan batin dengan roh leluhur bisa dikenali dengan tingkahnya. Jika ada menari seperti buaya, maka mereka akan disebut punya hubungan
dengan leluhur keturunan buaya. Dalam keadaan trance seperti itu pula, mereka dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh leluhur. #fs