
TANJUNG REDEB, BERITAKALTIM.COM- Kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Berau makin dipangkas seiring mulai diberlakukannya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah atas pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
Pemangkasan kewenangan DKP Berau itu diantaranya terkait penerbitan izin kapal. Jika sebelumnya, Berau memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin kapal antara 5 sampai 10 Gross Tonage (GT), maka sejak adanya UU 23 tahun 2014 tersebut, izin kapal di atas 5-30 GT dikeluarkan oleh Pemprov.
Sementara, kabupaten atau kota hanya diberi kewenangan mengeluarkan izin kapal dengan bobot 5 GT ke bawah. Ini pun tanpa dipungut biaya sepeserpun, karena kapal 5 GT ke bawah ini hanya sebatas terdaftar.
“Iya, sejak adanya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka kewenangan kami dalam mengeluarkan maupun perpanjangan izin kapal nelayan semakin kecil. Saat ini, kami hanya diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin kapal di bawah 5 GT, sementara untuk kapal 5-30 GT dikeluarkan oleh Provinsi,” ungkap Kepala DKP Berau, Ir M Fuadi MM.
Disebutkan munculnya kebijakan yang baru tersebut, maka pihaknya akan mengalami kesulitan untuk mengawasi kapal-kapal nelayan yang memilik bobot antara 5-30 GT. Pasalnya, jika izin dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kaltim, maka pengawasan juga akan dilakukan oleh Kaltim. Sementara, kapal-kapal ukuran tersebut beroperasinya di Berau.
Menurutnya, jika diakumulasikan total keseluruhan jumlah kapal nelayan di Karimun, maka kapal dengan bobot 5-30 GT jumlahnya berkisar antara 1.900 unit kapal. Kapal-kapal ikan milik nelayan tersebut, sebagian besar bergabung dengan kelompok nelayan yang ada di Berau.
“Jumlah kapal ikan dengan bobot antara 5-30 GT ada 1900-an unit. Kapal-kapal nelayan tradisional tersebut tersebar di Kabupaten, maka kami kuatir nanti pengawasannya akan sulit dilakukan,” terangnya.
Dikatakannya, Kabupaten Berau termasuk sentra perikanan di Provinsi Kaltim, karenanya aktivitas nelayan tangkap cukup tinggi dan memiliki perairan yang potensial sebagai wilayah tangkap nelayan tradisional.
Diakuinya, sejak pemerintah pusat menerbitkan Undang–Undang nomor 23 Tahun 2014 tidak sedikit nelayan yang mengeluh kepadanya, sebab untuk pengurusan izin operasi dan sebagainya cukup memakan waktu dan biaya.
”Apa sebab? Karena harus ada cek fisik dan persyaratan – persyaratan yang cukup menyulitkan nelayan, sementara mengurusnya di Badan Perijinan Terpadu Provinsi Kaltim. Ditambah lagi dengan biaya transportasi dan akomodasi selama mengurus perizinan. Jadi wajar kalau banyak nelayan yang mengeluh dengan adanya peraturan yang baru ini,” tuturnya.
Dijelaskan juga, jika DKP masih diberi kewenangan mengeluarkan izin, nelayan lokal sangat terbantu, sebab biaya perizinan yang dikeluarkan hanya sekitar Rp100 hingga Rp 250 ribu, dan itu pun berdasarkan Perda.
“Kami pun juga melayani jemput bola hingga daerah pesisir, tidak ada biaya tambahan, selain sesuai yang tertera dalam Perda. Jadi nelayan sangat terbantu, sebab tidak perlu lagi mengeluarkan biaya transportasi ke Kota Tanjung Redeb untuk mengurus perizinan ,” ujarnya.
Untuk itu Fuadi berharap persoalan segera mendapatkan solusi yang tepat. “Sebab kalau mau jujur, Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi juga tidak mau dibebani pekerjaan seperti ini, karena mereka sendiri merasa kewalahan dengan pekerjaan yang dibebankan kepada mereka,” katanya. #HEL