BeritaKaltim.Co

Sabah, Aku Akan Kembali !

1jernihnya-air-pulau-manukan1web

 

Tinggi-tinggi Gunung Kinabalu..

Tinggi lagi sayang sama kamu.

Biru-biru ujung Kinabalu..

Tengok dari jauh hati saya rindu.

Kinabalu dekat di Kundasan..

Banyak sayur bulih pilih-pilih….

Apaguna pergi luar negeri..

Naik Kinabalu hati saya Rindu..

 

Bait lagu itu terdengar sayup di Bus Jawatan Penerangan yang membawa rombongan Wartawan Indonesia – Malaysia di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Dari irama nadanya yang pop Melayu, jelas sekali maksud dan tujuannya. Mengajak warga Malaysia untuk tidak merayakan cuti dengan pergi ke luar negeri. “Naik Kinabalu, hati saya rindu”.

Lagu berjudul “Sayang Kinabalu”, berbalut pantun-pantun. Ini ciri khas dialektika suku-suku dari rumpun Melayu. Termasuk juga di Indonesia. Tidak heran, kalau pantun adalah ‘alat’ untuk berdialog tanpa harus marah-marah. Malah, bisa membuat kehidupan hari-hari terasa indah.

Tidak percaya? Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia, YBHG Tan Sri Datuk Seri Panglima Dr Rais Yatim termasuk yang mahir dalam berdialog pantun. Mungkin karena hobinya berpantun itu membuatnya terlihat awet muda padahal usia sudah 72 (kelahiran 15 April 1943, red).

Saat hadir memberi sambutan di depan para wartawan di ballroom The Klagan Regency di Kota Kinabalu, Sabah, pejabat tinggi Pemerintah Malaysia setingkat Menteri ini mampu mengulas kasus-kasus perbatasan di dua negeri ini dengan santun. Ia selalu meyelipkan pantun-pantun, sehingga suasana menjadi begitu cair.

Versi Dr Rais Yatim, masalah perbatasan biarlah menjadi urusan pemerintah yang panjang dan tidak tahu di mana ujungnya. Sama halnya seperti Amerika Serikat yang tidak pernah selesai dengan sengketa batas negara dengan Meksiko dan juga dengan Kanada.

Menanti sunset di Pulau Manukan, Sabah.
Menanti sunset di Pulau Manukan, Sabah.

Sedangkan tugas warga negara yang bertetangga adalah menjaga agar hubungan silaturahmi tidak sampai terputus. Tidak saling menghujat yang akhirnya membuat suasana tegang. Dr Rais Yatim yang ternyata masih keturunan darah Minang Sumatera Barat itu punya harapan besar, Malaysia-Indonesia dapat saling mendukung dalam membangun negeri masing-masing.

Banyak pantun-pantun yang diluncurkan Dr Rais Yatim untuk membangun suasana keakraban dalam acara Dialog Sempadan. Bahkan ia merasa senang ketika salah satu peserta dari Indonesia, Datuk Iskandar melontarkan balas pantun.

“Tapi kenapa sedikit pantunnya,” tegur Dr Rais Yatim kepada Datuk Iskandar usai acara Dialog Sempadan tersebut.

Sepanjang pertemuan antara wartawan Indonesia-Malaysia, balas pantun adalah bahasa komunikasi yang sering muncul. Terutama di grup WhatsApp yang dibuat khusus untuk para peserta Dialog Sempadan. Paling menonjol, balas pantun antara Mohamad Nasir, Editor Isu Khas dan Features Bernama Malaysia dengan Datuk Iskandar dari Antara Indonesia.

“Keindahan berbahasa pantun, boleh dicoba untuk merekatkan hubungan pemerintah dan masyarakat kedua negara. Terutama di Sempadan atau perbatasan. Mungkin perlu dibuat kegiatan bersama seperti lomba pantun atau ‘perang’ pantun. Jadi warga bisa saling mengunjungi,” saran Charles Siahaan dari beritakaltim.com.

Keinginan merekatkan hubungan pemerintah dan masyarakat yang produktif itu juga yang diinginkan Dr Rais Yatim. Bahkan di Malaysia sudah ada berdiri YIRMI (Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia-Indonesia). Yayasan ini pula yang bergerak bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk sebagai penyokong kegiatan dari organisasi wartawan ISWAMI (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia).

CEO Antara Saiful Hadi justru menyarankan agar dibuat semacam kaukus atau kelompok kerja Wartawan yang bertugas di perbatasan. Tugasnya untuk menyambung komunikasi antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di daerah perbatasan yang selama ini tidak lancar.

Saat rombongan ke Pulau Manukan, Sabah.
Saat rombongan ke Pulau Manukan, Sabah.

Antar pemerintah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara dengan Kepala Pemerintahan Bandar Tawau, Sabah, misalnya, nyaris tak terjalin hubungan padahal kedua daerah bertetangga dan hanya sekitar 30 menit naik kapal motor untuk saling mengunjungi. Begitu juga dalam level provinsi; antara Pemerintah Provins Kaltara, Kaltim dan Kalbar dengan Sabah dan Serawak, Malaysia.

Hubungan “aneh” berada satu daratan tapi tidak saling menyapa ini yang perlu dibenahi. Sebab, perlu dilakukan penataan kawasan bersama. Menata perdagangan, memberesi jalur masuk dan meningkatkan interaksi antar elemen warga.

Malaysia sudah terlihat cukup agresif untuk ‘bergaul’ di kawasan perbatasan. Misalnya, dengan membuka jalur penerbangan internasional dari Bandara Tawau ke Bandara Juwata Tarakan. Penerbangan dengan pesawat jenis ATR 72 seri 200 ini terkoneksi langsung ke Kota Kinabalu. Sehingga, hanya perlu waktu 2 jam warga Tarakan sudah sampai di Keke – sebutan Kota Kinabalu.

Warga Tarakan maupun provinsi Kaltara, patut berterimakasih kepada Malaysia karena kebijakannya membuka jalur itu. Karena ada jalur penerbangan 3 kali seminggu (Senin, Kamis dan Jumat, red), status Bandara Juwata Tarakan berstatus internasional. Bayangkan, provinsi Kaltara yang baru berdiri 3 tahun sudah punya bandara internasional.

Sayangnya, agresifnya Malaysia tak disertai ‘agresifnya’ pramugari dan pramugara di dalam pesawat. Saat pergi maupun pulang menumpang pesawat MASwing berbangku 68 seat, senyuman yang diberikan kepada tiap penumpang terasa kaku sekali. Saat ditanyakan sesuatu pun, pramugari cenderung menggunakan bahasa Inggris. Padahal, bahasa Melayu adalah bahasa akrab kedua rumpun bertetangga ini.

Ketika rombongan wartawan dari Kaltim dan Kaltara terbang dari Bandara Juwata Tarakan, tidak semua bangku terisi. Masih cukup banyak yang kosong. Padahal, harga tiket pesawat yang dirupiahkan menjadi sekitar Rp360 ribu itu nyaris tidak jauh beda dengan harga tiket menumpang Kapal Motor ke Tawau yang memakan waktu sekitar 3,5 jam. Naik pesawat hanya membutuhkan waktu 30 menit.

Dari indikator itu kelihatan kalau “jembatan udara” yang dibangun Malaysia dari Tawau-Tarakan belum maksimal termanfaatkan. Bahkan maskapai penerbangan Indonesia belum ada yang berani membuka jalur tersebut.

Menurut data, ada sekitar 3 juta warga Indonesia yang menjadi buruh migran diseluruh Malaysia. Untuk provinsi Sabah dan Serawak ada sekitar 150 ribu jiwa TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang sering bolak-balik ke kampung halamannya di Sulawesi, NTT dan NTB atau ke Pulau Jawa.

Melihat Kota Kinabalu dari Pulau Manukan, Sabah, Malaysia.
Melihat Kota Kinabalu dari Pulau Manukan, Sabah, Malaysia.

Sikap agresif Malaysia tak begitu berguna kalau tak disertai dengan daya tariknya. Rupaya pemerintah negeri itu sudah lama mempersiapkannya, dengan membangun sarana dan prasarana publik. Bukan sekedar membangun saja agar ada, tetapi ditata agar berkelas wisata.

Konsep wisata sepertinya telah melekat disemua program di instansi pemerintahan juga masyarakatnya. Sehingga hanya dalam waktu singkat, setelah 70 tahun Kemerdekaan Malaysia, hampir seluruh negeri bagian terbangun menjadi lumbung destinasi yang menarik wisatawan. Bayangkan, dengan total jumlah penduduk Malaysia sekitar 30 juta jiwa, tapi negeri itu mampu mendatangkan pelancong tahun 2014 silam sekitar 28 juta orang.

Saat berada di Sabah, rombongan wartawan sempat diajak menikmati wisata. Selain ke Gunung Kinabalu yang terkenal itu, juga ke Pulau Manukan yang letaknya menghadap laut China. Dari dua lokasi wisata itu, kesan pertama adalah; rapi dan bersih.

Karena mengandalkan sektor wisata untuk menghidupi ekonomi, hampir semua sudut Sabah ditata agar mata nyaman melihatnya. Termasuk juga pusat-pusat kuliner di mana sajiannya beragam selera.

Tidak cukup waktu seminggu untuk menjelajahi ‘paket kenikmatan’ berwisata di Sabah. Saat rombongan Wartawan yang diundang ISWAMI hanya diberi jatah 5 hari, dalam hati para wartawan berkata; “Sabah, Kami Akan Kembali”. #charles siahaan

Comments are closed.