BONTANG, BERITAKALTIM.com – Konstelasi politik di Bontang bakal menarik Desember mendatang. Dari beberapa nama politisi, M Nasution menjadi satu-satunya sosok nonparpol yang akan menghiasi panggung Pemilihan Walikota (Pilwali) Bontang.
Ya, bos batubara di PT Indominco Mandiri (IMM) ini dipastikan maju sebagai bakal calon walikota Bontang. Meniti karir selama puluhan tahun di sana menjadi
bekal Nasution bertarung untuk duduk di Pemkot Bontang. “Kenapa saya mau maju (Pilwali, Red.)? Saya hanya ingin mengabdikan diri. Apa masalah di Bontang
sehingga belum mampu membuat masyarakatnya bangga? Saya yakin bisa menuntaskan masalah ini,” kata Nasution.
Ditemui BERITAKALTIM.com beberapa waktu lalu, Nasution mengaku punya visi besar mensejahterakan masyarakat Bontang. Meski pernyataan ini terkesan “kecap”, Nasution menyatakan harapan itu bisa terwujud. Syaratnya, harus bangga menjadi masyarakat Bontang.
“Untuk mengukur sebuah daerah sudah sejahtera atau belum, sebenarnya bisa dilihat dari nurani masyarakatnya sendiri. Apakah mereka sudah bangga menjadi
masyarakat kota itu?” ungkapnya.
Menurut Nasution, ada beberapa faktor yang menjadi titik perhatian agar bisa bangga menjadi masyarakat Bontang. Pertama, persoalan listrik. Listrik di
Bontang masih sering byarpet. Untuk setrum, pria kelahiran Palopo (Sulawesi Selatan) 24 Agustus 1965 ini, punya solusi.
Kata Nasution, apa yang sudah dilakukan sejauh ini memang sudah cukup baik, namun kurang tepat. Di perusahaannya, Indominco, sudah dibangun power plant 2×7 Megawatt (MW). Jumlah itu dianggap bisa membantu kebutuhan listrik masyarakat Bontang.
“Sebetulnya jika dikomparasi dari sisi ekonomis penggunaan fuel maupun gas, justru pembangkit yang gunakan batubara jauh lebih murah. Tapi kenapa selama ini
justru lebih banyak gunakan pembangkit gas dan BBM (bahan bakar minyak, Red.)? Kalau memang saya diberi amanat, maka solusi listrik sudah ada,” akunya.
Nasution menyebut, company holding Indominco yang dipimpinnya justru berbisnis listrik di Bangkok. “Bukan pada jual-beli batu bara,” tegasnya.
Selanjutnya, persoalan air. Selama ini pemkot masih mengandalkan air bawah tanah. “Memang efeknya sekarang belum terlihat. Tapi bagaimana 20 tahun mendatang? Tentu salah satunya akan terjadi penurunan daratan,” sebutnya.
Nasutin menjelaskan, di Indominco, air permukaan dimanfaatkan via kolam bekas tambang. Mereka membuat instalasi pengolahan menjadi air bersih yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat setempat. “Ini akan mengatasi kesulitan air di Bontang. Jadi tak selalu mengandalkan air bawah tanah yang selama
ini digunakan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum, Red.),” lugasnya.
Selanjutnya adalah pendidikan. Sejauh ini, Nasution menuding pemkot melakukan pembohongan publik dengan menyebut pendidikan gratis. Faktanya, buku, seragam, dan keperluan lainnya masih dibayar oleh siswa. Jika amanat Undang-Undang (UU) menyatakan 20 persen anggaran pendidikan dari APBD, maka ada sekira Rp 350 miliar yang semestinya teralokasikan untuk pendidikan di Bontang.
“Di bidang pendidikan infrastruktur memang harus bagus. Bagaimana siswa dan guru bisa beraktivitas dan berprestasi tanpa ditunjang infrastruktur yang baik?
Kalau dialokasikan Rp 500 ribu sampai Rp750 ribu saja untuk 30 ribu siswa, maka hanya dibutuhkan anggaran Rp 21 miliar. Ini jauh dari cukup. Dana itu bisa
untuk biaya ekskul (ekstrakurikuler, Red.) anak didik dan keperluan lainnya tanpa harus membayar lagi,” paparnya.
Kemudian faktor lain adalah tersedianya lapangan kerja yang cukup. Persoalan ketenagakerjaan ini menjadi krusial sebagai syarat mewujudkan kesejahteraan. Ya,
masyarakat tak bisa sejahtera jika tak ada pekerjaan untuk menopang kehidupannya. Bontang, lanjut Nasution, punya potensi untuk memberikan ruang pekerjaan
bagi masyarakat agar tak ada pengangguran. Misalnya di sektor kelautan.
“Bisa saja seorang nelayan yang juga anggota koperasi itu punya gaji tetap per bulan. Sehingga jika ada gaji tetap mereka tak akan ada alasan untuk tidak
melaut untuk meningkatkan produksi perikanan. Dengan meningkatnya produksi maka bisa saja diterapkan sistem bonus sehingga mewujudkan tingkat kesejahteraan nelayan,” bebernya.
Hal penting yang menjadikan masyarakat bangga terhadap Bontang adalah mewujudkan reformasi birokrasi.
“Menjadi birokrat atau pegawai di lingkungan pemerintahan, jangan hanya bekerja untuk datang mengisi absen. Jauh lebih penting harus cakap menjalankan
program-program di lingkungannya untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya.
“Dengan reformasi birokrasi artinya kita membangun mental bekerja bagi birokrat. Kalau begitu jadi mudah mencapai tujuan dari program yang sudah dicanangkan.
Jadi tak ada lagi Silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, Red.) hanya karena tidak terlaksananya kegiatan yang habis tahun anggarannya,” imbuh Nasution.
Bagi Nasution, Bontang hanyalah kota kecil yang terdiri dari 3 kecamatan dan 15 kelurahan. Tapi punya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
besar. Yakni mencapai Rp 1,8 triliun lebih. “Pertanyaannya, kenapa masih ada masyarakat yang belum sejahtera?” tanyanya. #fs