SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Pemerintah di daerah tidak bisa disalahkan pemerintah pusat soal kecilnya realisasi penyerapan anggaran pemerintah. Ada banyak hal terkait didalamnya, termasuk regulasi yang dibuat Kementerian Dalam Negeri, seperti Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Misalnya sesuai Permendagri itu alokasi anggaran untuk perencanaan suatu proyek tidak bisa dipisahkan pengalokasiannya dengan anggaran untuk kegiatan fisik.
“Alokasi dana untuk perencanaan tidak bisa dialokasi di APBD-Perubahan, sedangkan anggaran untuk fisik dialokasikan di APBD-Murni tahun berikutnya,” ungkap Kepala Bappeda Samarinda, H Sugeng Chairuddin.
Menurutnya, semua item proyek yang akan dikerjakan dalam lima tahun, sebetulnya sudah tergambar dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang disahkan bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah, termasuk apa yang jadi proyek tahun pertama sampai tahun kelima.
Tapi saat proyek yang sudah ada dalam RPJMD itu mau direalisasikan, anggaran untuk perencanaan tidak bisa disahkan atau dialokasikan mendahului pengalokasian untuk kegiatan fisik proyek itu sendiri. “Itu hanya salah satu sumber masalah yang menjadikan pemerintah daerah tidak bisa cepat menyerap anggaran pembangunan,” tambah Sugeng.
Istilahnya, kata Sugeng, kalau alokasi anggaran perencanaan dialokasikan di APBD-Perubahan, sedangkan alokasi anggaran fisik proyek di APBD-Murni tahun depan, maka proyek itu nanti bisa disebut proyek by request. Itu juga menimbulkan masalah.
Kalau menggunakan logika linear, kata Sugeng, bila penganggaran boleh terpisah, itu bisa mempercepat pelaksanaan proyek pemerintah, plus percepatan penyerapan anggaran bisa lebih cepat sebab, pada triwulan keempat semua perencanaan proyek, atau DED (detail engineriing design) sudah selesai dikerjakan, dan tahun anggaran baru tinggal melelang pekerjaan fisik di bulan Februari atau Maret.
“Kalau menggunakan logika orang swasta, bagusnya seperti itu, tapi ini kan birokrasi yang harus dijalankan sesuai regulasi pemerintah, yang kadang-kadang memang tak efisien dari sisi waktu,” ungkapnya.
Dampak dari regulasi yang demikian dalam pengelolaan keuangan daerah, maka lelang pekerjaan perencanaan atau pembuatan DED dilakukan dalam tahun yang sama dengan lelang pekerjaan fisik proyek. Sesuai urutan-urutannya, yang dilelang duluan adalah lelang perencanaan. Kalau lelang perencanaan dilakukan Februari atau Maret, ditambah proses lelang yang memakan waktu 45 hari dan masa pelaksanaan pembuatan perencanaan sekitar 60 hari, maka total hari yang sudah terbuang 105 hari, atau lelang fisik proyek paling cepat baru bisa dilakukan pada bulan Mei atau Juni.
“Pada bulan Mei atau Juni itu, otomatis belum ada anggaran proyek bisa diserap,” terang Sugeng.
Setelah lelang fisik proyek dilakukan Mei atau Juni, ditambah proses lelang 45 hari, proyek paling cepat baru selesai dilelang pertengahan Juni atau Juli. Kalau dalam kontrak, kontraktor berhak mendapatkan uang muka proyek, baru ada serapan anggaran. Tapi uang muka proyek tidak besar, jadi pengaruhnya sedikit saja terhadap serapan anggaran.
Kebiasaan di dunia kontraktor, setelah menerima uang muka proyek, kontraktor tidak mengambil lagi pembayaran atas progres pekerjaannya sebagaimana diatur dalam kontrak, karena kontraktor full mengerjakan fisik proyek. “Mereka baru mengambil pembayaran secara keseluruhan setelah proyek selesai 100 persen sebelum tahun anggaran berakhir di Desember,” kata Sugeng.
Menurutnya, prosentase penyerapan anggaran tidak mencerminkan bahwa aktifitas pelaksanaan pembangunan tidak berjalan sesuai tahapan-tahapan. Misalnya di Samarinda, nilai proyek pembangunan lebih kurang Rp 1,8 triliun, pada triwulan II dan III bisa saja terlihat realisasi keuangan masih kurang dari 50 persen, tapi di lapangan realisasi proyek bisa jadi sudah 75 persen. “Realisasi keuangan baru sama dengan realisasi fisik proyek, di bulan Desember atau saat semua kontraktor sudah harus memasukkan tagihan pekerjaan,” ujar Sugeng. #into
Comments are closed.