BeritaKaltim.Co

Dibalik Teror Brussels

Wimar Witoelar -1Salam Perspektif Baru,

Belum lama ini di beberapa bagian dunia sedang mengalami teror bom. Kita akan membicarakan mengenai teror ini dengan seorang narasumber yang aktif mengikuti perkembangan dunia internasional baik dari media masa, media sosial maupun aktif hadir di kancah internasional yaitu Wimar Witoelar. Dia juga Pendiri Yayasan Perspektif Baru.

Menurut Wimar, Teror seperti penyakit kanker. Ia bisa masuk secara random dan kita tidak bisa menjamin bahwa kita bisa menangkal penyakit itu, tapi kita bisa hidup sehat supaya tidak mengundang penyakit. Hidup sehat antara lain dengan tidak mengorbankan sentimen agama, tidak mengorbankan kebencian politik.

Indonesia mungkin tidak masuk daftar pertama karena Indonesia sebetulnya negara yang tenang. Jadi teroris mengalami kesulitan mempengaruhi orang Indonesia. Namun jangan terpancing kalau Donald Trump atau siapa pun di AS bicara kasar mengenai teroris, lalu kita demonstrasi di Kedutaan AS di Indonesia. Jangan bodoh karena Donald Trump bukan Amerika, Donald Trump adalah Donald Trump.

Wimar mengatakan kita harus mengetahui letak ujung persoalan. Bila debat antar agama meluas, maka semoga para pemimpin agama Islam di Indonesia terutama bisa membantu rekan-rekannya untuk bersikap seperti Gusdur, toleran, dan tidak terpancing bahwa Kristen jahat, Islam baik. Di setiap agama ada yang jahat dan ada yang baik. Sebaiknya kita tetap hidup dalam toleransi, tidak membesarkan perbedaan agama. Di setiap negara ada ekstrim kanan yang akan mengundang crash of civilization, perang peradaban antara Kristen dan Islam. Kita jangan terpancing ke arah tersebut.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Wimar Witoelar. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.

Tidak ada satupun manusia yang suka akan teror. Namun saat ini di beberapa bagian dunia seperti di Eropa sedang mengalami aksi teror. Terakhir yang menjadi perhatian internasional adalah serangan teror bom di Brussel, Belgia. Menurut Anda apa yang terjadi di Brussel?

Dari segi insiden ada satu bom meledak di bandara tepatnya di counter America Airlines. Diduga bom dalam koper dan di luar daerah security. Akibat bom meledak sekitar 20 orang meninggal. Foto memperlihatkan jenazah-jenazah bergelimpangan dibawa dengan trolly koper. Itu merupakan kondisi yang kita alami sehari-hari. Kita check in di bandara dan kita pikir akan diperiksa melalui security dan masuk daerah aman, tapi ternyata di luar tidak pernah aman.

Peristiwa kedua terjadi di stasiun metro yang terletak sangat dekat pusat-pusat perkantoran masyarakat Eropa, parlemen Eropa, dan sebagainya. Bahkan orang heran mengapa ledakannya tidak tepat di bawah parlemen Eropa. Jadi keduanya mempunyai dampak besar karena sangat kelihatan. Orang melakukan teror karena ingin kelihatan. Ia melakukan sosialisasi untuk tujuannya. Itu karena sebetulnya teror adalah kegiatan politik, memanfaatkan ekstrimisme agama, jiwa adventure orang-orang, keputus-asaan. Tapi semuanya mempunyai strategi politik yang sangat canggih.

Lalu, mengapa para teroris bisa tumbuh di Eropa seperti Belgia, bahkan sebelumnya juga ada serangan teror di Paris, Perancis?

Di Eropa banyak orang-orang Timur Tengah yang kebetulan beragama Islam yang sudah menjadi imigran satu-dua generasi sebelumnya, sehingga anak-anaknya menjadi warga negara Belgia, Perancis, Jerman. Namun mereka tetap orang yang terpencilkan secara sosial dan mengalami kecemburuan sosial yang besar terhadap orang-orang kulit putih yang ada di negara tersebut, sehingga sangat mudah diprovokasi oleh gerakan yang ingin membalikkan arus budaya dunia itu dengan cara memancing.

Andalan dari organisasi semacam ISIS adalah memancing reaksi yang tidak tepat. Misalnya, jika ada bom meledak maka reaksi kepala negara atau publik sudah pasti turut bersimpati dan mengatakan kami ada di belakang rakyat Paris, Brussel, Bali kemudian baru bicara soal terorisme. Tapi belum lama ini ada dua reaksi yang tidak tepat dari orang yang terkemuka yang mungkin saja menjadi pemimpin Amerika Serikat di bulan November 2016.

Siapa dan bagaimana reaksi kedua orang tersebut?

Ted Cruz mengatakan bahwa ia setuju untuk tidak mengizinkan pengungsi Syria masuk ke Amerika Serikat (AS). Donald Trump mengatakan akan menghidupkan kembali siksaan dengan air atau waterboarding dan bahkan dengan yang lebih kejam. Itu karena teroris tidak jera dan AS betul-betul harus mengawasi setiap orang muslim yang ada di dekat orang Amerika.

Orang-orang ISIS yang mendengar hal itu kabarnya justru senang karena reaksi itu yang diharapkan. Jadi orang bisa balik ke Indonesia seperti Purwokerto, Madiun dengan mengatakan orang kulit putih menyalahkan orang Islam, padahal mereka patuh dan saleh. Jadi akan dibalas lagi, makin lama makin tajam. Reaksi itu tidak tepat. Saya merasa perlu bicara mengenai teror agar tidak terpancing.

Mengapa sampai serangan teror tersebut terjadi di Brussel, Belgia bukan di negara lainnya?

Teror itu random dan semua kota akan mendapat gilirannya hanya siapa yang akan mendapat giliran lebih dulu. Teror seperti internet, semacam aplikasi Uber, karena aplikasi internet tidak tersentralisir tapi mempunyai ideologi umum dan siapa pun bisa membuat. Siapa saja bisa membuat teror, tidak ada panglima perangnya tapi ada ideologi yang jelas, cara yang jelas, jadi siapa yang sempat bisa memulai.

Pelaku teror Salah Abdeslam dan kawan-kawan sukses di Paris. Bagi mereka sukses karena bomnya kelihatan, mempunyai dampak, dan orangnya dikejar-kejar. Orang-orang tersebut sebagian berasal dari Brussel karena hanya tiga jam naik mobil dari Paris, tidak melalui perbatasan, dan orangnya beragam. Semuanya warga negara lokal.

Belgia merupakan negara yang terpecah-pecah, bagian utaranya berbahasa Belanda, bagian selatannya berbahasa Perancis, bagian timurnya berbahasa Jerman. Kota Brussel sendiri terpecah misalnya ada kelurahan yang bicara Perancis, ada kelurahan yang bicara Belanda, ada kelurahan kecil yang berbicara Jerman. Masing-masing mempunyai polisi sendiri, intel sendiri. Jadi mereka sulit bekerja sama karena dari dulu mereka bertikai. Jadi mereka agak bebas berkeliaran. Perancis minta agar Salah Abdeslam itu diekstradisi tapi Belgia minta waktu tiga minggu, padahal tiga minggu waktu yang sangat lama.

Apa tujuannya mereka minta waktu tiga minggu?

Itu karena Belgia tidak mau dicampuri kedaulatannya, sama seperti kita tidak mau dicampuri unsur asing. Mereka tidak tahu atau tidak sadar bahwa teror itu global bukan waktunya untuk mempunyai harga diri, nasionalisme, dan sebagainya karena ISIS tidak mengenal nasionalisme, mereka universal.

Jadi penanganan di Brussel, Belgia sangat lambat dan orang-orang Eropa agak tidak berdaya karena tidak bisa ikut ambil alih kecuali kalau menggunakan cara Donald Trump, maka Belgia akan dijajah. Apalagi Eropa masih sedang mengalami eksperimen masyarakat Eropa dengan sistem Schengen dimana tidak ada perbatasan dengan pimpinan Angela Markel, Jerman dengan ekonomi yang kuat, kemanusiaan yang kuat, tapi dikelilingi negara-negara yang perbedaan tingkat sosial ekonomi yang cukup besar. Imigran masuk dari Yunani yang cukup kerepotan, juga Portugal, Slovakia, dan sebagainya ke Jerman.

Kebetulan geografis Jerman terletak di tengah-tengah. Jadi imigran yang berjumlah ratusan ribu mengalir dari Syria melalui Yunani atau Hungaria, sehingga menyulitkan negara lain. Jadi paling jengkel terhadap Jerman karena Jerman itu saklek sehingga mengurus segala sesuatunya sendiri. Mereka berasal dari Syria, berkumpul, dan bisa istirahat di Belgia. Di sana mereka membuat rencana.

Kalau mau ditelusuri, di Belgia intelejennya tidak jalan karena komunikasi bahasa yang sederhana saja tidak bisa. Lebih bagus Indonesia. Indonesia dan Australia bekerja sama anti terorisme bisa, karena menyadari kita tidak bisa bahasa Inggris, mereka tidak bisa bahasa Indonesia lalu berusaha sebisanya untuk bekerja sama. Kalau di Belgia merasa masing-masing mempunyai harga diri.

Tadi Anda mengatakan bahwa teror bersifat global. Saya melihat dan mengikuti bahwa teror pertama terjadi di Irak, Suriah, Paris, kemudian Brussel dan mungkin saja suatu ketika akan pindah ke Indonesia, ke daerah-daerah di Indonesia. Lalu apa yang harus kita sikapi dari kejadian di Brussel agar kita tidak mengalami teror seperti di Eropa?

Teror seperti penyakit kanker. Ia bisa masuk secara random dan kita tidak bisa menjamin bahwa kita bisa menangkal penyakit itu, tapi kita bisa hidup sehat supaya tidak mengundang penyakit. Hidup sehat antara lain dengan tidak mengorbankan sentimen agama, tidak mengorbankan kebencian politik. Misalnya peristiwa taxi online dan taxi konvensional sangat bisa membangkitkan kebencian politik, tapi kita bisa menghindarinya.

Indonesia mungkin tidak masuk daftar pertama karena Indonesia sebetulnya negara yang tenang. Kalau orang suka merendahkan Indonesia, maka Indonesia itu tenang karena keributannya mengenai hal-hal kecil. Jadi teroris mengalami kesulitan mempengaruhi orang Indonesia. Namun jangan terpancing kalau Donald Trump atau siapa pun di AS bicara kasar mengenai teroris, lalu kita demonstrasi di Kedutaan AS di Indonesia. Jangan bodoh karena Donald Trump bukan Amerika, Donald Trump adalah Donald Trump. Itu seperti supir Bluebird demo ke pemerintah adalah salah kaprah.

Jadi kita harus mengetahui letak ujung persoalan. Bila debat antar agama meluas, maka semoga para pemimpin agama Islam di Indonesia terutama bisa membantu rekan-rekannya untuk bersikap seperti Gusdur, toleran, dan tidak terpancing bahwa Kristen jahat, Islam baik. Di setiap agama ada yang jahat dan ada yang baik. Sebaiknya kita tetap hidup dalam toleransi, tidak membesarkan perbedaan agama. Tidak juga bersikap pahlawan pergi ke Palestina karena yang pergi ke Palestina atau Syria juga tidak berguna dan kembali lagi karena di rezim di negara tersebut keras.

Jadi Indonesia lebih baik hidup seperti sekarang, tidak terpancing untuk ribut. Kalau keadaannya mulai ribut karena ISIS memancing orang-orang seperti Donald Trump dan Ted Cruz. Sebetulnya bukan itu saja, di setiap negara Eropa ada sayap kanan radikal yang terpancing. Di Perancis ada Le Pen, di Jerman ada Bondies. Di setiap negara ada ekstrim kanan yang akan mengundang crash of civilization, perang peradaban antara Kristen dan Islam. Kita jangan terpancing ke arah tersebut.

Anda mengibaratkan teror seperti bibit penyakit. Salah satu bibit penyakit yang harus dihindari adalah intoleransi. Apakah bibit penyakit berikutnya adalah kesenjangan sosial bisa juga menjadi pemicu pecahnya teror?

Bisa, tapi kesenjangan sosial sudah ada dari zaman Portugis sampai sekarang. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang penting orang tahu bagaimana perbandingan tahun ini dengan tahun sebelumnya. Indonesia sudah meningkat kesejahteraan dan ekonominya. Jadi sebaiknya tidak terpengaruh mengatakan bahwa sekarang repot, padahal tidak juga. Sekarang tidak serepot 10 tahun lalu, tidak serepot 20 tahun lalu. Jadi kita harus percaya diri. Percaya diri bahwa Indonesia indah dan tidak terbawa suasana yang dikobarkan di dunia internasional. Mungkin juga orang bosan, sehingga merasa lebih baik membantu orang Islam di Eropa tapi tidak membantu orang Kristen.

Comments are closed.