SAMARINDA, BERITAKALTIM.com – Ketua LSM Penggawa Adat Dayak dan Hak Ahli Waris Hutan Adat, Markusmasjaya SE bersama masyarakat Adat Keliwai Kecamatan Long Iram masih terus berjuang, menuntut janji perusahaan atas pembebasan lahan yang dijanjikan PT Kedap Sayaaq.
Berdasarkan berita acara kesepakatan antara Markusmasjaya SE selaku Hak Ahli Waris Hutan Adat dengan Direktur PT Kedap Sayaaq Mr An Bong Soo pada Sabtu 27 Juli 2013 lalu di Base Camp PT Kedap Sayaaq Site Kampung Tukul disaksikan oleh konsultan hukum PT Kedap Sayaaq dan HRD PT KS Stanislaus, Charter Gideon SH MH, Kepala Adat Keliwai, Godensius Hang, Kapolsek Long Iram AKP Lorensius B, S.Sos dan Danramil 04 Long Iram, Kapten Alwismi.
“Dalam kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa, pembebasan lahan akan diatur kemudian sesuai kebutuhan dan program PT Kedap Sayaaq. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Minerba No 4 tahun 2009 pasal 136, sebelum melakukan kegiatan menambang, perusahaan wajib menyelesaikan hak-hak masyarakat,” ungkap Markus kepada beritakaltim.com melalui telepon cellulernya.
Apalagi tanah yang digarap perusahaan ini, menurut Markus, masuk wilayah hutan adat Kampung Keliwai Kecamatan Long Iram yang memang dilindungi dan diakui oleh Negara berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU/IX/2012 tanggal 16 Mei 2013.
Di dalam keputusan tersebut tentang hutan adat, lanjut Markus, adalah bukan merupakan hutan Negara. “Berarti tanah adat memang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dan diakui oleh Negara.
Oleh sebab itu kami heran tepat bulan Agustus 2015 di tanah adat sesuai titik koordinat yaitu tanah adat hak ahli waris kami di Sungai Penganan, telah diserobot dan merusak kebun serta merobohkan pondok kami,” ujarnya.
Menurut pengakuan Markus, kebun sengon dan pondoknya sesuai peta dan tapal batas antara Kampung Keliwai dan Kampung Ujoh Halang tahun 2003 dan tapal batas antara Keliwai dengan Kampung Tukul tahun 2013, sah ditandatangani kepala kampung dan kepala adat dan tokoh masyarakat ke tiga kampung.
Markus menegaskan, pihaknya tetap menuntut pembebasan lahan yang sudah diambil batu baranya sekitar 50 hektar, sengon dan karet serta pondok yang sudah digusur senilai Rp10 milyar sesuai denda adat yang ditandatagani Kepala Adat dan Kepala Kampung Keliwai.
“Persoalan ini sudah kami laporkan ke Polres Kutai Barat pada tanggal 20 Agustus 2015, namun hingga kini proses hukumnya belum jelas” imbuhnya. #riv
Comments are closed.