BeritaKaltim.Co

Dinasti Politik Pemimpin Cantik

cover 406aDi tiga daerah ini, Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim dan Kabupaten Nunukan Provinsi Kaltara, rakyatnya memilih pemimpin seorang perempuan. Melalui mekanisme pemilihan langsung, ternyata kandidat politikus pria kalah.

Perempuan-perempuan terpilih itu adalah Neni Moerniaeni menjadi Wali Kota Bontang, Rita Widyasari menjadi Bupati Kutai Kartanegara untuk kedua kali dan Asmin Laura Hafid menjadi Bupati Nunukan.

Secara kebetulan pula, ketiga perempuan yang terpilih menjadi bupati dan wali kota ini punya latar hubungan dinasti politik. Misalnya Neni adalah istri dari mantan Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam. Kemudian Rita Widyasari adalah anak dari mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR. Begitu pula Asmin Laura adalah anak bungsu dari mantan Bupati Nunukan, Abdul Hafid Achmad.

Terlepas dari adanya hubungan dinasti politik tersebut, tentu yang tidak bisa terbantahkan adalah mereka memiliki garis tangan memimpin daerah-daerah itu. Mereka menang dalam Pilkada di daerah masing-masing, karena rakyat menginginkannya.

Bahkan, hebatnya lagi, setelah ketiga perempuan ini dinyatakan menang dalam perhitungan cepat (quick count) lembaga survei maupun dalam real count KPU, tidak ada pihak lawan politik yang menggugat ke MK (Mahkamah Konstitusi). Semua menerima kekalahan dengan lapang dada.

Cukup menarik mencermati perilaku masyarakat yang mengunggulkan perempuan sebagai pemimpin mereka. Memberi kesan, masyarakat di daerah – daerah itu sudah sangat terbuka. Tidak ada perbedaan gender. Mereka tidak terpengaruh dengan kampanye-kampanye hitam berbau agama bahwa seorang pemimpin harus seorang pria.

Sejak reformasi, kemunculan perempuan menjadi pemimpin sudah memberikan fakta-fakta bahwa kaum peminis ini bisa lebih baik dari pada pria. Sejumlah nama mencuat secara nasional. Misalnya Risma yang menjadi Wali Kota Surabaya. Ratu Atut menjadi Gubernur Banten dan Airin Rachmi Diany sebagai Wali Kota Tangerang Selatan.

Sayangnya langkah politik Ratu Atut terhenti karena ia ketangkapan oleh KPK dalam kasus korupsi. Sedangkan Airin yang masih kerabat iparan dengan Ratu Atut melanggeng kinclong untuk memimpin kembali daerah itu yang kedua kali. Begitu pula Risma yang terpilih kembali menjadi Wali Kota Surabaya yang kedua kali.

Di Kalimantan Timur, Rita Widyasari membuktikan dirinya disukai oleh warganya. Ia memperoleh kemenangan suara secara fantastis, 89 persen. Dulu Kutai Kartanegata terkenal karena kasus-kasus korupsi. Termasuk yang menjerat Syaukani, Bupati Kutai Kartanegara sebelumnya yang juga orangtua dari Rita.

Tentu ada alasan kuat mengapa mayoritas warga Kukar memilih kembali Rita. Selain faktor ketokohan yang ditinggalkan ayahnya, tentu karena di periode pertama Rita jadi bupati dianggap mampu memimpin daerah yang terkenal kaya sumber daya alam itu.

Begitu pula di Bontang dan Nunukan. Neni Moerniani bisa mengalahkan wali kota sebelumnya atau petahana yang maju kembali dalam Pilkada Bontang. Sama juga dengan Asmin Laura Hafid yang menang dalam Pilkada mengalahkan petahana yang maju kembali.

Jadi, tidak salah kalau ada yang memberi gambaran bahwa ketiga “Srikandi” politik ini memang bukan perempuan biasa. Mereka adalah perempuan cantik yang tangguh. #

=/============================================================================================

 

 

Warga Bontang Punya Bunda Lagi

Neni Moerniaeni.
Neni Moerniaeni.

Meninggalkan jabatan politik sebagai anggota DPR RI karena dorongan masyarakat mencalonkannya sebagai Wali Kota Bontang, menjadi tidak sia-sia setelah ia dinyatakan menang oleh KPU.

Momentum pergantian tahun 2016, dimanfaatkan warga Kelurahan Lhoktuan, Kecamatan Bontang Utara untuk menyampaikan harapan kepada pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih Neni Moerniaeni-Basri Rase.

Maklum, di kelurahan itu warga setempat termasuk ‘pesaham’ terbesar yang menyalurkan suaranya untuk pasangan ini. Ada 6 ribu lebih suara yang sah dari 18.844 suara yang tersebar di enam kelurahan.

Menurut Herawati, 23 tahun, yang tinggal di RT 07 Kelurahan Lhoktuan, Kecamatan Bontang Utara, berharap 2016 tak ada lagi jadwal pemadaman listrik bergiliran. Dia berharap Neni-Basri bisa mengatasinya dengan pelbagai terobosan, sesuai janji mereka saat kampanye beberapa waktu lalu.

“Ya enggak muluk-muluk sih, jika bisa listrik di tahun baru ini jangan sering sering mati aja,” harapnya.

Fahmy Gunawan, 20 tahun, warga RT 08 Lhoktuan, berharap agar kepemimpinan Walikota yang baru bisa membuka Balai Latihan Kerja. Agar generasi muda mudah melanjutkan pendidikannya selepas lulus sekolah.

“Kalo BLK aktif, setidaknya anak-anak yang tidak kuliah ada skill dan ini bisa membantu mereka bersaing di dunia kerja,” pintanya.

Lain pula Tarmizi, 22 tahun. Warga RT 10 Kelurahan Lhoktuan ini berharap agar pasangan Neni-Basri menghidupkan kembali tim sepakbola Bontang FC yang kini tak pernah terdengar kabarnya.

“BFC itu satu-satunya hiburan warga Bontang, lima tahun terakhir kayak mati suri,”ujar dia.

Begitu banyak harapan. Neni Moerniaeni menyadari tantangan ke depan semakin kompleks. Tapi dia bukan pendatang baru di dunia politik. Sebelumnya ia pernah jadi Ketua DPRD Bontang, sebelum akhirnya ke DPR RI dari partai Golkar. Sehingga menyangkut keinginan atau aspirasi masyarakat telah dikenalinya secara detil.

Lahir 30 Juli 1960, Neni ditempa pendidikan di dua kota besar. Sekolah Dasar sampai tamat SMP ditempuhnya di Jakarta, kemudian SMA dan kuliah kedokteran di Makassar. Termasuk mengambil S2 OBSGYN di Universitas Hassanudin Makassar.

Saat debat kandidat, Neni menampilkan visi dan misinya. Salah satu yang bikin tertarik massa, adalah program bantuan Rp200 juta per tahun untuk setiap RT di Bontang.

Lawan politik Neni, yakni petahana Adi Darma, sempat menyoal dengan menyebut program tersebut sangat membebani APBD yang saban tahun nilainya sekitar Rp1,6 triliun.

Neni dengan lugas menjelaskan, Produta alias program dua ratus juta rupiah, dibagi menjadi dua item, Rp 100 juta pertama untuk pembanguna infrastruktur, sisanya untuk dana bergulir yang akan didampingi Proyek Penaggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).

Menurutnya, anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen sangat kecil dari APBD jika digunakan memberi fasilitas penunjang bagi para pelajar. Sehingga, pemberian bantuan Rp 200 juta per RT sangat mungkin.

Dia menambahkan, orientasi program kerja kepada rakyat. Sehingga dengan produta per RT dapat mendorong peningkatan ekonomi kerakyatan, usaha mikro. Apalagi dengan pembinaan oleh P2KP yang sudah sukses di Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat, Kota Bontang, Kalimantan Timur.

Sebagai seorang dokter kandungan, tentu soal kesehatan warga menjadi perhatiannya. Ia mengaku konsisten 10 persennya akan digunakan untuk bidang kesehatan. “Itu sesuai amanah undang-undang kesehatan,” ujarnya.

Dengan kata lain, ada tersedia Rp 160 miliar yang bisa digunakan untuk menutupi biaya kesehatan. “Jamkesda akan kami alihkan ke BPJS kelas 3. Masyarakat yang memiliki kartu bisa berobat gratis,” jelasnya.

Di samping itu, dia juga bakal mengaktifkan kembali dokter keluarga di setiap kelurahan. Itu untuk menambal tugas dokter puskesmas yang lebih banyak menangani pasien. “Dokter keluarga bertugas melakukan edukasi dan penyuluhan.

“Masih banyak masyarakat yang belum mengerti (kesehatan). Makan obat diabetes, tapi tetap konsumsi makanan yang banyak gula,” sambungnya.

Istri Sofyan Hasdam (mantan Wali Kota Bontang) itu termasuk perempuan yang tidak lagi berbicara kesetaraan. “Emansipasi itu pemikiran (zaman) baheula. Sekarang perempuan harus mengisi pembangunan dan juga merasakan pembangunan,” kata Neni.

Menurut dia, di Indonesia masih ada perempuan yang tidak berdaya. Dibentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, semakin menegaskan hal itu. “Berarti memang ada yang tidak berdaya. Perempuan harus ditingkatkan kapabilitasnya,” ujarnya,

Neni Moerniaeni – Basri Rase menang dengan perolehan suara terbanyak 55,85 persen. Kemenangan itu baginya sesuatu sekali, bahkan dianggapnya menyimpan kenangan yang begitu sulit untuk dilupakan.

Neni mengakui perjuangannya untuk meraih kemenangan pada Pilkada penuh suka duka. Namun menurut mantan anggota DPR RI Komisi VII ini, dia lalui dengan berdoa dan bermunajat kepada sang pencipta.

Diceritakan Neni, setiap sosialisasi dirinya berangkat mulai pukul 08.00 wita dari rumahnya dan pulang kembali pukul 02.00 wita dini hari. Sehingga, jika Neni merasa lelah, dengan sekejap dia dapat menumpang tidur di rumah warga, sekedar untuk menghilangkan rasa letihnya.

Tak hanya di rumah warga, Masjid pun tak jarang dirinya tiduri, selepas menunaikan salat menghadap Sang Khalik. “Sepertinya sudah semua masjid di setiap kelurahan saya kunjungi untuk salat, “ kenangnya.

Sesibuk apapun dalam berkampanye, Neni yang biasa disapa Bunda ini tak lupa untuk terus berdoa, mengerjakan salat wajib 5 waktu dan sunnah, yakni hajad dan tahajud. Bahkan, padatnya agenda kampanye dengan blusukan ke rumah-rumah warga, tak membuat seorang Neni goyah akan keyakinannya, bahwa dia telah dipanggil untuk mengabdi kembali untuk Kota Taman. Dan dorongan masyarakat Bontang yang begitu kuat membuat Neni sampai rela melepas jabatannya sebagai wakil rakyat di Senayan.

“Alhamdulillah sangat luar biasa buat saya, ini adalah kemenangan rakyat Bontang. Karena, dari awal kami mencalonkan karena diusung oleh rakyat, kekuatan rakyat sangat luar biasa. Dorongan rakyat begitu kuat, inilah pada akhirnya kami memenangkan pemilu di Bontang,” ujarnya.

Neni mengaku, sang pencipta telah menghijabah hajadnya untuk melakukan perubahan yang lebih baik, dan dia sangat berterima kasih kepada warga Bontang.

Namun diakui Neni, pertarungan di Pilkada Bontang kali ini lebih berat dibanding sebelumnya, saat ia berpasangan dengan Irwan Arbain.

Banyaknya isu negatif yang dihembuskan, serta upaya-upaya melemahkan langkahnya maju sebagai Walikota Bontang selalu gencar ditargetkan kepadanya. Namun, semua upaya buruk yang dilakukan orang lain, mampu ditahan dan diperlihatkan sehingga tak sampai tersebar ke masyarakat Bontang. “Saya selalu berdoa kepada Allah, meminta perlindungannya dan membuka jalan yang mudah apabila memang saya diijinkan memimpin Bontang,” ujarnya.

Dirinya pun sanyat yakin jika rejeki tak akan tertukar, meski banyak cobaan menghadang.

“Saya rasa ini panggilan Allah yang menghendaki saya kembali. Masyarakat rindu, bahkan mereka mengatakan kepada saya jika akhirnya mereka punya bunda lagi,” tutup Neni. #ole

====////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

 

Dokter, Politikus, Hobi Memasak

 

laput neni okeyNama: Neni Moerniaeni

Lahir : 6 Juli 1960

Nama Suami : Sofyan Hadam

Anak : 3

Pendidikan

  1. 1967-1973, SD Rawa Kemiri Jakarta
  2. 1973-1975, SMP Negeri 66 Jakarta
  3. 1976-1979, SMA I. Makassar

*4. 1979-1989, Strata 1 Fak. Kedokteran di Universitas Hassanudin Makassar

  1. 1994-1998, Strata 2, OBSGYN di Universitas Hassanudin Makassar

 

Perjalanan Organisasi

Pada tahun 2001-2010, Dr. Hj. Neni Moerniaeni, SpOG menjadi ketua PKK Kota Bontang dan disusul menjadi DP II Partai Golkar, ketua Bontang. Selain itu juga Dr. Hj. Neni Moerniaeni aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sebagai ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Bontang, berkat pengalaman yang pernah di Short Course Disable di New Zealend pada tahun 2003 membuat Neni Moerniaeni menjadi Ketua di Forum Pemberdayaan Penyandang Cacat Bontang.

Neni Moerniaeni menjadi dosen di fakultas kedokteran Universitas Mulawarman, menjadi dokter umum di Rumah Sakit Umum Wahab Samarinda pada tahun 1989-1994, kemudian selang 4 tahun kemudian, Neni Moerniaeni menjadi dokter spesialis di rumah sakit yang sama.

Statement:

Seorang perempuan yang mencoba total dalam memaknai hidup; berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan orang banyak. Hobi masak, khususnya untuk suami tercinta; dr HA Sofyan Hasdam SpS dan ketiga anak; dr Andi Satya Adi Saputera, Andi Faisal & Andi Amalia Nevianti. #

====================================================================

////////////////////////////////////////////////////////////////

 

Dinasti Politik, Why Not?

 

laput neni-sofyan hasdamTidak dapat dipungkiri, sukses perolehan suara tiga perempuan pemenang Pilkada 9 Desember 2015 ini lantaran punya hubungan dengan dinasti politik. Mereka adalah Neni Moerniaeni yang terpilih sebagai Wali Kota Bontang, Asmin Laura Hafid menjadi Bupati Nunukan dan Rita Widyasari sebagai Bupati Kutai Kartanegara.

==/////FOTO: NENI-SOFYAN HASDAM///

 

Neni Moerniaeni (berpasangan dengan Basri Rase)

Keahiran 30 Juli 1960

Menang dengan perolehan 44301 Suara atau 55,85 persen

Dinasti Politik:

Suami : Sofyan Hasdam, Wali Kota Bontang dua periode, 2001-2006 dan 2006-2011.

 

========================================================================================

 

laput laura hafidlaput Hafid AchmadAsmin Laura Hafid

Berpasangan dengan Faridil Murad

Lahir di Tawau 10 Agustus 1985

Menang dengan perolehan suara 36.023 suara atau 42,24 persen.

Dinasti Politik:

Ayah : Abdul Hafid Achmad, Bupati Nunukan dua periode (2001-2006 dam 2006-2011)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

====================================================================================

 

laput rita-syaukaniRita Widyasari

Kelahiran Tenggarong 7 November 1973

Menang dengan perolehan 263.335 suara atau 89, 38 persen.

Dinasti Politik:

Ayahnya: Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara dua periode (2001-2006 dan 2006-2008).

 

=====================—-///////////////////=======================================================

 

Ini Bupati Termuda

laura2Diusianya ke 31 tahun, Asmin Laura Hafid terpilih menjadi Bupati Nunukan periode 2016-2021. Dia punya obsesi membangun kawasan perbatasan negara itu.

Di ujung provinsi Kalimantan Utara, kini ada seorang perempuan menjadi bupati. Dia adalah Asmin Laura Hafid. Berpasangan dengan Faridil Murad ia mendapat kepercayaan rakyat Nunukan yang memilihnya pada Pemilihan Bupati tanggal 9 Desember 2015 lalu.

Lahir di Tawau 10 Agustus 1985, relatif ia menjadi bupati termuda di Kaltara maupun Kaltim. Namun, meski muda, Laura sudah mengenal dunia politik dengan menjadi anggota legislatif tingkat provinsi. Lima tahun lalu ia menjadi anggota DPRD Kaltim, sampai akhirnya dia di PAW karena pindah partai. Saat pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Laura terpilih kembali menjadi anggota DPRD Kaltara.

Darah politik mengalir dari ayahnya, Abdul Hafid Achmad. Tahun 2001 ayahnya dipilih DPRD menjadi Bupati Nunukan pertama dan kemudian melalui pemilihan langsung tahun 2006 terpilih kembali. Saat ini Hafid menjadi Wakil Ketua DPRD Nunukan, namun kemungkinan akan segera di PAW karena ia harus menjalani masa penjara setelah Mahkamah Agung menguatkan vonis atas kasus korupsi ketika ia menjadi bupati.

Ibunya, Hj Rahma Lepa, juga seorang politisi. Sekarang duduk menjadi anggota DPRD Nunukan dari Partai Hanura.

“Terima kasih kepada masyarakat yang telah mempercayakan kami,” ujar Laura, ibu dari anak-anak yang masih terlihat cantik itu.

Niatnya untuk menjadi bupati sudah pernah dirintisnya 5 tahun lalu. Di saat usianya baru lepas 25 tahun. Tapi keberuntungan belum berpihak. Laura kalah dari Basri yang berpasangan dengan Hj Asmah Gani.

Tapi, kini kekalahan masa lalu itu terbayarkan. Laura mendapat kepercayaan dari masyarakat. Berdasarkan pleno yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nunukan, pasangan nomor urut 1 Laura-Faridil ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dengan perolehan 36.023 suara atau 42,24 persen. Perolehan suara Laura-Faridil ini mengungguli calon petahana, yakni Basri dan Asmah Gani.

Tak ada gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) oleh kandidat lainnya. Karena itu Laura tinggal menunggu pelantikan. Sambil menyiapkan program yang bakal digebernya ketika memulai jabatan sebagai bupati.

Waktu kampanye, ada 5 program prioritas yang menjadi komimennya. Yaitu peningkatan infrastruktur, peningkatan anggaran pendapatan, peningkatan sumber daya manusia, membuka lapangan pekerjaan, dan melakukan reformasi birokrasi di pemerintahan.

Sejauh ini, ia melihat pembangunan infrastruktur di Nunukan memang belum maksimal, begitu pula SDM di kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga Malaysia itu, masih jauh tertinggal. Apalagi setelah Indonesia bersama negara-negara Asia sudah sepakat dengan perdagangan bebas atau MEA.

Laura juga punya cita-cita menjadikan Nunukan sebagai beranda NKRI di Kaltara sehingga dapat bersaing dengan negara tetangga. Ia yakin cita-cita tersebut bisa terwujud, karena sejalan dengan cita-cita Presiden Joko Widodo yang menurunkan kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran.

“Sejak jaman Pak Jokowi kawasan perbatasan negara mendapat perhatian khusus dari APBN. Ini kesempatan untuk melakukan lobi-lobi ke pusat,” ujarnya.

Dengan begitu, APBD Nunukan nantinya lebih difokuskannya ke peningkatan ekonomi kerakyatan melalui program-program satuan kerja perangkat daerah. Misal, kata Laura, mengatasi harga rumput laut yang sedang terpuruk, harga kelapa sawit, ketersediaan pupuk bagi petani dan peningkatan jalan usaha tani.

“Itu yang akan kami lakukan selain persoalan kebutuhan dasar masyarakat. Termasuk menyikapi masalah-masalah perbatasan,” ujarnya.

Betul, banyak yang mesti dilakukan di daerah hasil pemekaran Kabupaten Bulungan tersebut. Konsep daerah perbatasan yang selama ini melekat dengan keamanan, mungkin saat diubah menjadi ekonomi. Agar dua daerah di dua negara sama-sama memetik keuntungan.

Begitu besar harapan warga kepada pasangan Laura-Faridil. Sehingga ia tidak ragu-ragu ketika harus melepaskan jabatan sebagai anggota DPRD Kaltara agar bisa mengikuti pencalonan menjadi bupati.

Laura menceritakan, situasi politik telah berubah ketika lima tahun lalu ia maju sebagai calon bupati. Menurutnya, persiapannya dalam Pilkada 2015 terkesan biasa-biasa saja. Tidak ada jor-joran.

Ia mengakui tiap hari bekerja door to door. Menemui masyarakat akar rumput. Berdialog. Malah banyak warga yang mengundangnya datang di acara-acara. Sehingga timnya tidak begitu direpotkan lagi seperti mengundang masyarakat, menyiapkan tenda, makanan dan minuman.

Bahkan Laura – Faridil tidak jor-joran mengundang artis sebagat magnet agar masyarakat datang dalam sosialisasi dirinya.

“Enggak neko-neko. Pokoknya fokus bekerja di level akar rumput. Door to door,” ucap Laura.

Diakui Laura, ada saja yang meragukan kapasitasnya. Karena dia masih muda, belum berpengalaman di pemerintahan. Ada juga yang berusaha mengkaitkan gender. Bahwa perempuan tidak boleh jadi pemimpin daerah.

Politikus Partai Hanura ini tidak terpengaruh dengan pergunjingan tidak produktif itu. Fokusnya saat ini adalah bekerja. Pertama ia harus melakukan konsolidasi terlebih dulu dengan semua aparat pemerintahan. Melakukan persamaan minset tentang pembangunan.

Istri dari Andi Muhammad Akbar itu mengatakan, fokusnya adalah meningkatkan ekonomi kerakyatan. Masalah yang mengemuka di sektor perikanan dan kelautan yakni harga rumput laut belum stabil. Tutur dia, harga saat ini terlalu rendah. Pendistribusian hasil budi daya itu melalui tengkulak dan banyak tangan. Bahkan, hingga 3–4 tangan untuk sampai dijual di Surabaya, Jawa Timur.

“Kenapa tidak pemerintah saja melalui perusda (perusahaan daerah) yang langsung membeli dari tangan nelayan? Itu rencana jangka pendek,” sebut perempuan berjilbab itu.

Jangka menengah, ia ingin mewujudkan cita-cita masyarakat Nunukan untuk pemekaran Kecamatan Sebatik menjadi Kota, pembentukan Kabupaten Bumi Daya Perbatasan, dan Kabupaten Krayan.

Dengan begitu, diyakini Nunukan bisa lebih cepat berkembang. #loi

========================///////////////////////==============///================================================

 

“Ratu Vote” dari Kukar

ritaaaaaDengan perolehan suara fantastis, 263.335 suara atau 89, 38 persen, putri dari mantan Bupati Syaukani HR itu pantas diberi gelar Ratu Vote atau Ratu Pemilihan Pilkada 9 Desember 2015 lalu.

Perempuan pertama menjadi bupati di Kutai Kartanegara, bahkan provinsi Kalimantan Timur. Itu terjadi 2010 silam. Dia adalah Rita Widyasari, anak kedua dari Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara.

Dulu, ayahnya berangan-angan Kukar punya bandara. Tapi tidak kesampaian sampai akhirnya Syaukani berhenti jadi bupati karena dipenjara karena terlibat kasus korupsi. Akhirnya Rita meneruskan cita-cita itu. Sampai lima tahun jabatannya berupaya mewujudkan, tapi tak kesampaian juga karena begitu banyak kendala.

Masalah utama soal bandara di Kukar, karena Kota Samarinda sudah lebih dulu disetujui dan dibangunkan fasilitas terminal angkutan udara penumpang dan barang itu. Anggaran yang digelontorkan juga sudah sangat besar, ratusan miliar.

Tapi, semangat Rita belum kendur. Tak dapat izin membangun bandara umum, ia menelikung. Membangun bandara khusus. Sejumlah pengusaha bahkan digandeng. Mulai Rachmat Gobel dengan jaringan bisnis dari Jepang. Sempat melakukan MoU dan peletakan batu pertama, tapi belakangan tak ada lagi kabarnya.

Lima tahun pertama, cita-cita Rita mewujudkan keinginan ayahnya gagl lagi. Entah, apakah pada periode keduanya ia masih tidak menyerah mengupayakan.

Rita Widyasari, 42 tahun, menancapkan prestasi spektakuler pada Pilkada yang berlangsung 9 Desember 2015 lalu. Berpasangan dengan Edi Damansyah, ia memperoleh 89,38 persen suara. Bahkan, disebut-sebut sebagai “Ratu Vote”. Itu karena dia salah satu kandidat yang memperoleh suara tertinggi di Indonesia.

Wanita kelahiran Tenggarong dengan tiga orang anak ini, sudah cukup populer sejak ayahnya masih menjadi pejabat. Ia memulai keterkenalannya dari dunia modeling. Selalu tampil di catwalk, sampai akhirnya ia tertarik ke dunia politik.

Ayahnya seperti telah mempersiapkan Rita sebagai penerus dinasti politik. Saat masih menjadi Bupati, Syaukani sudah memberikan ruang agar Rita aktif di organisasi seperti KNPI. Terbukti, insting Syaukani benar. Rita berbakat di dunia politik.

Dulu, pemerintahan di Kabupaten Kutai Kartanegara benar-benar kacau. Media-media selalu menyoroti karena banyaknya kasus korupsi. Mulai bupati, wakil bupati, Sekda, kepala dinas dan anggota DPRD terjerat kasus korupsi. Dengan APBD yang cukup besar, hampir menyamai APBD Provinsi Kaltim, daerah itu populer sebagai daerah bancakan.

Rita hadir membenahi. Ia memulainya dengan mendisiplinkan pegawai, mendisiplinkan anggaran sampai akhirnya untuk pertama kali mendapat status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Prestasi Rita dalam waktu singkat itu membuat kagum. Banyak yang beranggapan, Rita tidak ingin nasib yang menimpa ayahnya terulang kembali. Bahkan ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, mengangkat harkat dan martabat keluarga lebih tinggi.

Komtimennya terhadap perempuan juga cukup besar. Ia menerima penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Utama Nasional oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Dalam program Gerbang Raja yang menjadi andalannya di periode pertama sebagai Bupati, ia memasukkan penyaluran dana bergulir khusus perempuan, yang dimulai sejak 2012. Dari data, tercatat senilai Rp 70 miliar (tanpa agunan, tanpa bunga) sudah bergulir dari APBD untuk sejumlah Kelompok Usaha Bersama Perempuan (KUBP). Pada 2015, dialokasikan Rp 45 miliar untuk melanjutkan program tersebut.

Saat ini, KUBP terus bertumbuhan hingga pelosok Kukar. Jumlahnya mencapai 600-an kelompok. Ini berarti, ada 9.600 perempuan yang telah diberdayakan menjadi kreatif dan produktif. Misi menjadikan keluarga cerdas dan sejahtera begitu tergambar dari program ini. Jika diberi kesempatan, perempuan juga bisa berdikari dan berkarya.

Tak hanya meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Bagi Bupati Rita, perempuan juga sangat berperan dalam mendidik anak-anak. Karena itulah, kata dia, perempuan juga wajib menempuh pendidikan yang layak. Sebab, itu akan berdampak besar saat dia mendidik anak dan mengelola rumah tangga.

Buah pemikiran tersebut munculnya untuk menjadi solusi persoalan perekonomian perempuan, yang dahulunya dianggap tidak dapat berbuat banyak karena terkendala modal, pendidikan terbatas, hingga stigma bahwa perempuan seharusnya “di dapur saja”.

Dengan kucuran dana segar tanpa bunga ini membuat warga yang ingin membuka usaha, tak perlu berurusan dengan rentenir. Pengembalian modal usaha pun disebut tak sulit, lantaran usaha yang digeluti juga lancar.

“Pada periode kedua (menjabat) nanti, program-program peningkatan kualitas masih menjadi prioritas,” janji Rita.

Di Gerbang Raja Jilid II, Rita memasukkan “satu desa satu bidan” sebagai program unggulannya. Program itu untuk menghilangkan angka kematian ibu saat melahirkan. Jadi, proses melahirkan bisa tertangani dengan baik. Program Rita tersebut terbilang berani. Sebab, secara geografis dan jumlah desa, Kukar termasuk luas dan banyak.

“Kita tetap harus optimistis,” tegas penyandang gelar PhD dari Universitas Utara Malaysia itu.

Optimistis adalah bagian penting dari kehidupan Rita. Sama halnya ketika jauh hari, tim relawan politiknya menargetkan 80 persen perolehan suara. Ternyata, sikap optimistis itu bisa diperolehnya, bahkan melampaui sampai 89,38 persen suara.

“Iya nih, saya kaget sekali (dengan hasil hitung cepat). Waktu relawan menetapkan target 80%, saya bilang apa tidak ketinggian. Lebih baik targetnya 60% saja. Tapi relawan memang hebat, mereka tidak hanya memprediksi tapi juga bekerja maksimal,” kata Rita Widyasari, ketika perhitungan cepat berlangsung.

Atas kemenangan ini, Bupati Kutai Kartanegara Periode 2010-2015 itu tak segan mengucapkan kalimat syukur. Kemenangan ini dianggap sebagai kado terbaik untuk masyarakat Kutai Kartanegara.

“Alhamdulillah. Allahu Akbar. Kita menang. Terima kasih untuk para relawan yang sudah bekerja keras,” katanya.

Rita kader Golkar. Tapi saat maju menjadi calon bupati Kukar, dia tidak dapat mengendarai parpolnya karena ketika itu sedang bermasalah dualisme. Akhirnya Rita bersama Edi maju menggunakan jalur independen.

Uniknya, walau maju dari jalur independen, tapi banyaknya partai akhirnya memberi dukungan. Termasuk dari Golkar sendiri, Demokrat, PDIP, PKS dan Gerindra.

“Ke depan, saya akan terus mewujudkan mimpi dalam membangun Kutai Kartanegara yang tertuang dalam 7 misi program Gerbang Raja, yang tinggal ditambahkan profesional dan mandiri,” ujar Rita Widyasari. #lio

===///////////////////////////////////////

 

 

 

Comments are closed.