Oleh: Sunarto Sastrowardojo *)
Konsep pembangunan kota, saat ini, tidak lagi ditentukan oleh logika revolusi industri yaitu kecepatan, keuntungan dan efisiensi, tapi sudah harus mengikuti aturan aturan alam.
Izinkan saya mengutip Visi Kota Samarinda ini dari website. Isinya begini: “Terwujudnya Kota Samarinda sebagai Kota Metropolitan Berbasis Industri, Perdagangan dan Jasa yang Maju, Berwawasan Lingkungan dan Hijau, serta Mempunyai Keunggulan Daya Saing untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”,
Di kalangan kolega saya, kami sering bercanda membahas visi kota Samarinda itu, karena kebetulan kami juga sedang menyusun kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Menurut alur penyusunan KKNI, profil Kota Samarinda terlalu melebar, tidak spesifik, tidak fokus, sehingga capaian pembangunan kotanya mengundang persepsi liar yang tidak terkendali dan dapat diterjemahkan sesuka hati. Eksekutif, misalnya, akan menerjemahkan kalimat; kota metropotitan berbasis industri, perdagangan dan jasa yang maju. Kota yang maju sangat membutuhkan RTH, kawasan publik yang menyediakan jaminan lingkungan yang baik. “Oh kalau begitu Samarinda butuh taman kota, paru paru kota yang artistik yang memenuhi standar estetika dan bisa jadi pabrik oksigen”.
Jadilah Taman Samarendah dengan menggusur bangunan sekolah yang monumental di Samarinda. Padahal sekolah itu, katanya, mampu menggugah romantisme sejarah alumninya. Lalu kalimat dalam visi berikutnya : ….., serta mempunyai Keunggulan Daya Saing untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”……. Ekses dari ini, eksekutif leluasa menerjemahkan anak kalimat dari visi ibukota Kalimantan Timur ini. Misalnya dengan mengupayakan kesejahteraan masyarakat itu ya memberikan kesempatan seluas luasnya bagi pertumbuhan ekonomi riil, UKM kuliner dan pedagang kaki lima yang bebas menempati ruang ruang publik di tengah kota.
Kota sebenarnya merupakan pangejawantahan budaya yang oleh Rapoport diistilahkan sebagai cultural landscape dengan keanekaragaman karakter, sifat, kekhasan, keunikan kepribadian masyarakat penghuni kotanya. Begitu pun Samarinda.
Dalam konsep perencaaan kota yang sering saya singgung dalam setiap kuliah arsitektur vernakular, penataan kota yang otoriter akan mematikan nyali dan penataan kota yang kultusisme mematikan nalar warganya. Jelasnya begini. Banyak kota di dunia yang, sebenarnya, diperintah oleh sebuah kartel. Desain kota bahkan ditentukan oleh sekelompok elit ini. Masyarakat yang harusnya dilibatkan dalam proses perancangan dan atau pengembangan kota ditindas dengan kekuatan ekonomi si kartel. Akibatnya masyarakat apatis bahkan menanggalkan kepedulian sebagai warga kota. Harusnya Samarinda move on untuk dapat tampil sebagai kota terkemuka yang menomorsatukan populasi warga kotanya ketimbang meningkatkan populasi gedung bertingkat, ruko dan mall. Konsep pembangunan kota, saat ini, tidak lagi ditentukan oleh logika revolusi industri yaitu kecepatan, keuntungan dan efisiensi, tapi sudah harus mengikuti aturan aturan alam.
Coba lihat model konseptual untuk Huaxi City Centre di Guiyang, China. Konsep peduli lingkungan dipadu dengan teknologi modern terkini di abad 21. Bahkan menurut Dezeen Architecture And Design Magazine, perkembangan perkotaan di China 15 tahun terkahir banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep pro-industri yang kurang terkonsep baik, tidak beraturan, tapi kemudian berubah drastis.
Proyek Huaxi diklaim memadukan kebutuhan manusia moderen dengan dunia lingkungan di sekitarnya, padahal desa yang dibangun pada tahun 1961 ini berbasis pertanian, penduduknya merupakan pemegang saham dari berbagai asset desanya. Kadang kadang saya bermimpi di Samarinda yang lebih luas dari DKi Jakarta dengan jumlah penduduk sepersepuluhnya itu dibangun sebuah kota baru dengan konsep permukiman berkelanjutan. Ya kadang kadang, karena merasakan mimpi itu ya hanya mimpi. Pemilik kota ini bingung darimana akan memulai membenahi kotanya.
Penanganan kawasan pasca tambang, drainase kota yang buruk, keterlibatan masyarakat yang sangat rendah, penanganan sampah dan penanganan kawasan kumuh bantaran sungai. Apa mungkin menata kota yang tengah sekarat ini dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan yang hanya lima tahun. #
*)Penulis adalah anggota Tim Pendiri Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Widyagama Mahakam, Samarinda
Comments are closed.