Liputan jurnalis dan bahasa pers sering menjadi pemicu kemarahan warga di dua negara, Indonesia-Malaysia. Padahal, hal itu bisa diminimalisir jika para Wartawan semangatnya menjaga keharmonisan hubungan negara bertetangga.
Ruang yang dingin di The Klagan Regency Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, Selasa (13/10/2015), sedikit menghangat ketika peserta “Dialog Sempadan” yang diikuti para Wartawan Indonesia dan Malaysia mulai menyampaikan pendapatnya.
Pandangan yang terlontar adalah tentang keharmonisan hubungan pemerintah maupun warga kedua negara yang sering mengalami masa pasang-surut. Seringkali memanas karena dipicu oleh pemberitaan media.
Kekalahan Indonesia atas sengketa di pengadilan internasional menyangkut Pulau Sipadan dan Ligitan di sebelah utara Pulau Kalimantan, masih terasa. Ibarat sebuah lagu dangdut dari artis Cita Citata yang sedang populer di Indonesia; “Sakitnya tuh di sini”.
Tapi, warga Malaysia juga mengalami “Sakitnya tuh di sini” ketika melihat aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan warga Indonesia di kedutaan besar Malaysia. Padahal, seperti kata Datuk Iskandar, wartawan Indonesia yang menjadi salah seorang peserta, demonstrasi di Indonesia tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia.
“Mereka yang berdemo mungkin seratus atau dua ratus orang. Sedangkan penduduk Indonesia 250 juta jiwa,” kata Iskandar.
Oke. Sudahlah. Para Jurnalis Indonesia datang ke Malaysia untuk membenahi agar hubungan kedua negara menjadi harmonis. Karena berita-berita yang dibuat oleh para jurnalis, menyebabkan ketegangan yang mestinya tidak perlu terjadi.
Banyak isu yang muncul dan perlu dibenahi kalangan Jurnalis. Misalnya, dalam pertemuan itu, seorang Wartawan Bernama yang bertugas di Tawau, Sabah, Amir Anuar, menyoroti bahwa masing-masing negara menemukan ada rumah penduduk Malaysia di Pulau Sebatik, yang ruang tamunya di Malaysia, tapi tandas (toilet, red) di Indonesia.
“Tapi, kabar dari Indonesia juga mengatakan ada rumah warga Indonesia yang berandanya di Indonesia dan dapur serta tandas di Malaysia. Jadi mana yang betul ini,” ujar Amir di depan forum.
Pertanyaan Amir cukup menggelitik. Karena begitulah sebenarnya cerminan masyarakat dua negara yang sedang terjadi. Kalau pers dalam pemberitaannya cederung melakukan provokasi dan berat sebelah, maka dapat berakibat semakin meruncingnya hubungan kedua negara.
Banyak lagi diplomasi bahasa yang dapat menegangkan kedua negara. Misal saja sebutan Indon yang biasa dipakai oleh pers Malaysia untuk menyebut orang Indonesia. Entah apa sebabnya, sebutan itu membuat banyak orang Indonesia menjadi marah.
Padahal, coba tanyakan orang Indonesia di Jakarta atau Samarinda, Tarakan, Pontianak, mereka tidak tahu kenapa harus marah disebut dengan kata Indon.
“Sebaiknya, hal-hal yang mengundang kemarahan orang lain, ya hindari saja,” ujar Tarman Azzam, mantan Ketua PWI Pusat yang juga hadir di acara forum Dialog Sempadan itu.
Masalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau buruh migran sering kali menjadi pemicu ketidakharmonisan kedua negara. Sebab seringkali bahasa di surat kabar merendahkan Indonesia, karena TKI umumnya adalah buruh pembanturumah tangga atau buruh kebun dari para majikan orang Malaysia.
Isu “majikan-buruh” menempatkan seolah-olah majikan boleh sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Seolah-olah hanya buruh yang membutuhkan uang dari pekerjaannya. Padahal, di sini pers bisa memberi edukasi bahwa buruh adalah bagian penting dalam membantu setiap keluarga. Bagian penting dalam perusahaan, bahkan bagian penting dalam pertumbuhan ekonomi negara.
“TKI atau buruh migran itu sumber daya manusia yang bukan sekedar alat untuk mencapai keuntungan, tapi investasi. Semua perusahaan memasukkan sumber daya manusia sebagai bagian investasi,” kata Muhammad Amir Ali, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di Samarinda.
Pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo membuat kebijakan yang tegas mengenai hubungan bertetangga. Beberapakali bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, kedua pemerintahan menunjukkan kemesraannya. Indonesia bahkan merasa terhormat karena dibantu oleh Malaysia dalam hal pemadaman lahan-lahan hutan terbakar yang mengakibatkan asap sampai ke Malaysia.
Presiden Joko Widodo sedang menata kawasan perbatasan. Sesuai dengan program Nawacita yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari kawasan pinggiran.
Sejak Indonesia Merdeka 70 tahun silam, kawasan garis batas negara Indonesia di sepanjang Pulau Kalimantan dibiarkan menjadi hutan. Indonesia menempatkan personil TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk mengamankan batas-batas itu.
Tapi, perlakuan berbeda dilakukan Malaysia yang memilih membangun kawasan Serawak dan Sabah. Kemajuan pembangunan terlihat di negeri itu dibanding provinsi di Indonesia. Perbedaan mencolok bisa terlihat sejak dari Tawau dan Kota Kinabalu, Sabah. Di sana sudah banyak terdapat hotel bintang lima dan gedung-gedung pencakar langit, sementara di Indonesia sebaliknya.
Karena ketimpangan pembangunan itu, Presiden Joko Widodo mengalokasikan dana pembangunan cukup besar untuk kawasan perbatasan. Ada perubahan minset, jika dulu pemerintah melakukan kebijakan dengan pendekatan keamanan dan menjadikan perbatasan sebagai halaman belakang, sekarang sudah tidak lagi. Pemerintahan Joko Widodo ingin daerah di perbatasan Indonesia menjadi beranda depan Indonesia.
Menurut data Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (PUPR), total panjang jalan yang dibangun pemerintahan Joko Widodo saat ini di sepanjang lintas paralel batas negara mencapai kurang lebih 2.101 km.
Masing-masing jalan di Kalimantan Barat 737,46 km, Kalimantan Timur 193,01 km, dan Kalimantan Utara 1.170,35 km. Pembangunan itu dimulai dari sebelah barat Kalimantan, yakni Desa Temajuk, Seluas, Balaikarangan, Rasau, Sepulau, Nangabadau, Lanjak, Tanjung Kerja, Nanga Era, terus ke timur ada Tiong Ohang, Long Panghai, Metutang, Long Bawan, Long Bujang, Long Kemuat, Langap, Malinau, Mensalong, Simanggaris dan Sei Ular.
Pemerintah Indonesia mengajak kerjasama dengan Zeni Angkatan Darat untuk membuka jalan yang 703,3 km belum tersambung dan masih tertutup hutan. Tahun ini, dari target 249 km yang direncanakan, sudah dibuka 70 km.
Dari kebijakan Presiden Joko Widodo membangun jalan perbatasan, “diplomasi Tandas” rumah warga di Pulau Sebatik seperti diungkapkan Amir Anuar dalam acara “Dialog Sempadan” tak perlu diungkit lagi. Sebab, rumah-rumah warga Indonesia ke depan sudah berubah. Tidak lagi membelakangi Malaysia. Rumah-rumah itu akan langsung menghadap Malaysia, sebagaimana layaknya hidup bertetangga. #charlessiahaan
Comments are closed.