BeritaKaltim.Co

Mengenang Jalan Hidup Suyadi, Pak Raden di Si Unyil (1932-2015)

Suyadi si Pak Raden. (foto: dok. Facebook Pak Raden)
Suyadi si Pak Raden. (foto: dok. Facebook Pak Raden)

BERITAKALTIM.COM – Jakarta – Melihat wajahnya di foto lawas tahun 1980-an di buku Apa & Siapa 1985-1986, Suyadi tampak tak berkumis. Namun, seperti dikatakan buku itu di kalimat awal profil singkatnya, kilimis dan tanpa kumis melintang pun ia tetap dipanggil Pak Raden oleh anak-anak di sekitar tempatnya tinggal.

Tidak terlalu salah. Kecuali kumis, wajah Suyadi memang mirip tokoh pelit dalam serial Si Unyil, yang muncul saban Minggu di TVRI tahun 1980-an. Sama gemuknya, suaranya juga pas dengan perwatakan Pak Raden yang antagonistis.

Kepada penulis buku Apa & Siapa, Suyadi sendiri merasa suaranya mirip suara Burisrawa dan Dursasana, dan kalau marah seperti suara Baladewa–ketiganya dari dunia wayang. “Di sinilah sulitnya menjadi Pak Raden,” katanya dikutip buku itu. Acap memperkenalkan diri sebagai “Raden Mas Singomenggolo Jalmowono”, sosok yang tampil harus kontroversial.

Tepatnya, kontradiktif. Pak Raden dimusuhi anak-anak karena pelit. Yang menonton Si Unyil dahulu tentu asih ingat, Pak Raden bisa marah besar bila ada yang mencuri mangganya. Meski dimusuhi karena pelit, ia tetap menjadi teman main anak-anak, misal dalam latihan baris-berbaris.

Sepanjang hidupnya, jauh setelah Si Unyil tamat, kalah populer oleh kartun Jepang, Suyadi tetap menghidupkan karakter Pak Raden. Ia tetap menjadi sahabat anak-anak dengan mendongeng ke sana-ke mari, menulis buku cerita anak dan dalam setiap kesempatan muncul dengan pakaian kebesaran Pak Raden: blangkon, beskap dan tongkat, serta kumis hitam melintang.

Kini, kita kehilangan sosok asli yang menghudupkan Pak Raden. Suyadi meninggal dunia Jumat (30/22/2015) malam. Ia tutup umur di usia 82 tahun.

Lahir di Puger, Jawa Timur, 28 November 1932, ia berasal dari orangtua yang tergolong mampu. Ayahnya seorang patih di zaman Belanda. Meski keluarganya berada, mainan yang disukai Suyadi kecil hanya pensil warna, untuk corat-coret. Bakatnya pada dunia seni rupa sudah muncul sejak kecil. Selain jago menggambar, ia juga gemar membentuk sesuatu dari tanah liat atau lilin. Biasanya ia membayangkan diri memainkan ciptaannya itu sambil nembang. “Saya waktu kecil bercita-cita jadi dalang,” katanya di buku Apa dan Siapa 1985-1986.

Suyadi tak jadi dalang. Nasib membawanya kuliah jurusan Seni Rupa ITB hingga sarjana, bergelar “doktorandus” yang selalu dibawa di depan namanya. Ia bahkan sempat jadi dosen luar biasa di almamaternya. Pada saat itu cita-citanya sudah berubah: memiliki studio animasi dan film boneka.

Suyadi memulai kariernya dengan menggambar sejak masih mahasiswa, yaitu dengan membuat ilustrasi cerita anak. Ia terpilih sebagai ilustrator buku cerita anak-anak terbaik di acara Tahun Buku Internasional 1972. Selain itu, ia juga mengarang buku anak-anak sendiri.

Kemampuan menggambar lalu membawanya pula belajar hingga ke Prancis. Selama tiga tahun ia belajar perfilman di studio Prancis, Les Cineastes Associes dan di Les Films Martin Boschet. Ia pernah bekerja sebagai art director dan menangani beberapa film seperti Lampu Merah, Pemburu Mayat, Kabut di Kintamani dan Cobra. Namun, ia tak merasa betah di dunia art directing.

Karena art director juga harus menangani kostum dan make up pemain, ia merasa kurang sreg. “Padahal saya ini kan tukang gambar,” kata Suyadi. “Jadi animator-lah sesungguhnya profesi saya.”

Serial boneka Si Unyil kemudian menjadi acara anak-anak terpopuler tahun 1980-an. Tidak hanya memberi edukasi, serialnya juga menghibur–sesuatu yang langka kini di jagat televisi kita. Mungkin tak banyak orang tahu kini, pada 1983 serial Si Unyil meraih penghargaan dari badan pendidikan Unicef, organisasi di bawah PBB yang mengurusi anak-anak, yang menganugerahi Si Unyil sebagai film pendidikan terbaik untuk negara-negara berkembang.

Di luar nilai edukasinya, Si Unyil telah jadi maskot era 1980-an. Para karakternya dikenang terus hingga kini. Kita ingat Pak Ogah dengan ungkapan khas-nya, “Cepek dulu.” Pun dengan Unyil dan kawan-kawannya yang selalu jadi anak SD atau Pak Raden dengan kumis melintang dan suaranya yang keras membahana.

Selepas Si Unyil turun pamornya, Suyadi tak lantas mundur. Ia menghidupkan karakter fiksi itu di dunia nyata. Ia mengandalkan kemampuannya menggambar dan bercerita dengan mendongeng pada anak-anak. Yang ia dongengkan bukan mereka yang dulu menontonnya di serial Si Unyil, tapi anak-anak masa kini yang tak pernah menonton serialnya di TVRI. Tapi toh Suyadi berhasil memikat anak-anak.

Ya, seperti sejumlah artis lawas lain, Suyadi tak menikmati masa tua dengan hidup senang bergelimang harta. Ia menjalani hidup dengan berdongeng pada anak-anak. Pekerjaan yang disukainya, tentu. Namun itu juga bentuknya bertahan hidup. Hingga tutup usia, ia tinggal di rumah milik kakaknya. Baru beberapa hari lalu, sebelum ajalnya, ia mendapat hadiah rumah dari sebuah acara penghargaan infotainment. Rumah barunya itu belum sempat ia tempati.

Ada sebuah kalimat mengharukan yang terpampang di layar saat Suyadi menerima hadiah rumah beberapa hari lalu.

“Jika jarum jam dapat diputar kembali, saya ingin tetap menjadi Suyadi. Suyadi yang lebih baik. Suyadi yang berbuat lebih banyak untuk dunia anak dan Suyadi dengan kondisi keuangan yang lebih baik.”

Ah, andai jarum jam bisa diputar kembali. Selamat jalan, Drs. Suyadi. Terima kasih, Pak Raden

Comments are closed.