BeritaKaltim.Co

Miko Susanto Ginting: Cegah Pelemahan KPK

 Miko Susanto Ginting.
Miko Susanto Ginting.

Salam Perspektif Baru,

Hari ini kita akan berbincang-bincang mengenai topik korupsi, dan persoalan yang akan kita bahas adalah revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK. Kita akan membicarakannya dengan tamu kita, Miko Susanto Ginting, yaitu peneliti dari lembaga Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.

Menurut Miko, pemberantasan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan belum optimal. Tidak hanya pemberantasan korupsi ke luar, tapi juga pemberantasan korupsi di internal organisasi masing-masing. Sehingga sebenarnya kalau kita ingin mengevalusi, pencapaian pemberantasan korupsi, yang harus direvisi terlebih dahulu adalah UU tentang Kepolisian dan UU Kejaksaan, bukan UU KPK.

Miko mengatakan Kalau KPK lemah maka yang dapat dipastikan adalah korupsi akan semakin merajalela karena kita tidak kunjung juga membangun kepolisian dan kejaksaan untuk memerangi korupsi. Hingga hari ini yang bisa kita harapkan untuk kemudian menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi hanya KPK. Kalau kita mengambil contoh dari sisi pencegahan, sampai tahun ini KPK sudah mengembalikan kekayaan negara Rp248 triliun, kalau tidak salah itu hanya dari sisi pencegahan. Anda bisa bayangkan uang Rp248 triliun itu berapa sekolah yang bisa dibangun, kemudian berapa jembatan yang bisa dibangun.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Miko Susanto Ginting dan sebagai pewawancara Hayat Mansur. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.

=-===
Di media masa ramai diberitakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memasukkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini, dan direncanakan akan dibahas Agustus 2015. Apakah UU KPK itu perlu direvisi oleh pemerintah dan DPR pada saat ini?

Saya akan mulai dari sebenarnya mengapa KPK dibentuk pada 2002. Itu karena pada saat itu kepolisian dan kejaksaan dirasakan kurang optimal dan efektif dalam pemberantasan korupsi. Kemudian KPK dibentuk pada 2004, dan kalau dihitung kini sudah kurang lebih 11 tahun KPK dibentuk. Pertanyaan sebenarnya bukan apakah UU KPK perlu direvisi, tapi apakah daya tempur penegak hukum dalam memberantas korupsi terutama kepolisian dan kejaksaan sudah optimal atau belum.

Bagaimana menurut penilaian Anda?

Sampai hari ini belum optimal. Terutama tidak hanya pemberantasan korupsi ke luar, tapi juga pemberantasan korupsi di internal organisasi masing-masing. Jadi sebenarnya kalau kita ingin mengevalusi pencapaian pemberantasan korupsi, yang harus direvisi terlebih dahulu adalah UU tentang Kepolisian dan Kejaksaan bukan UU KPK. Kalau kita evaluasi tingkat keberhasilan penuntutan KPK mencapai 100%, kemudian penyadapannya dilakukan audit berkala.

Misalnya, yang ingin mereka revisi adalah penyelidik dan penyidik KPK. Dalam UU KPK pasal 43 dan 45 sudah jelas mengatakan bahwa KPK berwenang untuk mengangkat penyidik dan penyelidiknya sendiri, tapi memang perlu dikuatkan oleh peraturan pemerintah. Intinya domain bukan di UU KPK. Contoh lain, kewenangan penyadapan. Saat ini ada 16 peraturan perundang-undangan yang mengatur penyadapan dengan materi yang berbeda-beda. Lalu apa urgensinya untuk merevisi UU KPK? Bukankah lebih urgent untuk membuat UU tentang Penyadapan itu sendiri, misalnya. Jadi sebenarnya saya ingin menggambarkan bahwa tidak ada urgensi sama sekali untuk melakukan revisi UU KPK.

Menurut Anda seharusnya yang direvisi adalah UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. Tapi justru sebaliknya, DPR mempunyai hasrat politik yang besar merevisi UU mengenai KPK yang berdasarkan data sangat efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Mengapa sebagian besar anggota DPR memiliki hasrat yang sangat besar merevisi UU tersebut?

Motif sebenarnya tidak hanya dari Prolegnas 2015, tapi juga program legislasi lima tahunan. Ketika itu DPR juga sangat berambisi, terutama periode yang lalu. Artinya, wacana merevisi UU KPK bukan hanya hadir hari ini, tapi sudah sejak beberapa waktu lalu. Di sini sebenarnya juga ada kesalahan dari Presiden Jokowi dalam konteks pembahasan 2015-2019. Itu karena ketika presiden memberikan persetujuan revisi UU KPK dimasukkan dalam program legislasi lima tahunan, maka ada konsekuensi prosedural untuk membahas UU KPK dalam Prolegnas atau tahunan. Ada konsekuensi hukum dari tindakan Presiden Jokowi, tapi di sisi lain saya melihat bahwa KPK sudah menyidik, juga menuntut 300 sekian orang dengan berbagai latar belakang. Tingkat keberhasilan penuntutan dan juga penyidikan KPK yang selama ini cukup efektif tampaknya membuat ketakutan berbagai pihak, terutama DPR.

Apa saja yang ingin DPR revisi dari UU KPK tersebut?

Obyek kewenangan KPK. Antara lain, kesatu mengenai penyelenggara negara. Kedua, aparatur penegak hukum. Ketiga, orang yang berkaitan dengan penyelenggara negara dan aparatur penegak hukum. Kemudian mengenai korupsi yang meresahkan masyarakat, lalu nilai kerugian lebih dari satu miliar. Kalau kita fokus pada konteks penyelenggara negara dan orang yang berkaitan dengan penyelenggara negara, maka yang paling potensial akan diusut atau disidik kasus korupsinya adalah anggota DPR dan para birokrat.

Mengapa anggota DPR yang harus disidik atau diselidiki?

Itu karena titik rawan korupsi memang ada di DPR dan juga di pemerintahan. Misalnya, pada konteks pembahasan anggaran, dan kemudian jika kita belajar dari berapa kasus. Hingga kini sudah berapa anggota DPR yang diselidik dan dituntut oleh KPK. Saya melihat ada ketakutan tersendiri di DPR, terutama konteks penyadapan. Misalnya kalau kita cek di beberapa media massa, setiap anggota DPR merasa bahwa HP mereka disadap. Hal itu menjadi paranoid sendiri.

Memang KPK mempunyai kewenangan yang extra ordinary, kewenangan yang super, yang luar biasa. Kewenangan itu bisa menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang, terutama anggota DPR. Tapi saya ingin fokus supaya revisi UU mengikuti ketentuan dalam UU No.12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, yaitu harus dilengkapi dokumen pendukung minimal naskah rancangan undang-undang dan naskah akademik. Itu untuk mengukur sejauhmana perubahan yang ingin dilakukan. Selama ini kita hanya melihat ada lima hal, atau enam hal, atau empat hal, atau tiga hal yang akan direvisi dari UU KPK. Dengan adanya naskah akademik maka arah perubahan akan kelihatan, apakah untuk penguatan atau melemahkan KPK.

Apakah selama ini tahap-tahap seperti penyiapan naskah akademik telah dilakukan?

Untuk UU KPK tidak ada naskah undang-undangnya dan tidak ada naskah akademiknya. Jadi memang yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah, bertemu kemudian ada wacana untuk merevisi UU KPK. Itu bisa direvisi. Sementara menurut UU No.12/2011 tidak bisa seperti itu. Jadi ketika ingin memasukkan satu rancangan UU dalam prolegnas dibahas, maka harus diikuti dengan rancangan UU dan naskah akademiknya sehingga bisa diukur perubahannya. Artinya, yang ingin saya katakan bahwa tindakan merevisi UU KPK dalam prolegnas 2015 sudah cacat prosedural dari awal.

Publik tidak mengetahui arah dari revisi UU KPK, apakah untuk perbaikan dalam arti penguatan atau justru pelemahan. Menurut anda, apakah rencana revisi ini untuk perbaikan seperti yang digembar-gemborkan oleh anggota DPR, atau justru malah ingin memperlemah KPK?

Kalau dilihat dari proses yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, kemudian arah perubahannya tidak ada, lalu juga ada kondisi dimana KPK sekarang sedang dilemahkan secara bertubi-tubi pasca Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Saya melihat arahnya memang melemahkan KPK. Juga sudah terlihat pada beberapa statement anggota DPR, yang ingin membatasi kewenangan penyadapan, kemudian ingin mereposisi kewenangan penuntutan. Topik-topik yang dibicarakan dan menguap ke publik itu sebenarnya jantung KPK, kewenangan penyadapan, penyelidik, penyidik, penuntutan, itu semua jantung KPK. Jadi memang arahnya bukan menguatkan, tapi melemahkan.

Bagaimana supaya KPK tidak dilemahkan?

Menurut saya, kuncinya sekarang ada di Presiden Jokowi. Dalam Peraturan Presiden No.87 tahun 2014, menyatakan bahwa menteri terkait yang mengurusi Prolegnas, Menteri Hukum dan HAM, ketika menyepakati Prolegnas harus ada persetujuan bersama pemerintah dan DPR. Itu ada pada pasal 20. Hal itu yang sampai sekarang belum dilakukan Menteri Hukum dan HAM. Jadi menurut saya, kalau presiden tidak ingin membahas UU KPK, jangan mengeluarkan surat presiden untuk membahas, tapi keluarkan surat penolakan kepada DPR, artinya menganulir bahwa revisi UU KPK dimasukkan dalam Proglenas 2015.

Saat in Presiden RI Jokowi telah menyatakan secara tegas menolak revisi UU KPK. Lalu, bagaimana jika sebagian besar anggota DPR RI tetap berkeras ingin merevisi, misalnya melalui usulan inisiatif mereka untuk merevisi. Apakah itu bisa terjadi?

UUD mengatakan bahwa pembahasan UU dilakukan oleh presiden dan DPR secara bersama-sama. Ada kata-kata secara bersama-sama, jadi memang kedua belah pihak. Dalam teknisnya, ketika suatu rancangan UU ingin dibahas maka presiden mengeluarkan surat presiden yang menunjuk menteri terkait untuk melakukan pembahasan. Karena itu seharusnya Presiden Jokowi tidak mengeluarkan surat presiden itu, tapi mengeluarkan surat penolakan pada DPR.

Menurut saya, ranah tindakan presiden jangan lagi pada ranah statement, tapi sudah langsung ranah konkrit, tidak mengeluarkan surat presiden, tidak menugaskan menteri, mengirimkan surat penolakan, dan juga menganulir bahwa revisi UU KPK akan dibahas bersama DPR. Risiko politik dan hukum dari tindakan tersebut cukup baik dan aman karena memang pembahasan rancangan UU seharusnya dilakukan bersama-sama, tidak boleh DPR sendiri.

Apakah saat ini Presiden sudah mengirimkan surat penolakan tersebut?

Saya belum melihat bahwa ada surat penolakan, sehingga menurut saya memang wacana presiden tersebut harus dikonkritkan dalam bentuk tindakan.

Artinya sebelum ada surat penolakan diterima DPR maka rencana revisi UU KPK ini akan terus berjalan di DPR.

Ya, berjalan dalam arti kalau kita lihat laporan Badan Legislasi, pada saat kesepakatan antara pemerintah dengan DPR untuk memasukkan revisi UU KPK, menunjukkan revisi UU KPK diusulkan oleh pemerintah. Jadi penyiapan naskah akademik dan naskah UU-nya disiapkan oleh pemerintah. Artinya, kalau presidennya sudah mengatakan bahwa saya tidak ingin membahas, kemudian dia tidak mengeluarkan surat presiden, lalu nantinya mengeluarkan surat penolakan, maka penyiapan rancangan UU dan naskah akademik tidak akan dilakukan oleh pemerintah, sehingga pembahasannya tidak akan dilakukan. Kecuali, nantinya DPR ingin mengambil alih inisiatif. Jadi revisi UU KPK inisiatif DPR, sehingga bisa meminta presiden untuk melakukan pembahasan.

Anda menjelaskan bahwa arah dari revisi tersebut adalah melemahkan KPK. Apa dampaknya bagi kita sebagai publik jika KPK melemah?

Kalau KPK lemah maka yang dapat dipastikan adalah korupsi akan semakin merajalela karena kita tidak kunjung juga membangun kepolisian dan kejaksaan untuk memerangi korupsi. Hingga hari ini yang bisa kita harapkan untuk kemudian menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi hanya KPK. Kalau kita mengambil contoh dari sisi pencegahan, sampai tahun ini KPK sudah mengembalikan kekayaan negara Rp248 triliun, kalau tidak salah itu hanya dari sisi pencegahan. Anda bisa bayangkan uang Rp248 triliun itu berapa sekolah yang bisa dibangun, kemudian berapa jembatan yang bisa dibangun. Atau untuk kesenangan anak-anak kita, berapa lapangan bola yang bisa dibangun dengan dana Rp248 triliun itu. Setiap desa punya lapangan bola tersendiri, dan itu paling dekat dengan masyarakat.

Menurut saya, kita bisa membandingkan berapa kerugian negara dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Apakah publik sudah percaya dengan kepolisian dan kejaksaan? Pertanyaannya itu. Dalam survei kompas yang terbaru misalnya kita bisa melihat bahwa harapan publik sangat besar pada KPK. Ada sekitar 80% kalau tidak salah tingkat kepercayaan publik pada KPK, sementara kejaksaan dan kepolisian berada pada 10% – 20%. Setidaknya itu bisa menunjukkan sampel bahwa keberadaan KPK memang sangat diharapkan oleh masyarakat. Tidak hanya soal keberadaan kelembagaannya tapi juga sebagai ekspresi kemarahan publik terhadap korupsi itu sendiri. Kalau KPK dilemahkan maka yang paling dirugikan sebenarnya masyarakat.

Yang dirugikan adalah masyarakat, dan publik juga menginginkan KPK tetap ada dan mempunyai kewenangan seperti saat ini. Lalu, apa yang bisa publik lakukan untuk KPK agar tetap memiliki kewenangan seperti saat ini?

Yang bisa dilakukan oleh publik adalah memberikan dukungan langsung pada KPK. Ada beberapa kanal, misalnya, ada yang langsung datang ke KPK. Sebenarnya kami rutin melakukan aksi di depan KPK, aksi damai, dan sebagainya sampai ke ibu-ibu pengajian di depan KPK. Lalu juga ada kanal-kanal lain misalnya petisi dan sebagainya. Kita melakukan itu karena kondisi KPK hari ini tidak sedang baik-baik saja, pasca penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Budi Gunawan adalah Wakil Kepala Polri saat ini.

Nah, kita bisa melihat bagaimana kondisi KPK sedang dilemahkan termasuk juga pra-peradilan yang sangat irasional. Kalau pada kasus Budi Gunawan, misalnya pra-peradilan pada saat itu yang disasar adalah kewenangan KPK. Lalu pada kasus terakhir Hadi Purnomo yang disasar adalah penyelidikan penyidik. Jadi jantung-jantung KPK memang sedang digerogotin. Lalu kemudian sampai hari ini ada dua komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjajanto yang masih menyandang status tersangka, sehingga harus diberhentikan secara sementara. Lalu ada Novel Baswedan, penyidik KPK, yang kemudian juga berstatus tersangka. Lalu ada beberapa ratus orang yang diancam oleh Bareskrim Mabes Polri untuk dijadikan tersangka. Artinya, saat ini KPK sedang tidak baik-baik saja dan butuh penguatan dan dukungan politik, baik dari publik maupun kekuatan politik lainnya.

Sebenarnya selain dukungan publik, Presiden juga harus segera turun tangan. Presiden harus mengukuhkan dirinya sebagai panglima pemberantasan korupsi. Pertama, menguatkan KPK kemudian mengevaluasi kepolisian dan kejaksaan. Tanpa evaluasi terhadap kepolisian dan kejaksaan, maka korupsi akan terus merajalela. Kedua, kita akan cenderung berpatok pada KPK, sementara KPK terus menerus dilemahkan tanpa ada bumper atau pelindung apapun.

Selain publik harus ikut turun tangan memberikan dukungan, Anda juga mengatakan bahwa presiden juga harus turun tangan. Nah, apa bentuk konkret yang bisa dilakukan Presiden untuk memperkuat KPK?

Pertama, Presiden menolak revisi UU KPK. Kedua, melakukan evaluasi terhadap proses penegakan hukum Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Bahkan pada titik-titik tertentu, Presiden bisa memerintahkan Kapolri mengevaluasi proses penegakan yang disebut proses penegakan hukum. Kalau tidak merupakan proses penegakan hukum maka Kapolri bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Saya rasa Presiden sudah mengetahui banyak informasi mengenai hal ini terutama kriminalisasi terhadap Bambang Widjajanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan sehingga menurut saya Presiden tinggal melakukan langkah. Jadi tidak lagi pada konteks menyerap informasi dan sebagainya. Persoalan apakah Presiden berani atau tidak, itu urusan berbeda. Tapi menurut saya harus ada evaluasi besar-besaraan terhadap kepolisian. Aktor-aktor dalam kriminalisasi, kalau kita lihat adanya kriminalisasi pasca penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, maka harus ada evaluasi terhadap aktor-aktor dalam kriminalisasi.

Hal ini sebenarnya juga sudah dikuatkan dengan rekomendasi lembaga-lembaga negara lainnya. Misalnya, Ombudsman mengatakan telah terjadi abuse of power mal-administrasi besar dalam proses penegakan penyidikan Abraham Samad dan Novel Baswedan. Komnas HAM juga sudah mengatakan sudah terjadi pelanggaran berat. Artinya, tidak lagi hanya publik yang marah terhadap pelemahan terhadap KPK tapi juga lembaga-lembaga negara lain sudah menguatkan bahwa ini memang bentuk pelemahan. Jadi menurut saya, dasar-dasar untuk Presiden bergerak sudah cukup. Jangan sampai kemudian setelah KPK, kewibawaan Presiden yang kemudian drong-rong oleh kepolisian. #Perspektif Baru

=================================================

Yayasan Perspektif Baru bekerjasama dengan Yayasan Konrad Adenauer memproduksi program PERSPEKTIF BARU, dimuat sebagai sindikasi empat koran se-Indonesia, yaitu Harian Jogja, Joglo Semar Solo, B Magazine, Harian Pagi Siwalima, dan Rimanews.com

Naskah ini merupakan transkrip wawancara radio yang disiarkan sindikasi ratusan stasion radio melalui Jaringan Radio KBR, Jaringan Radio Antero NAD, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Metro RGM Purwokerto, Global FM Bali, Lesitta FM Bengkulu, Maya Pesona FM Mataram, Pahla Budi Sakti Serang, Poliyama FM Gorontalo, BQ 99 FM Balikpapan, Gita Lestari Bitung, Dino FM Samarinda, Genius FM Pare-Pare, Civica FM Gorontalo, Shallom FM Tobelo Maluku Utara, Marss FM Garut, Sangkakala FM Banjarmasin, M83 FM Kutai Kartanegara, RPFM Kebumen, BFM Bangka Belitung, Sehati FM Bengkulu, Gemma Satunama Yogyakarta, BPKB FM Gorontalo, Suara Pangaba Balikpapan, RDP Kutim, Mutiara FM.

=========================

PERSPEKTIF BARU ONLINE : www.perspektifbaru.com
E-mail : yayasan@perspektifbaru.com

Hak cipta pada Yayasan Perspektif Baru, faks. (021) 722-9994, telp. (021) 727-90028 (hunting)

Comments are closed.