SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Meski Kalimantan Utara sudah memisahkan diri dari Provinsi Kalimantan Timur dan telah definitive sebagai provinsi baru, namun menyangkut persoalan pertanahan masih di bawah pengawasan Kanwil BPN Kaltim.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kalimantan Timur, Teddy Setiady SH. CN, saat diwawancara wartawan beritakaltim.com di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, memaparkan mekanisme administrasi perizinan pembuatan sertifikat pertanahan antara Pemprov Kaltara dan Pemrov Kaltim masih tetap satu.
Meskipun Kaltara kini sudah sah memiliki gubernur definitif, tetapi semua urusan menyangkut perizinan pertanahan di wilayah Kaltara itu, sepenuhnya masih bergantung kepada Kanwil BPN Kaltim untuk mengeluarkan atau menerbitkan setiap sertifikat tanah atau juga HGU yang akan mengesahkan semua administrasi itu.
“Walaupun letak tanahnya masih masuk daerah Kaltara. Namun semua ini, bersifat sementara sambil menunggu SK dari pemerintah Pusat, sampai nantinya akan menetapkan Kakanwil BPN Kaltara telah berdiri sendiri,“ ujarnya.
Mengenai aturan dari pemerintah pusat, lanjutnya, apabila telah berdiri daerah pemekaran yang baru di setiap Provinsi, maka setiap kantor BPN yang baru berdiri mereka harus siap mulai dari SDM dan juru ukurnya.
“Karena menyangkut ukur mengukur tanah, itu bukanlah hal yang sepele dan mudah,“ imbuhnya.
Ditambahkannya, dengan letak geografis wilayah Kalimatan Timur itu cukup rumit sehingga sering kali menyusahkan para petugas lapangan untuk mengambil pengukuran letak tanah dengan akurat, hal inilah yang dikhawatirkan oleh semua pihak jangan sampai nantinya ada terjadi permasalahan tumpang tindih kepemilikan sertifikat tanah.
“Jadi dalam hal ini Pemprov Kaltara, jika ingin cepat berdiri sendiri Kakanwil BPNnya, maka dari sekarang secepatnya siapkan semua SDM di lingkungan Direktorat Badan Pertanahan mereka, agar nantinya bisa terealisasi,“ imbaunya.
Teddy S juga menyinggung masalah tanah adat dan kesultanan, yang sering kali ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim tempat tinggal dan lahan mereka bercocok tanam selama bertahun-tahun bersama keluarganya itu adalah tanah adat hak milik nenek
moyang mereka secara turun-temurun, dan ada juga kelompok etnis lain yang mengklaim tanah tempat tinggal mereka selama ini, adalah tanah hak milik kesultanan.
“Hal seperti inilah kerap kali memicu keributan dan perdebatan sengit antara pemerintah dan masyarakat, terkadang juga menemui permasalahan dengan investor pemilik lahan tambang dan lahan perkebunan kelapa sawit,“ terangnya.
Sebab dalam persolan ini, kata dia, ada menyangkut status tanah hak milik negara seperti contohnya TNK , Tahura dan lainnya yang harus dijaga luas area wilayahnya, agar jangan sampai dikuasai oleh masyarakat atau investor. #Amr
Comments are closed.