BeritaKaltim.Co

DR. H Mugni Baharuddin MM.MH.MPd: Stop Tambang Batu Bara !

Mugni Baharuddin
Mugni Baharuddin

Politik secara leksikal adalah bagaimana mencapai tujuan. Politik berarti sebuah proses yang sangat dinamis dan akan terus berkembang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para pelaku politik itu sendiri.

Tuntutan otonomi khusus Kaltim tentu tidak lepas dari proses politik yang telah dan akan terjadi pada masa mendatang. Dalam proses politik kesepakatan yang win win solution akan terwujud bila barganing position masing masing pihak sama sama kuat.

Sebaliknya, bila barganing position salah satu pihak lemah maka bisa dipastikan hasil interaksi politik akan menguntungkan salah satu pihak saja.

Terkait dengan tuntutan otsus Kaltim sulit untuk mengatakan akan dengan mudah pemerintah pusat memenuhi tuntutan Kaltim. Pemerintah propinsi sebagai pelopor otsus harus memiliki barganing position yang kuat agar bisa menekan pemerintah pusat.

Pertanyaannya adalah apakah Kaltim mempunyai itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Setia Wirawan melakukan wawancara khusus dengan DR. H Mugni Baharuddin MM.MH.MPd, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kebijakan Kaltim, berikut petikannya yang telah diterbitkan di Tabloid POLITIKA;

Menurut Anda apa yang harus dilakukan agar tuntutan otsus bisa dikabulkan pemerintah pusat?

Tidak ada pilihan lain selain menggalang kekuatan di semua lini. Gerakan politis, gerakan masyarakat serta gerakan intelektual harus dikerahkan bersama sama membangun sebuah kekuatan yang solid bernama tuntutan otsus. Pemprov tidak bisa berjalan sendiri. Selain harus mendapat dukungan masyarakat, dukungan politik sangat diperlukan. Terlebih lagi, Keberadaan atau pemberian “otonomi khusus” kepada suatu daerah di Indonesia lebih merupakan sebuah “penjumlahan” atau “selisih” dari kekuatan tawar dari “daerah” (yang menuntut otonomi khusus) dan “pusat” (yang berkepentingan mempertahankan keberadaan daerah tersebut dalam kesatuan republik Indonesia).

Apabila posisi tawar daerah lebih kuat, hasilnya adalah pemberian otonomi khusus, seperti kasus Aceh dan Papua. Sebaliknya, apabila posisi Pusat kuat, maka hasilnya adalah tidak ada pemberian otonomi khusus, seperti kasus Riau. Bagaimana dengan Kaltim? bila tidak dilakukan dengan cara cara luar biasa dengan terus meningkatkan daya tawar tinggi pada pemerintah pusat maka tuntutan otonomi khusus Kaltim bakal pupus ditengah jalan.

Daya tawar seperti apa yang akan mampu ‘meluluhkan’ pemerintah pusat?

Aceh dan Papua berhasil membuat pemerintah pusat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali memberikan otonomi khusus. Ketika itu, pilihan pemerintah pusat hanya 2 opsi, memberikan otonomi khusus atau mereka terus mengangkat senjata untuk sebuah kemerdekaan yang berarti memisahkan diri dari NKRI. Pola perjuangan tersebut tentu tidak bisa ditiru Kaltim. Menurut saya, Kaltim diuntungkan dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan ketergantungan pemerintah pusat pada devisa negara yang dihasilkan sumber daya alam dari Kaltim tersebut. Sangat relevan kalau kemudian sumber daya alam dijadikan ‘barganing position’ untuk perjuangan otsus.

Maksudnya?

Seperti yang sering kali diingat oleh Gubernur Kaltim dan berbagai pihak yang pro otsus damai, perjuangan otsus tidak akan keluar dari koridor NKRI dan anarkisme. Oleh sebab itu, menurut saya untuk memberi presure dan membuktikan kita serius dengan tuntutan otsus adanya baiknya bila gubernur Kaltim atas nama rakyat Kaltim mengajukan surat secara resmi ke kementerian esdm untuk menyetop segala kegiatan ekploitasi batu bara di bumi etam ini. Penyetopan kegiatan tambang bersifat sementara sampai tuntutan otsus dipenuhi. Stop kegiatan tambang sampai pemerintah mau mendengar dan mengabulkan tuntutan otsus Kaltim.

Apa hal tersebut tidak menyalahi ketententuan?

Undang undang minerba no 4 tahun 2009 telah mengatur mekanisme penyetopan sementara dengan berbagai alasan, salah satunya adalah daya dukung masyarakat yang tidak menghendaki kegiatan penambangan. Nah….dalam koridor tetap mengacu pada regulasi kita meminta secara resmi pemerintah untuk menghentikan sementara kegiatan penambangan sampai tuntutan otsus dipenuhi. Saya yakin bila ini dilakukan pemerintah pusat akan memperhatikan tuntutan Kaltim. Sebab lebih dari 50 Persen produksi batubara nasional berasal dari Kaltim. Kalau penyetopan tambang batu bara tak juga membuat pemerintah pusat memenuhi tuntutan otsus pemerintah propinsi Kaltim atas nama masyarakat kembali mengajukan surat resmi untuk penyetopan segala kegiatan penambangan minyak dan gas bumi.

Apa dasar penyetopan yang rasional?

Seperti diketahui, Pada awalnya pengaturan bagi hasil iuran pertambangan ditetapkan dalam PP No. 32/1969 pasal 62 yang kemudian mengalami perubahan dengan ditetapkannya PP No. 79/1992. Iuran pertambangan yang dimaksud disini adalah penerimaan pemerintah dari iuran tetap (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti). Di dalam PP No. 32/1969, bagian pemerintah pusat adalah 30% sedangkan pemerintah daerah mendapat bagian 70% dari total iuran pertambangan. Selanjutnya dalam PP No. 79/1992, perimbangan tersebut berubah dimana porsi daerah meningkat. Pemerintah pusat mendapat bagian 20%, sedangkan 80% sisanya dibagikan ke daerah dengan perincian sebagai berikut: propinsi mendapat bagian 16% dan Daerah Tingkat (Dati) II mendapat bagian 64%.

Di sisi lain bagi hasil berdasarkan No. 79/1992 yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat tidak langsung diterima oleh Pemda Tk. II, tetapi disalurkan dulu ke Pemda Tk. I yang selanjutnya disalurkan ke masing-masing Pemda Tk. II sebagai lokasi daerah tambang itu berada.

Bagi hasil SDA selanjutnya berdasarkan PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, aturan pembagian tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya, tetapi terdapat perbedaan terletak pada (1) pemisahan penerimaan dari royalti dan iuran tetap (landrent) dan (2) perimbangan bagi hasil antara propinsi dan kabupaten/kota untuk iuran-iuran tersebut. PP No. 104 Tahun 2000 mengatur juga bagi hasil “pemerataan” dari royalti untuk pemkab/pemkot yang berada di dalam provinsi yang terkait.

Selanjutnya berdasarkan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, terdapat perubahan yang mendasar dalam perimbangan keuangan, yaitu dengan penetapan Pemerintah Provinsi sebagai daerah penghasil atas pengelolaan usaha pertambangan umum yang berlokasi antara 4 – 12 mil laut serta ditetapkannya perimbangan keuangan dari kegiatan pertambangan Panas Bumi.

Masalahnya dengan mekanisme bagi hasil Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan umum termasuk batu bara kondisi sekarang ini sudah tidak relevannya lagi. Terutama terkait dengan biaya lingkungan yang harus ditanggung masyarakat Kaltim. Secara ilmiah untuk 1 hektar lahan yang sudah terbuka karena kegiatan penambangan diperlukan lebih dari 6 milyar untuk proses rehabilitasinya. Sementara dana jaminan reklamasi nilainya sangat kecil sekali dan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Bagaimana dengan DBH Migas?

Sama saja sangat merugikan Kaltim, selama ini transparansi pembagian dana bagi hasil minyak dan gas (migas) ke daerah belum terlihat. Ini menimbulkan berbagai persoalan, bahkan kecemburuan di tingkat daerah. Semua dana hasil migas diserahkan ke rekening kas Kementerian Keuangan dan untuk pengelolaannya diimplementasikan berdasarkan pasal 33 UUD 1945, bahwa yang mengelola adalah negara, dalam hal ini pemerintah pusat.

DBH diatur UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut Pasal 19, penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi sesudah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya akan dibagikan ke daerah. Pembagiannya, untuk DBH migas 15% dengan 3% untuk provinsi penghasil, 6% untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi penghasil. Adapun pembagian untuk DBH gas bumi adalah 30% dengan 6% untuk provinsi penghasil, 12% untuk kabupaten/kota penghasil dan 12% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi penghasil. Di luar itu, sesuai dengan Pasal 20 UU tersebut, juga terdapat 0,5% yang dibagihasilkan untuk pengembangan pendidikan dasar. ***

Comments are closed.