BeritaKaltim.Co

Korban ke-11 Kolam Maut Samarinda Ditangani Tim Kementerian LHK

samrinda 11SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Kematian bocah berusia 11 tahun M Yusuf Subhan, beberapa pekan lalu, menambah daftar jumlah anak yang meninggal di lubang eks tambang batu bara. Kasusnya kini ditangani Tim dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Jakarta.

Yusuf Subhan, salah satu santri di Pondok Pesantren Tursina, Pampang, adalah korban ke 11 di lubang eks tambang batubara yang banyak terdapat di Kota Samarinda. Dia ditemukan tewas pada 24 Agustus di konsesi Tambang PT Lana Harita Indonesia (LHI) yang merupakan PKP2B. Perusahaan ini di bawah Grup Lana Resources dari Thailand dengan bentang areal konsesinya mencapai 30.018 hektar di Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Tambang ini baru akan berhenti mengeruk pada tahun 2031.

Dalam pertemuan yang dimediasi Tim KLHK yang berkantor di Manggala, Jakarta Pusat, 10 September 2015, terjadi perdebatan antara wakil perusahaan LHI dengan data yang disajikan JATAM Kaltim, Jatam Nasional, Walhi Nasional, BLH Provinsi Kaltim, BLH Kota Samarinda.

Perdebatan berkisar pada status lubang Tambang, Plang milik LHI, Pagar Ulin yang baru dipasang dan kebutuhan air bersih warga.

Pihak Lana Harita Indonesia yang diwakili oleh Setiadi mengakui bahwa sejarah kolam water quality treatment dimulai sebagai lubang bekas tambang yang tak direklamasi, Setiadi berdalih warga meminta sisa lubang untuk dijadikan sumber air, sehingga perusahaan akhirnya membiarkan lubang menganga tanpa pengawasan.

Merah Johansyah mempersoalkan ketidaktaatan Lana Harita tersebut. Mereka juga tak mereklamasi dan juga tidak melakukan pengamatan dan pengujian kualitas air di kolam tersebut sampai akhirnya diserahkan pada warga. Menurut JATAM, perusahaan tetap bertanggungjawab secara hukum atas dampaknya apalagi sampai ada nyawa bocah Subhan Yusuf meninggal dunia.

Dari bukti foto di TKP yang diinvestigasi JATAM, plang di kolam tersebut jelas menunjukkan bahwa itu kolam water quality monitoring bukan kolam air biasa, bahkan diakui juga sebelumnya itu bekas lubang tambang pula.

Ketika 12 jam setelah ditemukannya korban, menurut Merah Johansyah, Jatam Kaltim juga menemukan pagar baru yang dibuat dari kayu ulin yang diberi kawat. Hal tersebut membantah pengakuan Lana Harita yang menyebut sejak 2011 kawasan lubang tambang itu sudah dipagar. Setelah dikonfrontir akhirnya pihak Lana mengakui bahwa pagar memang baru dipasang setelah kejadian.

Merah Johansyah selaku Dinamisator Jatam Kaltim mempertanyakan mengapa PT LHI membiarkan air dari lubang tersebut dikonsumsi oleh warga sekitar. Selain itu, walau ada surat permohonan yang disampaikan oleh warga sekitar, isinya adalah “permohonan air bersih, bukan air kolam”.
Selain itu, kata Merah Johansyah, surat permohonan disampaikan sejak 2009 sedangkan produksi PT LHI berakhir di tahun 2011.

Walau demikian, pihak dari PT LHI menyampaikan bahwa telah memasang plang peringatan setelah November 2011 akan tetapi dicabut oleh warga sekitar. Ini yang dimaksud oleh Merah bahwa PT LHI sengaja membiarkan hilangnya plang peringatan dan memperbolehkan masyarakat sekitar mengkonsumsi air yang tak jelas kualitasnya. Secara jelas terlihat bahwa pihak perusahaan melepas tanggungjawabnya dalam hal pengawasan dan menjaga keselamatan warga sekitar.

Pihak dari KLHK yang diwakili oleh Direktur Pengaduan dan Penegakan Hukum, Kemal Anas, menjanjikan untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan serta akan langsung ke Samarinda menindaklanjuti kasus ini di awal Oktober 2015. #pr

Comments are closed.