SAMARINDA, BERITAKALTIM.COM – Rasionalisasi APBD 2016 hingga 35 persen yang dipayungi dengan peraturan gubernur (pergub) idealnya dikomunikasikan dengan DPRD. Ini untuk menghindari miskomunikasi, sekaligus menghilangkan kecurigaan antarlembaga eksekutif dan legislatif.
Demikian salah satu hal yang mengemuka, sekaligus paling ramai diperdebatkan dalam Rakertis Pengelolaan Keuangan Daerah bagi TAPD dan Banggar DPRD Kaltim dan Kabupaten/Kota se-Kaltim. Acara berlangsung di Hotel Jatra Balikpapan, Senin (22/2/2016).
Sejumlah anggota DPRD Kaltim, yakni Wakil Ketua Henry Pailan, M Adam, Ismail, Baharuddin Demmu Edy Kurniawan, dan Ismail menyuarakan hal ini dalam sesi dialog dengan narasumber Kasubdit Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri Wilayah III, Sumule Tumbo. Tumbo memang memaparkan sistem penganggaran APBD.
Sejumlah anggota DPRD di atas menyoal apakah tak menyalahi aturan jika Gubernur Kaltim mengeluarkan pergub rasionalisasi tanpa melibatkan DPRD.
“Gubernur memang punya otoritas pengendalian keuangan di daerah, tapi pergub yang berkaitan dengan APBD yang sudah diperdakan harusnya melibatkan DPRD,” kata Henry.
APBD Kaltim 2016 yang diketok pada 25 Desember berjumlah Rp 11,1 triliun. Namun belakangan sejumlah asumsi yang digunakan pada APBD 2016 meleset. Misalnya DBH maupun Silpa yang jauh lebih kecil dari asumsi. Sehingga awal 2016 diketahui APBD defisit menjadi Rp 9,3 triliun.
Menurut Henry DPRD paham bahwa pergub pasti mengacu pada peraturan presiden dan peraturan menteri keuangan (PMK), khususnya soal dana bagi hasil (DBH) yang tak sesuai asumsi, sehingga berujung rasionalisasi.
“Tapi kami ‘kan tak pernah tahu mana perpresnya, mana PMK, dan berapa penurunan DBH-nya,” kata Henry. Hal senada disuarakan Demmu dan Ismail.
Menurut mereka pergub soal rasionalisasi APBD 2016 sulit diterima, terutama mekanismenya yang terasa meninggalkan DPRD.
“Kami ini semua di DPRD punya konstituen. Kami tentu akan bicara pada mereka ada rasionalisasi anggaran. Tapi eksekutif harusnya menjelaskan kepada kami, program ini yang dirasionalisasi, program ini yang ditunda, program ini yang dikalahkan sehingga kami punya bahan jika bicara pada konstituen,” kata Demmu yang diwawancarai setelah acara.
Menurut Tumbo, rasionalisasi memang harus dilakukan dalam kondisi APBD yang defisit. Gubernur memiliki otoritas. Hal itu mengacu pada PP No 17 Tahun 2013. Namun ia juga sepakat, hal tersebut idealnya dikomunikasikan dengan DPRD, mengingat APBD diputuskan bersama oleh gubernur dan DPRD.
Satu hal yang ia garis bawahi, rasionalisasi APBD haruslah mengedepankan urusan yang wajib. Artinya ruang fiskal diprioritaskan untuk hal-hal urusan yang harus dipenuhi, semisal pendidikan, kesehatan, infrastruktur ketimbang urusan pilihan semisal hibah dan bansos.
BUKA RUANG FISKAL
Sikap kritis juga disuarakan Edy dan Adam saat Plt. Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuda Kemendagri Horas Maurits Panjaitan membuka ruang diskusi setelah ia menyampaikan paparan.
Menurut Edy, jika hanya menyampaikan rasionalisasi, Rakertis tak perlu ada. Menurut Edy semestinya pusat memberi solusi konkret agar rasionalisasi bisa dihindari. Misalnya memberi ruang fiskal yang lebar bagi daerah.
“Dari dulu kami usulkan pajak pertambagan PKP2B, pajak perkebunan dan PPh 21 diserahkan ke daerah. Ini solusi konkret,” kata Edy.
Ia juga menyuarakan daerah perlu dilibatkan daam revisi UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
M Adam Sinte menambahkan, daerah juga perlu dilibatkan saat APBD dikonsultasikan ke pusat. “Pola asistensi perlu diperbaiki. Selama ini pusat hanya main coret, tanpa mendengar masukan dari daerah,” katanya.
Adam juga menyuarakan soal kepantasan uang perjalanan dinas jika dihubungkan dengan kemampuan keuangan daerah.
Maurits menyatakan pernyataan Edy dan Adam akan dibawa ke pusat sebagai masukan. Soal perjalanan dinas menurutnya hal itu bisa dikomunikasikan dengan eksekutif, tentu dengan melihat kemampuan fiskal daerah. #adv/hms/oke
Comments are closed.