BeritaKaltim.Co

Nama Dahri Yasin Tidak Ada di Berkas, Tapi Hakim Bisa Panggil ke Persidangan

Suasana persidangan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Suasana persidangan di Pengadilan Negeri Samarinda.

SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Walau nama Dahri Yasin disebut-sebut oleh seorang saksi bernama Naim dalam persidangan dugaan korupsi dana hibah ganti rugi lahan Waduk Benanga Samarinda Rp1,8 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda dengan terdakwa Abbas, Rabu (17/6/2015), tapi anggota DPRD Kaltim itu tidak serta merta dipanggil untuk dimintai keterangannya dipersidangan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Pada persidangan oleh majelis hakim diketuai Hongkun Ottoh, saksi Naim yang juga masih kakak ipar terdakwa Abbas itu diketahui keduanya bersama-sama mengurus lahan Waduk Benanga tersebut.

“Ya saya bertemu anggota DPRD Kaltim. Saya bertemu Pak Dahri Yasin,” ujar Naim kala dicecar oleh anggota majelis hakim Poster Sitorus. Naim bersaksi bersamaan dengan Sekda Kota Samarinda Zulfakar dan Assisten III Setkot Samarinda Ridwan Tassa dan ketua kelompok tani Johansyah.

Tujuannya bertemu Dahri Yasin, menurut Naim adalah agar bisa anggota dewan tersebut membantu menganggarkan dari APBD Kaltim untuk pembayaran ganti rugi lahan seluas 32 hektare untuk Waduk Benanga Samarinda. Diketahui kala itu Dahri memang selain Ketua Komisi I juga menjabat Panitia Anggaran DPRD Kaltim. Dahri Yasin juga legislator dari daerah pemilihan Samarinda.

Jaksa Dian Anggraini mengatakan, anggota DPRD Kaltim Dahri Yasin bisa saja dihadirkan dipersidangan sebagai saksi jika memang diminta hakim. Sejauh ini nama Dahri Yasin tidak masuk dalam berkas perkara.

“Untuk memperkaya keterangan dan tambahan saksi tergantung majelis hakim nantinya,” kata Dian didampingi Jaksa Maria Ulfah kepada beritakaltim.com.

Tidak adanya nama Dahri Yasin dalam berkas perkara menimbulkan dugaan tidak konfrehensifnya Jaksa menggali akar masalahnya. Informasi awal menyebutkan dana untuk itu sudah ada di APBD Kaltim tahun 2009. Hanya tidak jelas dalam nomenklaturnya untuk siapa yang berhak.

Dana Rp1,8 miliar yang tak disebutkan untuk siapa tersebut diketahui diperebutkan dua kelompok warga, yakni Tarmidi Cs dan Kelompok Tani “Usaha Karya Tani”. Kemudian, dengan setelah bertemu dengan Komisi I DPRD Kaltim, terjadi pengalihan untuk dibayarkan ke Abbas.

Dana itu diputuskan dibayarkan ke Abbas dalam rapat kerja Komisi I DPRD Kaltim tanggal 28 Juli 2011. Dokumen salinan risalah rapat Komisi I DPRD Kaltim beredar di kalangan wartawan.

Masih ada keanehan yang diduga melibatkan Komisi I DPRD Kaltim, yakni surat Sekretaris Pemprov Kaltim No916/5053/009-II/Keu tanggal 11 Mei 2011 yang menyebut Abbas penerima dana tersebut. Padahal dalam laporan yang disampaikan Sekda Kota Samarinda ke Sekda Provinsi Kaltim, tak ada disebut-sebut nama Abbas mengajukan klaim atas dana Rp1,8 miliar tersebut.

Dalam dokumen itu, Komisi I DPRD Kaltim memutuskan dana Rp1,8 miliar itu dibayarkan ke Abbas dalam rapat yang sekaligus memberikan persetujuan, dihadiri, selain Dahri Yasin sebagai ketua dan pemimpin rapat, juga delapan orang lainnya yakni, H Gunawarman, Saparuddin, Puji Astuti, Suwandi, Arsyad Thalib, Yefta Berto, dan Rakhmad Majid.

Sedangkan dari Pemkot Samarinda hadir Ismansyah yang saat itu Kepala Bappeda Samarinda, Busrani saat itu Kabag Perkotaan Samarinda. Dari Pemrov Kaltim adalah Fahmi, staff Biro Keuangan. Dalam rapat itu juga hadir Abbas yang kini jadi terdakwa.

Kasus ini jadi masalah karena dari uang pembayaran Rp1,8 miliar hanya sampai ke pemilik lahan masing-masing Rp5 juta. Ini terjadi karena adanya kongkalikong para ‘pengurus’ alias calo yang mengurusnya. Yakni, Abbas, Johansyah, Abidin dan Naim.

Tapi kini baru Abbas yang masuk pengadilan dan duduk di kursi pesakitan. Abbas menerima Rp800 juta, Abidin Rp200 juta, Johansyah Rp400 juta, dan Naim Rp400 juta. Johansyah yang berperan sebagai ketua kelompok tani, Abidin dan Abbas membantu mengurus surat menyurat, dan Naim membantu melobi ke Pemkot hingga DPRD Kaltim agar dibayar.

Naim dan Johansyah juga bersaksi bersamaan dengan Zulfakar dan Ridwan Tassa. Naim dalam penjelasannya mengakui membantu Abbas mengurus pembayaran lahan tersebut. Dia mengaku menghubungi Busrani, Assisten I Setkot Samarinda yang menyarankan mereka mencari NJOP. Naim juga mengaku mendatangi Dahri Yasin, anggota Komisi I DPRD Kaltim agar membantu menganggarkan dari APBD Kaltim melalui Pemkot Samarinda.

Sekda Kota Samarinda Zulfakar dan Assisten III Setkot Samarinda Ridwan Tassa hadir di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Rabu (17/6/2015). Keduanya dicecar majelis hakim diketuai Hongkun Ottoh seputar disposisi atau advis dokumen lahan seluas 32 hektare tersebut.

Terutama dokumen berupa surat dari Bagian Kesra Setkot Samarinda yang berisi telaahan Bagian Perkotaan tentang perubahan anggaran yang dialihkan ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Dalam telaahan itu disebutkan bahwa pembayaran lahan untuk Waduk Benanga itu berbunyi dari ganti rugi berubah menjadi santunan. Sebagai Sekda, Zulfakar membuat disposisi agar diproses sesuai ketentuan berlaku.

“Apakah Anda tahu perubahan nomenklatur bahwa pembayaran dilakukan oleh BPKAD,” ujar Hongkun kepada Zulfakar. Menjawab pertanyaan itu, Zulfakar menyatakan dirinya saat itu baru saja menjabat Sekda menggantikan Fadly Illa, Sekda sebelumnya. Dia mengaku belum banyak tahu sehingga memberikan advis agar diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Surat itu berasal dari Kesra yang kala itu dijabat Dicki Zulkifli.

“Surat itu berisi pemberitahuan bahwa dari ganti rugi menjadi santunan. Jadi semuanya diproses di BPKAD,” kata Zulfakar. Selanjutnya bagaimana proses dan dokumen pencairan semuanya dilakukan di BPKAD. Cuma dia memang mendengar dana itu sudah dicairkan. “Saya mendengar saja,” ujar Zulfakar menjawab Hongkun.

Zulfakar juga berkilah dirinya tak banyak tahu soal proses pembayaran lahan seperti ini karena sebelum menjadi Sekda dirinya menjabat Assisten II Setkot Samarinda. Sementara pembayaran lahan seperti ini biasanya dibahas di Assisten I yang membidangi Pemerintahan dan Perkotaan. “Saya juga tidak tahu soal surat-surat tanahnya seperti apa, siapa yang menerima dan prosesnya juga tidak tahu,” kata Zulfakar.

Demikian pula Ridwan Tassa, kendati sebagai Assisten III yang membidangi Kesra dan Humas, dia mengaku advis pada surat yang dibuat Bagian Kesra itu hanyalah disposisi administrasi yang lazim dilakukan pada setiap surat yang berasal dari bidang tanggung jawabnya sebelum diadvis Sekda. Dia juga mengaku tak secara detail bagaimana akhirnya lahan itu dibayar yang ternyata tidak sampai sepenuhnya ke pemilik lahan.

“Saya tahu ini bermasalah saat diperiksa penyidik (sebagai saksi). Saya memang bawahi Kesra dan Humas. Saya memang tanda tangan surat pemberitahuan yang dibuat Kesra dan disampaikan ke Sekda itu,” katanya. #into/saaludin as/les

Comments are closed.