Bulan Oktober 2015, sejumlah wartawan yang bertugas di perbatasan negara berkumpul di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Satu isu yang dibahas; Jurnalis sebagai penjaga hubungan harmonis dua negeri bertetangga, Indonesia-Malaysia.
Terungkap, ketegangan yang sering terjadi antara masyarakat Indonesia-Malaysia salah satunya disebabkan pengaruh media massa dalam pemberitaannya. Ditambah pengaruh dari media sosial yang sulit terkontrol, akhirnya memunculkan hubungan yang kurang harmonis. Saling kecam, caci maki bahkan dibarengi aksi demonstrasi ke kedutaan besar, membakar bendera kebangsaan.
Kasus penganiayaan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) oleh oknum majikan di Malaysia diblowup dalam berita media seolah-olah semua warga Malaysia jahat. Padahal, kasus seperti itu adalah perbuatan oknum. Hanya segelintir dan pihak kerajaan Malaysia juga selalu menghukum jika memang warganya bersalah.
Begitu juga ketika demonstrasi warga Indonesia di Kedutaan Malaysia di Jakarta. Aksi oleh puluhan atau seratus orang seolah-olah telah mewakili seluruh rakyat Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Indonesia lebih 250 juta jiwa, tersebar di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta. Jika ada demonstrasi seperti itu tentulah tidak mewakili masyarakat Indonesia.
Tiap kali demo, muncul kata-kata “Ganyang Malaysia” . Ini kata-kata yang populer di era Presiden Soekarno tahun 1962-1966. Ketika terjadi perselisihan paham dua negara yang melibatkan tentara.
Karena diberitakan media Indonesia apa adanya, bahkan melalui siaran live televisi, kata-kata itu memprovokasi situasi. Seolah warga kedua negeri bersepakat untuk perang.
Kondisi berbeda dialami masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan Malaysia. Warga di perbatasan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang tanahnya berbatas langsung dengan provinsi Serawak dan Sabah, Malaysia, menolak ajakan perang. Bukan saja perang fisik dan senjata, bahkan untuk perang kata-kata pun mereka tidak mau.
Setelah masa konfrontasi Indonesia-Malaysia 1962-1966, warga perbatasan mengalami trauma. Ada makam-makam Pahlawan di Kabupaten Nunukan, monumen sejarah dan cerita berdarah dua negara yang ujungnya menyengsarakan mereka.
Suku-suku asli Kalimantan yang hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia tak begitu paham dengan politik batas negara. Sejak nenek moyang mereka sudah mengarungi hutan tanpa garis batas. Ada tali persaudaraan antara suku-suku Dayak Indonesia dengan suku-suku di Sabah dan Serawak Malaysia.
Warga suku asli khususnya etnis Dayak, berbaur, menikah dan menjalin persaudaraan di kawasan Sempadan dua negara. Sehingga, jangan heran kalau ada acara pesta pernikahan di Sabah atau Serawak, berbondong-bondong warga Indonesia di perbatasan menghadirinya. Kadang desa mereka jadi kosong karena berangkat semua.
Nah, kalau Wartawan tidak memahami cerita yang begini, maka muncul berita bahwa masyarakat di perbatasan Indonesia eksodus ke Malaysia.
Inilah cerita-cerita yang tergali dalam bincang-bincang antara wartawan Indonesia dan Malaysia yang berkumpul di The Klagan Regency, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Sebagian cerita justru muncul di luar forum resmi, yaitu dalam dialog non formal sambil menikmati kopi atau teh.
Dari Jakarta ada wartawan-wartawan senior seperti Tarman Azzam (Mantan Ketua PWI Pusat), Asro Kamal Rokan (Mantan Pimred Harian Jurnal Nasional), Saiful Hadi (CEO dan Pemred Antara) dan Nachrowi (Dewan Pengawas Antara).
Kemudian dari Kalimantan Utara ada Dt Iskandar Zukarnaen (Antara) dan Anthon Joy (Radar Tarakan). Dari Kalimantan Timur Charles Siahaan (beritakaltim.com/ bongkar magazine), Wiwied Mahendra (Viva Borneo) dan Uways Alqadrie (Kaltim Post).
Dari Kalimantan Barat Andri Januardi (Pontianak Post) dan Teguh Imam Wibowo (Antara). Ditambah lagi Aulia Badar Wartawan Antara di Kuala Lumpur Malaysia yang sekaligus juga membantu panitia penyelenggara.
Dari Malaysia sendiri yang menjadi tuan rumah, Mohamad Nasir, Editor Isu Khas dan Features Bernama. Kemudian senior-senior wartawan dari Kuala Lumpur, seperti Datuk Zakaria Wahab Ketua Pengarang Bernama, Datuk Haji Zulkifli Salleh sebagai Presiden Iswami (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia) dan pengurus lainnya Zulkifli Hamzah, Datuk Mustafa Omar, Datuk Abdul Jalil Ali, Datuk Ibrahim Abdul Rahman, Aninah Janang dan Datuk Dr Chamil Wariya (CEO Institut Akhbar Malaysia).
Bergabung pula wartawan yang bertugas di Kota Kinabalu dan Tawau Sabah serta dari Kuching Serawak. Dari tuan rumah juga menghadirkan Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia, YBHG Tan Sri Datuk Seri Panglima Dr Rais Yatim. #
==========================================================================================
Bermimpi Membawa Mobil dari Kaltara ke Sabah
Naik-turun hubungan dua negara Indonesia-Malaysia berdampak pada warga perbatasan, karena jalur lalulintas orang dan barang yang biasanya longgar tiba-tiba diperketat.

Cerita tentang warga Long Midang, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, terangkat di forum Dialog Sempadan di ballroom The Klagan Regency, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Persisnya 12 Oktober 2015 malam, dalam pertemuan para wartawan dua negara yang menghadirkan pejabat tinggi setingkat Menteri, yakni Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia, YBHG Tan Sri Datuk Seri Panglima Dr Rais Yatim.
Wartawan Indonesia, Anthony Joy membuka, adanya kesulitan warga perbatasan di Krayan memperoleh bahan makanan dari Malaysia. Ini akibat ketatnya penjagaan oleh bea cukai dan Tentara Diraja Malaysia yang menjaga Pos Perbatasan di Ba’kelalan, Serawak, Malaysia.
Kisah kesulitan itu pernah hangat diberitakan oleh media online beritakaltara.com. Kejadiannya bulan Mei 2015, ketika masyarakat di sana menyampaikan kabar bahwa pihak Malaysia memperketat pintu masuk barang di Ba’kelalan Serawak Malaysia melalui Long Midang Krayan.
Secara geografis, Kecamatan Krayan Induk dan Krayan Selatan termasuk desa terluar Indonesia. Bahkan belum ada akses jalan darat karena desa yang dihuni mayoritas suku Dayak ini adalah hutan perawan. Transportasi warga satu-satunya untuk mencapai desa-desa tetangga adalah pesawat terbang kecil yang bisa mendarat di landasan tanah keras.
Pemerintah Indonesia melalui pemerintahan kabupaten Nunukan dan Provinsi Kaltara memberi subsidi untuk kelancaran penerbangan pesawat ini. Sebab selain mengangkut orang, pesawat ini juga memuat barang-barang keperluan warga Krayan.
Sejak puluhan tahun silam, warga Krayan yang sekarang jumlah penduduknya sekitar 9 ribu jiwa, lebih mudah mencapai akses ke Ba’kelalan, Serawak, Malaysia. Dulu hanya berjalan kaki beberapa jam, sudah sampai ke Ba’kelalan Serawak. Saat ini jalannya sudah besar dan mobil bisa keluar masuk, walau kondisi jalannya belum begitu bagus.
Selama ini tak ada masalah dengan jalur keluar dan masuk ke Malaysia melalui Pos Ba’kelalan. Warga Krayan punya andalan hasil pertaniannya, yakni beras Adan Krayan, beras hasil pembibitan lokal yang punya cita rasa tinggi. Menurut publish sebuah organisasi nirlaba, WWF (World Wide Fund for Nature), karena permintaan terus meningkat saat ini warga setempat membudidayakannya.
Konon, beras Adan dari Krayan ini menjadi kegemaran Sultan Brunei Hassanal Bolkiah dan juga mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
“Kelompok petani di Krayan Selatan membentuk Koperasi Serba Usaha Tana Tam Krayan Hulu (KSU-TTKH). Pembentukan ini untuk menjaga kualitas mutu beras dan mutu organik menyangkut proses persiapan lahan, seleksi bibit, penanaman, pasca panen, penggilingan sampai proses pengemasan untuk dipasarkan,” tulis WWF di website-nya.
Dari pintu Ba’kelalan itu juga warga Krayan berbelanja di Malaysia untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, seperti diutarakan Sekertaris Jenderal Persatuan Adat Dayak Kalimantan (PADK) Gat Kaleb, kepada wartawan beritakaltara.com (grup majalah ini), bulan Mei 2015 itu, Pemerintah Malaysia mendirikan pos pengawasan barang bersubsidi yang keluar dari Malaysia di Ba’kelalan untuk mencegah keluarnya kebutuhan pokok bersubsidi.
”Bea cukai di Bakalalan sekarang mengawasi lalulintas barang dari Malaysia ke Long Bawan. Secara otomatis barang yang masuk dari Malaysia ke Bakakalan tidak bisa bebas seperti dulu. Apalagi ini berkaitan dengan barang bersubsidi. Selama ini Sembako yang masuk ke Krayan adalah barang bersubsidi,” kata Gat Kelab.

Harga-harga kebutuhan warga di Krayan, termasuk yang ‘super’ mahal. Misalnya harga semen mencapai Rp150.000 – Rp200.000 per sak. Gula harga Rp20.000 perkilogram. Bensin premium mencapai Rp25 ribu per liter.
Tapi, sebenarnya, ketatnya penjagaan di pos perbatasan negara hanya pada situasi dan waktu tertentu. Misalnya, setelah kasus bulan Mei 2015 tersebut, berlalu begitu saja setelah beberapa bulan. Yang terpantau oleh pers, tidak ada berita-berita tentang kekurangan bahan pangan dari Krayan beberapa bulan belakangan. Lalulintas perdagangan dua desa atau dua negara, sudah lancar kembali.
Naik-turun hubungan Indonesia-Malaysia diakui warga di perbatasan berdampak bagi mereka. Seperti pada bulan Mei 2015 silam itu, adalah masa bagaimana Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo sedang bersemangat membasmi illegal fishing.
Melalui Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pujiastuti, kapal-kapal berbendera asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia ditangkapi. Bahkan ada kapal ikan yang tidak berizin ditenggelamkan setelah diputus bersalah oleh pengadilan.
“Jika terjadi ketegangan hubungan Indonesia dengan Malaysia di Jakarta, kami yang berada di pedalaman ini yang kena imbasnya,” ujar Gat Kelab.
Sebenarnya tidak hanya warga Long Midang Krayan yang mengalami nasib seperti itu. Selama ini ada beberapa pintu masuk ke Malaysia yang nyaris serupa. Dulu, sering disebut sebagai “jalur tikus”, hal itu lantaran keluar masuk Malaysia tidak perlu bawa dokumen paspor.
Di Kabupaten Malinau ada Desa Long Nawang , Apo Kayan yang juga punya pos lintas batas bernama Tapak Mega. Pos itu dibangun tahun 2000 setelah ada warga setempat merintis membuka jalan yang menghubungkan Serawak dengan Long Nawang, Kabupaten Malinau.
Kemudian di Sie Menggaris, Kabupaten Nunukan, yang sekarang sudah ada pos jaga lintas batas. Saat ini, sudah ada jalan yang tersambung yang menghubungkan seluruh Pulau Kalimantan ke Sie Manggaris, namun belum bisa tembus ke Serawak Malaysia.
“Memang masyarakat Indonesia khususnya di provinsi Kaltara dan Kaltim bermimpi suatu saat bisa membawa mobil sendiri melalui pos Sie Manggaris atau Long Nawang. Semoga ada perbincaraan dua negara mengenai hal ini,” kata Datuk Yaser Arafat, Anggota DPRD Kaltara, dalam sebuah forum diskusi di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, baru-baru ini.
Saat ini, pintu masuk mobil Indonesia hanya melalui Pontianak Indonesia ke Kuching Serawak. Padahal, jalan darat dari Kuching Serawak ini telah tersambung baik hingga ke Sabah dan juga negeri Brunei Darussalam.
Dan, pertemuan para jurnalis Malaysia – Indonesia di The Klagan Regency bisa menjadi harapan untuk mengangkat isu-isu perbatasan agar hubungan kedua negara kian harmonis. Ayo para jurnalis berbuat, membangun bersama, untuk kemajuan negara. #charles siahaan
====/======================================================================================
Diplomasi Tandas, “Sakitnya Tuh di Sini”
Liputan jurnalis dan bahasa pers sering menjadi pemicu kemarahan warga di dua negara, Indonesia-Malaysia. Padahal, hal itu bisa diminimalisir jika para Wartawan semangatnya menjaga keharmonisan hubungan negara bertetangga.

Ruang yang dingin di The Klagan Regency Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, Selasa (13/10/2015), sedikit menghangat ketika peserta “Dialog Sempadan” yang diikuti para Wartawan Indonesia dan Malaysia mulai menyampaikan pendapatnya.
Pandangan yang terlontar adalah tentang keharmonisan hubungan pemerintah maupun warga kedua negara yang sering mengalami masa pasang-surut. Seringkali memanas karena dipicu oleh pemberitaan media.
Kekalahan Indonesia atas sengketa di pengadilan internasional menyangkut Pulau Sipadan dan Ligitan di sebelah utara Pulau Kalimantan, masih terasa. Ibarat sebuah lagu dangdut dari artis Cita Citata yang sedang populer di Indonesia; “Sakitnya tuh di sini”.
Tapi, warga Malaysia juga mengalami “Sakitnya tuh di sini” ketika melihat aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan warga Indonesia di kedutaan besar Malaysia. Padahal, seperti kata Datuk Iskandar, wartawan Indonesia yang menjadi salah seorang peserta, demonstrasi di Indonesia tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia.
“Mereka yang berdemo mungkin seratus atau dua ratus orang. Sedangkan penduduk Indonesia 250 juta jiwa,” kata Iskandar.
Oke. Sudahlah. Para Jurnalis Indonesia datang ke Malaysia untuk membenahi agar hubungan kedua negara menjadi harmonis. Karena berita-berita yang dibuat oleh para jurnalis, menyebabkan ketegangan yang mestinya tidak perlu terjadi.
Banyak isu yang muncul dan perlu dibenahi kalangan Jurnalis. Misalnya, dalam pertemuan itu, seorang Wartawan Bernama yang bertugas di Tawau, Sabah, Amir Anuar, menyoroti bahwa masing-masing negara menemukan ada rumah penduduk Malaysia di Pulau Sebatik, yang ruang tamunya di Malaysia, tapi tandas (toilet, red) di Indonesia.
“Tapi, kabar dari Indonesia juga mengatakan ada rumah warga Indonesia yang berandanya di Indonesia dan dapur serta tandas di Malaysia. Jadi mana yang betul ini,” ujar Amir di depan forum.
Pertanyaan Amir cukup menggelitik. Karena begitulah sebenarnya cerminan masyarakat dua negara yang sedang terjadi. Kalau pers dalam pemberitaannya cederung melakukan provokasi dan berat sebelah, maka dapat berakibat semakin meruncingnya hubungan kedua negara.
Banyak lagi diplomasi bahasa yang dapat menegangkan kedua negara. Misal saja sebutan Indon yang biasa dipakai oleh pers Malaysia untuk menyebut orang Indonesia. Entah apa sebabnya, sebutan itu membuat banyak orang Indonesia menjadi marah.
Padahal, coba tanyakan orang Indonesia di Jakarta atau Samarinda, Tarakan, Pontianak, mereka tidak tahu kenapa harus marah disebut dengan kata Indon.
“Sebaiknya, hal-hal yang mengundang kemarahan orang lain, ya hindari saja,” ujar Tarman Azzam, mantan Ketua PWI Pusat yang juga hadir di acara forum Dialog Sempadan itu.
Masalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau buruh migran sering kali menjadi pemicu ketidakharmonisan kedua negara. Sebab seringkali bahasa di surat kabar merendahkan Indonesia, karena TKI umumnya adalah buruh pembanturumah tangga atau buruh kebun dari para majikan orang Malaysia.
Isu “majikan-buruh” menempatkan seolah-olah majikan boleh sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Seolah-olah hanya buruh yang membutuhkan uang dari pekerjaannya. Padahal, di sini pers bisa memberi edukasi bahwa buruh adalah bagian penting dalam membantu setiap keluarga. Bagian penting dalam perusahaan, bahkan bagian penting dalam pertumbuhan ekonomi negara.
“TKI atau buruh migran itu sumber daya manusia yang bukan sekedar alat untuk mencapai keuntungan, tapi investasi. Semua perusahaan memasukkan sumber daya manusia sebagai bagian investasi,” kata Muhammad Amir Ali, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di Samarinda.
Pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo membuat kebijakan yang tegas mengenai hubungan bertetangga. Beberapakali bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, kedua pemerintahan menunjukkan kemesraannya. Indonesia bahkan merasa terhormat karena dibantu oleh Malaysia dalam hal pemadaman lahan-lahan hutan terbakar yang mengakibatkan asap sampai ke Malaysia.
Presiden Joko Widodo sedang menata kawasan perbatasan. Sesuai dengan program Nawacita yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari kawasan pinggiran.
Sejak Indonesia Merdeka 70 tahun silam, kawasan garis batas negara Indonesia di sepanjang Pulau Kalimantan dibiarkan menjadi hutan. Indonesia menempatkan personil TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk mengamankan batas-batas itu.
Tapi, perlakuan berbeda dilakukan Malaysia yang memilih membangun kawasan Serawak dan Sabah. Kemajuan pembangunan terlihat di negeri itu dibanding provinsi di Indonesia. Perbedaan mencolok bisa terlihat sejak dari Tawau dan Kota Kinabalu, Sabah. Di sana sudah banyak terdapat hotel bintang lima dan gedung-gedung pencakar langit, sementara di Indonesia sebaliknya.
Karena ketimpangan pembangunan itu, Presiden Joko Widodo mengalokasikan dana pembangunan cukup besar untuk kawasan perbatasan. Ada perubahan minset, jika dulu pemerintah melakukan kebijakan dengan pendekatan keamanan dan menjadikan perbatasan sebagai halaman belakang, sekarang sudah tidak lagi. Pemerintahan Joko Widodo ingin daerah di perbatasan Indonesia menjadi beranda depan Indonesia.
Menurut data Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (PUPR), total panjang jalan yang dibangun pemerintahan Joko Widodo saat ini di sepanjang lintas paralel batas negara mencapai kurang lebih 2.101 km.
Masing-masing jalan di Kalimantan Barat 737,46 km, Kalimantan Timur 193,01 km, dan Kalimantan Utara 1.170,35 km. Pembangunan itu dimulai dari sebelah barat Kalimantan, yakni Desa Temajuk, Seluas, Balaikarangan, Rasau, Sepulau, Nangabadau, Lanjak, Tanjung Kerja, Nanga Era, terus ke timur ada Tiong Ohang, Long Panghai, Metutang, Long Bawan, Long Bujang, Long Kemuat, Langap, Malinau, Mensalong, Simanggaris dan Sei Ular.
Pemerintah Indonesia mengajak kerjasama dengan Zeni Angkatan Darat untuk membuka jalan yang 703,3 km belum tersambung dan masih tertutup hutan. Tahun ini, dari target 249 km yang direncanakan, sudah dibuka 70 km.
Dari kebijakan Presiden Joko Widodo membangun jalan perbatasan, “diplomasi Tandas” rumah warga di Pulau Sebatik seperti diungkapkan Amir Anuar dalam acara “Dialog Sempadan” tak perlu diungkit lagi. Sebab, rumah-rumah warga Indonesia ke depan sudah berubah. Tidak lagi membelakangi Malaysia. Rumah-rumah itu akan langsung menghadap Malaysia, sebagaimana layaknya hidup bertetangga. #charlessiahaan
=====/========================================================================
Sabah, Aku Akan Kembali !
…Tinggi-tinggi Gunung Kinabalu..
Tinggi lagi sayang sama kamu.
Biru-biru ujung Kinabalu..
Tengok dari jauh hati saya rindu.
Kinabalu dekat di Kundasan..
Banyak sayur bulih pilih-pilih….
Apaguna pergi luar negeri..
Naik Kinabalu hati saya Rindu…

Bait lagu itu terdengar sayup di Bus Jawatan Penerangan yang membawa rombongan Wartawan Indonesia – Malaysia di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Dari irama nadanya yang pop Melayu, jelas sekali maksud dan tujuannya. Mengajak warga Malaysia untuk tidak merayakan cuti dengan pergi ke luar negeri. “Naik Kinabalu, hati saya rindu”.
Lagu berjudul “Sayang Kinabalu”, berbalut pantun-pantun. Ini ciri khas dialektika suku-suku dari rumpun Melayu. Termasuk juga di Indonesia. Tidak heran, kalau pantun adalah ‘alat’ untuk berdialog tanpa harus marah-marah. Malah, bisa membuat kehidupan hari-hari terasa indah.
Tidak percaya? Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia, YBHG Tan Sri Datuk Seri Panglima Dr Rais Yatim termasuk yang mahir dalam berdialog pantun. Mungkin karena hobinya berpantun itu membuatnya terlihat awet muda padahal usia sudah 72 (kelahiran 15 April 1943, red).
Saat hadir memberi sambutan di depan para wartawan di ballroom The Klagan Regency di Kota Kinabalu, Sabah, pejabat tinggi Pemerintah Malaysia setingkat Menteri ini mampu mengulas kasus-kasus perbatasan di dua negeri ini dengan santun. Ia selalu meyelipkan pantun-pantun, sehingga suasana menjadi begitu cair.
Versi Dr Rais Yatim, masalah perbatasan biarlah menjadi urusan pemerintah yang panjang dan tidak tahu di mana ujungnya. Sama halnya seperti Amerika Serikat yang tidak pernah selesai dengan sengketa batas negara dengan Meksiko dan juga dengan Kanada.

Sedangkan tugas warga negara yang bertetangga adalah menjaga agar hubungan silaturahmi tidak sampai terputus. Tidak saling menghujat yang akhirnya membuat suasana tegang. Dr Rais Yatim yang ternyata masih keturunan darah Minang Sumatera Barat itu punya harapan besar, Malaysia-Indonesia dapat saling mendukung dalam membangun negeri masing-masing.
Banyak pantun-pantun yang diluncurkan Dr Rais Yatim untuk membangun suasana keakraban dalam acara Dialog Sempadan. Bahkan ia merasa senang ketika salah satu peserta dari Indonesia, Datuk Iskandar melontarkan balas pantun.
“Tapi kenapa sedikit pantunnya,” tegur Dr Rais Yatim kepada Datuk Iskandar usai acara Dialog Sempadan tersebut.
Sepanjang pertemuan antara wartawan Indonesia-Malaysia, balas pantun adalah bahasa komunikasi yang sering muncul. Terutama di grup WhatsApp yang dibuat khusus untuk para peserta Dialog Sempadan. Paling menonjol, balas pantun antara Mohamad Nasir, Editor Isu Khas dan Features Bernama Malaysia dengan Datuk Iskandar dari Antara Indonesia.
“Keindahan berbahasa pantun, boleh dicoba untuk merekatkan hubungan pemerintah dan masyarakat kedua negara. Terutama di Sempadan atau perbatasan. Mungkin perlu dibuat kegiatan bersama seperti lomba pantun, pesta pantun atau ‘perang’ pantun. Jadi warga bisa saling mengunjungi,” saran Charles Siahaan dari beritakaltim.com.
Keinginan merekatkan hubungan pemerintah dan masyarakat yang produktif itu juga yang diinginkan Dr Rais Yatim. Bahkan di Malaysia sudah ada berdiri YIRMI (Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia-Indonesia). Yayasan ini pula yang bergerak bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk sebagai penyokong kegiatan dari organisasi wartawan ISWAMI (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia).

CEO Antara Saiful Hadi justru menyarankan agar dibuat semacam kaukus atau kelompok kerja Wartawan yang bertugas di perbatasan. Tugasnya untuk menyambung komunikasi antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di daerah perbatasan yang selama ini tidak lancar.
Antar pemerintah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara dengan Kepala Pemerintahan Bandar Tawau, Sabah, misalnya, nyaris tak terjalin hubungan padahal kedua daerah bertetangga dan hanya sekitar 30 menit naik kapal motor untuk saling mengunjungi. Begitu juga dalam level provinsi; antara Pemerintah Provins Kaltara, Kaltim dan Kalbar dengan Sabah dan Serawak, Malaysia.
Hubungan “aneh” berada satu daratan tapi tidak saling menyapa ini yang perlu dibenahi. Sebab, perlu dilakukan penataan kawasan bersama. Menata perdagangan, memberesi jalur masuk dan meningkatkan interaksi antar elemen warga.
Malaysia sudah terlihat cukup agresif untuk ‘bergaul’ di kawasan perbatasan. Misalnya, dengan membuka jalur penerbangan internasional dari Bandara Tawau ke Bandara Juwata Tarakan. Penerbangan dengan pesawat jenis ATR 72 seri 200 ini terkoneksi langsung ke Kota Kinabalu. Sehingga, hanya perlu waktu 2 jam warga Tarakan sudah sampai di Keke – sebutan Kota Kinabalu.
Warga Tarakan maupun provinsi Kaltara, patut berterima kasih kepada Malaysia karena kebijakannya membuka jalur penerbangan itu. Karena ada penerbangan 3 kali seminggu (Senin, Kamis dan Jumat, red), Bandara Juwata Tarakan statusnya terdongkrak menjadi bandara internasional. Bayangkan, Provinsi Kaltara yang baru berdiri 3 tahun sudah punya bandara internasional.
Sayangnya, agresifnya Malaysia tak disertai ‘agresifnya’ pramugari dan pramugara di dalam pesawat. Saat pergi maupun pulang menumpang pesawat MASwing berbangku 68 seat, senyuman yang diberikan kepada tiap penumpang terasa kaku sekali. Saat ditanyakan sesuatu pun, pramugari cenderung menggunakan dialeg bahasa Inggris. Kenapa tidak pakai bahasa Melayu sebagai bahasa akrab kedua rumpun bertetangga ini?
Ketika rombongan wartawan dari Kaltim dan Kaltara terbang dari Bandara Juwata Tarakan, tidak semua bangku terisi. Masih cukup banyak yang kosong. Padahal, harga tiket pesawat yang dirupiahkan menjadi sekitar Rp360 ribu itu nyaris tidak jauh beda dengan harga tiket menumpang Kapal Motor ke Tawau yang memakan waktu sekitar 3,5 jam. Naik pesawat hanya membutuhkan waktu 30 menit.
Dari indikator itu kelihatan kalau “jembatan udara” yang dibangun Malaysia dari Tawau-Tarakan belum maksimal termanfaatkan. Bahkan maskapai penerbangan Indonesia belum ada yang berani membuka jalur tersebut.

Pasar penerbangan sangat potensial. Ada sekitar 3 juta warga Indonesia yang menjadi buruh migran diseluruh Malaysia. Untuk provinsi Sabah dan Serawak ada sekitar 150 ribu jiwa TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang sering bolak-balik ke kampung halamannya di Sulawesi, NTT dan NTB atau ke Pulau Jawa.
Sikap agresif Malaysia menarik para pelancong, tak begitu berguna kalau tak disertai dengan daya tarik negerinya. Nah, nampaknya Malaysia sudah memikirkan hal itu. Sejak dulu pemerintahnya gencar membangun sarana dan prasarana publik. Bukan sekedar membangun agar ada, tetapi ditata agar berkelas wisata.
Konsep wisata seperti telah melekat disemua program di instansi pemerintahan. Sehingga hanya dalam waktu singkat, setelah 70 tahun Kemerdekaan Malaysia, hampir seluruh negeri bagian terbangun menjadi lumbung destinasi yang menarik wisatawan. Bayangkan, dengan total jumlah penduduk Malaysia sekitar 30 juta jiwa, tapi negeri itu mampu mendatangkan pelancong tahun 2014 silam sekitar 28 juta orang.
Saat berada di Sabah, rombongan wartawan sempat diajak menikmati wisata. Selain ke Gunung Kinabalu yang terkenal itu, juga ke Pulau Manukan yang letaknya menghadap laut China. Dari dua lokasi wisata itu, kesan pertama adalah; rapi dan bersih.
Sektor wisata diandalkan Malaysia untuk menghidupi ekonomi, hampir semua sudut Sabah ditata agar mata nyaman melihatnya. Termasuk juga pusat-pusat kuliner di mana sajiannya beragam selera.
Tidak cukup waktu seminggu untuk menjelajahi ‘paket kenikmatan’ berwisata di Sabah. Saat rombongan Wartawan yang diundang ISWAMI hanya diberi jatah 5 hari, dalam hati para wartawan berkata; “Sabah, Kami Akan Kembali”. #charles siahaan
===/====================================================================================
Bertemu Chintya yang Ramah di Kaki Gunung Kinabalu

Peristiwa 5 Juni 2015 masih membekas di seluruh warga negeri Malaysia. Gempa 6 SR (Skala Richter) berakibat tanah di Gunung Kinabalu bergetar. Fatal akibatnya, 13 ditemukan tewas dan 6 hilang. Mereka adalah para pelancong yang melakukan pendakian dan pemandu. Di antaranya ada remaja dari Singapura yang sedang berlibur.
Kabar duka itu mengundang banyak diskusi kalangan ilmuwan. Tidak hanya di Sabah dan Serawak Malaysia, tapi juga di Indonesia. Terutama para geolog yang selama ini selalu mengabarkan Bumi Borneo adalah kawasan paling aman dari gempa.
Data dari Pusat Survei Geologi AS menyatakan, gempa yang dirasakan di Gunung Kinabalu dan sekitarnya terjadi pada kedalaman 10 kilometer, dengan pusat gempa terletak di sekitar 54 kilometer sebelah timur dari Kota Kinabalu, ibu kota Sabah.
Empat bulan setelah gempa melanda, sejumlah wartawan dari Indonesia datang mengunjungi Gunung Kinabalu. Minggu kedua Oktober 2015 lalu, tak kurang dari 12 orang wartawan Indonesia melihat dari dekat situasi yang terjadi pasca gempa. Dari Jakarta ada wartawan-wartawan senior seperti Tarman Azzam (Mantan Ketua PWI Pusat), Asro Kamal Rokan (Mantan Pimred Harian Jurnal Nasional), Saiful Hadi (CEO dan Pemred Antara) dan Nachrowi (Dewan Pengawas Antara).
Kemudian dari Kalimantan ada Dt Iskandar Zukarnaen (Antara) dan Anthon Joy (Radar Tarakan) dari Kalimantan Utara. Charles Siahaan (beritakaltara.com/ bongkar magazine), Wiwied Mahendra (Viva Borneo) dan Uways Alqadrie (Kaltim Post) dari Kalimantan Timur dan dari Kalimantan Barat Andri Januardi (Pontianak Post) dan Teguh Imam Wibowo (Antara). Ditambah lagi Aulia Badar Wartawan Antara di Kuala Lumpur Malaysia yang sekaligus juga membantu panitia penyelenggara.
Dari Malaysia sendiri yang menjadi tuan rumah, Mohamad Nasir, Editor Isu Khas dan Features Bernama dan Jamain Wartawan Bernama yang juga warga lokal Kundasan-Dusun.
“Bapak dan ibu saya dari Kundasan. Kami warga asli di Kinabalu. Warga di sini menyebut nama daerah ini Nabalu. Bukan Kinabalu,” cerita Jamain di dalam bis Jawatan Penerangan Malaysia yang membawa rombongan wartawan, Minggu (10/10/2015).

Melihat postur tubuh Jamain yang berkulit putih kecoklatan dan raut garis wajah, mengingatkan kesamaan dengan warga-warga Dayak di perbatasan Kalimantan Utara maupun Kalimantan Timur. Mungkin leluhur mereka, kakek buyut mereka bersaudara. Hanya karena perbedaan politik batas negara, sehingga etnis-etnis asli di Pulau Kalimantan terpisah negara.
Jamain juga mengaku bukan etnis Dayak. Dia adalah suku Kundasan. Suku yang menjadi “penjaga” Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia. Di suku Kundasan, terdapat nilai-nilai luhur yang tidak boleh dilanggar. Kalau ada yang menentang adat, tak hanya mengundang reaksi marah warga lokal, tapi konon, para leluhur yang telah tiada bisa murka. Kalau para leluhur murka, itu pertanda bencana.
Bencana gempa bumi yang menimpa Gunung Kinabalu 5 Juni 2015 lalu diyakini sebagian warga karena ada ‘kemurkaan’ alam. Pendapat itu dipicu adanya fakta bahwa pada beberapa hari sebelumnya ada 10 turis asing yang melakukan pendakian sampai ke puncak.
Kesepuluh wisatawan asing itu berhasil tiba di puncak gunung berketinggian 4.095 meter dari permukaan laut (mdpl) pada 30 Mei 2015. Sudah menjadi kelaziman bagi para pendaki jika berhasil mencapai puncak maka diadakan ritual-ritual berbagai versi. Ada yang berdoa sujud dengan bersyukur kepada Tuhan karena diberi kesempatan menyaksikan pemandangan dari atas puncak ketinggian, ada juga yang melakukan pelukan dan menancapkan bendera menandakan dirinya sudah pernah tiba di sana.
Tapi sepuluh turis asing ini rupanya membuat ritual yang tak lazim. Sangking gembiranya, mereka sepakat melucuti seluruh pakaian sampai celana dalam. Di atas puncak gunung, kesepuluh turis pria dan wanita itu berbugil ria.
Aksi itu menjadi heboh setelah foto-foto mereka yang berbugil ria terposting di media sosial. Sampai kemudian mengundang kecaman warga dan pejabat setempat . Bagi sebagian warga di sana, aksi para turis yang tidak senonoh itu membuat alam murka. Wallahualam.
Eleanor Hawkins, 23 tahun, gadis Inggris, salah satu turis yang telanjang di Gunung Kinibalu akhirnya meminta maaf karena melanggar adat istiadat masyarakat setempat. Tapi permohonan minta maaf itu tidak menghapus pelanggaran hukum yang dikenakan terhadap mereka. Hawkins dan teman-temannya dihukum penjara tiga hari, ditambah denda 5.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 17 juta).
Cerita-cerita tentang mistis hutan dan alam sebenarnya tak hanya ada di Kinabalu, Sabah. Hampir semua masyarakat pedalaman di Pulau Borneo (sebutan lain Pulau Kalimantan) percaya alam sekitar hutan yang memberi kehidupan harus dijaga. Tidak ada yang perlu dikuatirkan pelancong jika datang dengan niat yang bersih dan tidak berbuat di luar etika.
Hujan lebat mengguyur bis rombongan wartawan Indonesia – Malaysia setelah lepas dari Pekan Nabalu menuju Sutera Sanctuary Lodges. Jalan yang kecil dan bersebelahan dengan bukit di sebelah kanan dan jurang sebelah kiri, cukup mengundang rasa was-was. Apalagi ketika mobil mendaki cukup terjal, tapi rupanya Sopir Bis yang dipanggil Pak Awang cukup mahir dan berhasil mengantar sampai tempat tujuan.
Sutera Sanctuary Lodges, Kinabalu Park, tempat mobil bis berhenti adalah kaki gunung Kinabalu. Di sini informasi mengenai gunung tertinggi di Kalimantan itu bisa diperoleh. Ada denah-denah trekking yang bisa dilalui para pendaki atau meminta brosur-brosur tentang gunung itu.
Seorang perempuan muda bernama Chintya melayani pertanyaan dari para wartawan Indonesia. Tangannya dengan sigap memberikan brosur-brosur. Ada peta pendakian, jalur trekking dan biaya untuk menginap di Sutera Sanctuary Lodges tersebut.
“Tapi sekarang tidak boleh mendaki sampai puncak. Jalurnya ditutup sementara,” ujar Chintya yang mengaku berasal dari suku Kundasan-Dusun.
Dari Chintya diperoleh berbagai informasi tentang pelancong yang datang. Misalnya tentang jumlah pelancong atau turis yang datang setelah peristiwa gempa. Perempuan yang sehari-hari bekerja di Kinabalu Park itu mengakui ada penurunan turis yang datang.
“Masih ramai. Ya beratus lah yang datang setiap bulan,” ujarnya, ramah.
Ia menceritakan penutupan dilakukan oleh pemerintah setempat karena ada kerusakan di jalur trekking. Saat terjadi gempa, jalur trekking yang sudah lama digunakan para pendaki ada yang terputus sehingga harus dibuat jalur baru.
“Tahun depan rencananya sudah dibuka lagi,” kata Chintya.
Sebenarnya kerusakan hanya terjadi di jalur menuju puncak. Saat ini pendaki masih dibolehkan menguji adrenalin sampai di pos kawasan Laban Rata diketinggian 3.272 meter dari permukaan laut (mdpl). Ini lokasi yang dianjurkan untuk mempersiapkan fisik para pendaki jika ingin meneruskan ke puncak Kinabalu.
Diceritakan oleh Chintya, kalau kondisi fisik kuat pendakian ke puncak dan turun lagi bisa ditempuh 8 jam. Pernah ada pelancong yang melakukannya. “Fisik kuat sekali. Baru sekali setahu saya yang pernah begitu,” ujarnya.
Pendaki pemula cocok mencoba Kinabalu. Jalur trekkingnya tidak berbahaya dan bisa dilalui siapa saja asal fisiknya dalam kondisi fit. Mereka bisa mendaki sambil bersenda gurau dan suka cita, menikmati pemandangan di jalur trekking dan selfie-selfie.
“Tetapi di atas itu sudah tidak terkoneksi dengan internet. Hubungan internet hanya di sini saja (kaki gunung, red),” ujar Chintya dengan logat melayunya.
Tapi ada juga jalur lain yang disukai para climber. Jalur yang lebih menantang karena diperlukan peralatan memanjat seperti tali dan carabiner. Saat rombongan wartawan Indonesia-Malaysia berada di kawasan Kinabalu Park sempat bertemu dengan 4 turis berbahasa Prancis. Keempatnya – dua perempuan dan 2 lelaki, menurut seorang guide / pemandu, batal mendaki ke Laban Rata karena salah seorang dari mereka kakinya terkilir.
Rombongan juga bertemu dengan para pendaki dari berbagai daerah dengan berbagai gayanya yang khas para pendaki. Di situ terbukti, walaupun ada gempa, tak semua menjadi takut datang, malah ada juga yang justru tertantang.
“Bang saya titip carikan jalur trekking ya. Ada rencana mau mendaki Gunung Kibabalu,” tulis Kahar Al-Bahri, seorang akitivis lingkungan di Samarinda, Kalimantan Timur, ketika mengomentari akun facebook Charles Siahaan yang memposting fotonya saat di kaki Gunung Kinabalu.
Chintya menambahkan, warga lokal sekitar kaki gunung tidak ada lagi yang was-was gempa terjadi lagi. Hidup mereka sudah normal seperti sediakala. Tidak ada trauma, apalagi meminta pindah dari kawasan dingin dan asri, tempat hidup turun temurun para leluhur mereka.
“Datang dan lihatlah ke sini,” tutup Chintya dengan senyuman akrabnya.
Ya, untunglah bertemu Chintya yang bisa memberikan informasi dari berbagai sisi. Apalagi perjalanan para wartawan terbatas hanya sampai di kaki gunung dan selanjutnya kembali ke Kota Kinabalu. Untuk saat ini, cukuplah cerita sampai di sini. #charlessiahaan
Comments are closed.