SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) seharusnya dibahas DPRD sebab itu bagian dari tugas pengawasan yang melekat di DPRD. Mengawasi tindak lanjut pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sering diabaikan DPRD dan lebih banyak menyerahkan urusan itu ke pemerintah daerah.
Hal itu dikatakan Dr. Inosentius Samsul, SH, MH yang juga Peneliti Madya Bidang Hukum P2I Setjen DPR-RI, perihal LHP Keuangan BPK yang banyak diabaikan karena selama ini tak dipahami anggota DPRD.
Menurutnya, apapun opini BPK atas pemeriksaan yang dilakukannya, termasuk pemberian opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) tapi secara umum terlihat tak masuk akal, tapi anggota Dewan wajib menghormati opini dari BPK sebab, BPK adalah lembaga independen yang diberi hak melakukan pemeriksaan dan memberi opini.
“Opini yang diberikan BPK, seperti WTP, tidak boleh dicela atau diisukan macam-macam. Kita harus menghargai lembaga BPK, satu satunya lembaga yang diberi wewenang melakukan audit,” kata Inosentius.
Disebutkan, BPK adalah lembaga yang bertanggungjawab kepada DPR, dari itu hasil pemeriksaan tahunan selalu diserahkan ke ketua DPR terlebih dahulu, sebelum ke presiden. Begitu juga di daerah BPK Perwakilan menyerahkan LHP Keuangan Tahunan ke ketua DPRD terlebih dahulu, sebelum ke gubernur.
“Sekarang pertanyaannya adalah, apakah LHP Keuangan dari BPK itu didistribusikan ketua DPRD ke anggota Dewan melalui fraksi-fraksi atau tidak. Kalau tidak anggota Dewan berhak meminta. Membaca hasil pemeriksaan BPK itu bagian dari tugas pengawasan, mengawasi tugas BPK dan hasil kerjanya,” tambahnya.
Disebutkan, sangat banyak informasi terkandung dalam LHP Keuangan BPK tersebut. Dari itu anggota Dewan wajib membacanya. Kalau dari LHP yang dibaca terdapat sesuatu yang tak dipahami atau sulit dimengerti, anggota Dewan dapat meminta klarifikasi ke BPK. “Semua temuan BPK itu bisa dimintai klarifikasi oleh anggota Dewan,” tegas Inosentius.
Sesuai Pasal 21 UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menurut Inosentius, lembaga perwakilan seperti DPR/DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD dapat meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan.
“Anggota Dewan dapat mempertanyakan semua opini BPK dalam forum resmi, itu dijamin dan BPK wajib melayani permintaan penjelasan, termasuk soal WTP dadakan,” tambahnya.
Hasil pemeriksaan BPK bukanlah sesuatu yang sudah 100 persen benar, dari itu kalau anggota Dewan meragukan pemeriksaan BPK atas proyek tertentu atau kegiatan pemerintah lainnya, DPR/DPRD dapat meminta BPK melakukan pemeriksaan lanjutan. Selain itu DPR/DPRD dapat meminta pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK.
Dikatakan Inosentius, selama ini banyak temuan penyimpangan oleh BPK tidak ditindaklanjuti oleh komisi-komisi terkait di DPRD, apa lagi meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan khusus apabila ada dugaan penyimpangan APBD. “Mengawasi pemerintah dengan menggunakan hasil pemeriksaan BPK itu tidak sulit, tapi perlu ada kemauan, apa lagi yang harus dibaca tebal sekali, dan perlu juga teknik untuk memahami hasil audit,” ungkapnya.
Fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Permendagri No 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengawasan DPRD Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK, cenderung diabaikan DPRD dan anggota Dewan secara perorangan yang berminat menekunnya tak banyak, bahkan dapat dikatakan hampir tak ada, padahal sebetulnya sangat urgen dalam fungsi pengawasan.
“Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud undang-undang adalah gubernur bersama DPRD, dari itu keduanya punya tanggung jawab memastikan apa yang dianjurkan BPK untuk ditindaklanjuti dalam pengelolaan keuangan, jadi perhatian bersama, bukan hanya dianggap itu urusan pemerintah atau SKPD di pemerintahan,” kata Inosentius.#into
Comments are closed.