BeritaKaltim.Co

Dana Aspirasi itu Identik Proyek Aspirasi

Intoniswan.
Intoniswan.

Penulis : # Intoniswan, Wartawan Utama

Sekarang di Jakarta, tepatnya di DPR-RI lagi heboh soal dana aspiarasi. Masing-masing anggota DPR meminta jatah dana Rp20 miliar yang akan digunakan membangun sesuatu yang diinginkan masyarakat di daerah asal pemilihannya. Sebagian besar dari anggota DPR menyatakan setuju adanya dana aspirasi tersebut. Kalau dijumlahkan dana yang harus disisihkan pemerintah untuk aspirasi (keinginan) anggota DPR itu Rp11,2 triliun.

Tiga fraksi di DPR yakni Nasdem, PDI-P, dan Hanura menolak dana aspirasi itu, sedangkan tujuh fraksi, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, Demokrat, PAN, dan PKS mendukung dana aspirasi itu dialokasikan di APBN 2016.

Tiga fraksi yang menolak beralasan tak ada dasar hukumnya mengalokasikan dana Rp20 miliar/tahun untuk setiap anggota DPR, dan dana aspirasi itu dipandang tak proporsional sebab, dari 560 anggota DPR, lebih dari separuh berasal dari Pulau Jawa, atau Rp6,1 triliun dana aspirasi itu jatuh ke kabupaten/kota di Jawa, dan Rp2,4 triliun dinikmati kabupaten/kota di Pulau Sumatera.

Kalimantan hanya kebagian Rp700 miliar karena anggota DPR dari Kalimantan hanya 35 orang. Sisanya Rp2 triliun dibagi untuk Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, NTT, NTB, dan Bali.

Sehingga secara kasat mata, dana aspirasi itu bukannya mengurangi ketimpangan distribusi APBN antara Jawa dengan luar Jawa yang selama ini sudah menjadi sentimen negatif di masyarakat dan pemerintahan daerah di luar Jawa. Pulau Jawa yang luasnya hanya 126.700 Km2 mendapat dana aspirasi Rp6,1 triliun, sedangkan Pulau Kalimantan yang luasnya 748.168 Km2 hanya dapat dana aspirasi Rp700 miliar.

Jumlah anggota DPR-RI dari Kaltim dan Kaltara ada 8 orang, dan tentunya hanya mendapat Rp160 miliar. Jumlah dapil yang diwakilinya adalah 15 kabupaten/kota. Kalau dibagi rata, maka satu kabupaten/kota hanya dapat Rp11 miliar, suatu jumlah yang serba tanggung. Karena jumlahnya serba tanggung, bisa jadi anggota DPR yang kurang cermat menempatkan proyek yang didanai dari dana aspirasi tersebut “diserang” bekas pemilihnya.

Model distribusi fiskal seperti dana aspirasi itu sama yang berlaku sejak zaman orde baru, yakni distribusi APBN berdasarkan jumlah penduduk, bukan luas wilayah. Inilah salah satu faktor yeng membuat pembangunan selalu timpang, daerah luar Jawa selalu tertinggal dibandingkan Jawa. Kalau dana aspirasi itu besarannya menggunakan luas wilayah yang diwakili seorang anggota DPR, bisa jadi itu baru adil dan dana aspirasi bisa mengurangi ketimpangan pembangunan.

Dana aspirasi, sesuai namanya adalah dana atau sejumlah uang yang dialokasikan untuk dipergunakan sesuai aspirasi anggota DPR, yang menurut mereka adalah aspirasi rakyat yang diwakilinya. Tapi sejatinya, dana aspirasi itu identik dengan proyek aspirasi, atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memenuhi keinginan rakyat daerah pemilihannya masing-masing.

Dana aspirasi itu, sebetulnya di daerah-daerah tertentu sudah lama ada, termasuk di DPRD di Kaltim. Dana aspirasi itu sudah menjadi komoditi politik antara gubernur, bupati, wali kota dengan anggota Dewan, bantuknya tidaklah uang tunai, tapi kegiatan atau proyek, termasuk didalamnya dalam bentuk bantuan sosial dan hibah.

Saat RAPBD dibahas antara Tim Anggaran Pemerintah dengan Badan Anggaran DPRD, sebetulnya yang mereka bahas bukan hanya rancangan kegiatan yang akan dilaksanakan pemerintah, tapi juga bagaimana agar usulan (aspirasi) anggota Dewan juga masuk dan jadi proyek. Hubungan antara pemerintah dengan Dewan yang TST (Tau Sama Tau) yang menutup soal dana aspirasi ini tidak meledak ke permukaan.

Proyek yang bersumber dari aspirasi anggota Dewan itu, belum tentu sinkron dengan rencana pembangunan kabupaten/kota darimana anggota Dewan itu terpilih, tapi malahan bisa melenceng jauh, menabrak rambu-rambu pembagian tanggung jawab pendanaan di pemerintahan. Misalnya APBD Provinsi Kaltim masuk mendanai jalan lingkungan, padahal urusan pemeliharaan dan peningkatan jalan lingkungan tanggung jawab APBD Kabupaten/Kota.

Proyek Polder Air Hitam Samarinda.
Proyek Polder Air Hitam Samarinda.

Ini menimbulkan kekacauan pada pencatatan aset pemerintah. Jalan lingkungan yang disemen dengan APBD Provinsi itu tak jelas apakah dicatat sebagai aset Pemprov atau aset Pemkot/Pemkab. Kalau APBN juga digunakan membangun jembatan di anak sungai, apakah jembatan itu nanti dicatat sebagai aset negara, atau aset daerah. Setelah dibangun dan tiga tahun kemudian perlu perbaikan, dana dari mana digunakan untuk memperbaikinya.

Sudah menjadi rahasia umum, proyek yang berasal dari aspirasi anggota Dewan tidak dilelang terbuka, karena SKPD dimana dana itu ditempatkan juga sudah TST. Lelang terbuka hanyalah sandiwara sebab, baik itu SKPD mapun ULP Barang dan Jasa, sebelum mengumumkan pemenang lelang menunggu aba-aba atau sinyal dari anggota Dewan pengusul proyek.

Dana aspirasi yang diinginkan anggota DPR-RI itu, kalau dikabulkan pemerintah nanti, bisa jadi, prakteknya di lapangan juga seperti itu, jenis kegiatan dan siapa pelaksana kegiatannya ditentukan anggota Dewan juga.

Jual beli proyek yang bersumber dari apa yang disebut dana aspirasi akan marak terjadi, dari Rp20 miliar nilai proyek aspirasi itu yang benar-benar digunakan untuk proyek bisa jadi hanya 60% atau Rp12 milair, sedangkan 40% atau Rp8 miliar menguap.

Meski BPK sudah menyatakan siap “mengawal” proyek yang bersumber dan dana aspirasi itu, tidak mungkin BPK bisa memeriksa semuanya karena proyek itu tersebar di 425 kabupaten dan 93 kota se-Indonesia. # Intoniswan, Wartawan Utama

Comments are closed.