Di Kalimantan, damai itu harga mati. Dengan peristiwa Sampit dan Sambas beberapa tahun lalu, sesungguhnya, kata Edy Gunawan Areq Lung, warga Suku Dayak tidak menginginkan hal itu terjadi.
Tapi, entah. Apa memang Tuhan izinkan atau bagaimana? “Saya tidak tahu. Sehingga dengan terpaksa mereka ini merasa penduduk asli di situ, memang tinggal di situ, kalau ditindas, kalau selalu mau digusur, akhirnya ‘kan merasa tersisih,” tutur pria yang Lahir 10 Desember 1958 di Desa Bilatalang, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai.
Dayak itu, kalau hanya ngomong saja tidak terlalu berat. Disenggol saja, dipukul, tidak terlalu berat. Tetapi kalau sudah mengeluarkan darah itu pantangan.
Kalau sudah keluar darah pasti dibalas darah. “Itu yang kami hindari jangan sampai hal itu terjadi. Makanya setelah peristiwa itu kami sendiri membuat suatu acara supaya hal itu jangan terulang lagi,” kenangnya.
Cukup itu menjadi suatu pengalaman, boleh dikatakan yang awal dan yang akhir. Itu mengingatkan kita agar supaya kita kembali kepada perjanjian tahun 1894 tentang perdamaian Tumpang Anay.
Sedikit kisah ke belakang tentang deklarasi perdamaian Tumpang Anay tahun 1894. Peristiwa itu berisi kesepakatan tokoh-tokoh Dayak di Kalimantan di Desa Tumpang Anay Kalimantan Tengah.
Tokoh-tokoh se Kalimantan bisa hadir di desa tersebut. Belum ada jalan darat, laut apalagi udara. Tapi, kenapa mereka bisa berkomunikasi tentang acara deklarasi itu dengan akurat. Mereka pakai cara-cara komunikasi di luar istilah alam.
Deklarasi Tumpang Anay berisi sesama manusia, khususnya suku Dayak, tidak ada lagi permusuhan, tidak ada lagi peperangan.
“Itu makanya selalu kami dengungkan siapapun yang masuk di Kalimantan ini harus tahu dengan motto Kalimantan, damai itu indah”.
Deklarasi itu masih hidup sampai sekarang. Itulah alasan mengapa tokoh-tokoh Dayak di Kalimantan Timur memberikan penghormatan kepada Kajati Kaltim Abdul Kadiroen dengan gelar Sigau Belawan.
Abdul Kadiroen, selain jabatannya adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Kaltim juga seorang tokoh suku Madura. “Kami tidak ingin kerja penegakan hukum jadi terganggu karena masih ada masalah masa lampau ada kedua suku ini. Kami memerlukan sinergi agar Kejati punya kekuatan, punya kepercayaan untuk menegakkan hukum. Kami warga Dayak siap mendukung dia,” ujar Edy Gunawan.
Nah, di situlah terjadi perdamaian. Istilahnya silaturahmi tali persaudaraan antara Kajati Kaltim dan masyarakat Kalimantan khususnya etnis Madura sama Dayak.
“Gelar Sigau Belawan bagi Pak Kadiroen itu sebagai pahlawan yang disegani, bisa mengayomi semua orang, bisa berbicara benar, berani tampil dalam kebenaran dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Itu makanya dia dianggap pahlawan,” kata Edy yang adalah cucu dari Ibau Ajang, pemimpin Suku Dayak Kenyah Lebuq Timai keluar dari pedalaman Apokayan ke daerah Tabang Kutai.
Berikut petikan Wawancara Harianto Rivai dari beritakaltim.com dengan Edy Gunawan Areq Lung, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Kaltim;
Ada pertanyaan yang mengganjal, pemberian gelar Sigau Belawan atau ksatria hukum di Kalimantan Timur kepada Kajati Abdul Kadiroen yang notabene orang Madura, apa itu bermaksud lain?
Maksud lain yang bagaimana? Warga Dayak itu taat hukum. Hukum itu sama bagi siapa saja. Itu makanya Saya sering katakan kepada aparat hukum, bina warga kami supaya mereka mengenal hukum.
Jika ada yang melawan hukum?
Tindak sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak ada tebang pilih. Cuma, karena ini di daerah, hormatilah kearifan lokal supaya terhindar dari konflik. Jadi kalau ada masalah hukum, kalau ada orang kami yang salah, kami antar, tidak usah dijemput, jangan diperlakukan seperti teroris, itu kami tidak suka. Apalagi disuruh, atau ada titipan tangkap itu. Itu anti kami. Hal-hal yang demikian itu memicu konflik di antara kita, belum tentu dia salah. Hanya praduga tak bersalah, tetapi karena itu sudah terlanjur mau tidak mau kan’ menggaung. Kelihatannya Dayak di Samarinda seperti tidak ada, tapi jika terjadi suatu peristiwa, membanjir.
Sekarang bermunculan kelompok-kelompok Ormas yang ..?
Ya.. Sekarang ini sudah pelan-pelan, yang jelas sekarang kan’ sudah tidak kelihatan garang. Di jalan biasanya kelihatan sangar, begini dan begitu, sekarang sudah tidak ada. Yang kelihatan seram itu hanya kepentingan pribadi saja, disamping itu di belakang mereka adalah orang-orang perusahaan yang juga pensiun-pensiunan angkatan itu. Justeru mereka ini yang pakai warga kami sebenarnya. Mereka (Dayak) hanya untuk cari makan, tapi mereka tidak mau mendahului. Tapi kalau mereka salah, tangkap. Saya sering katakan pada aparat penegak hukum, hati-hati di dalam menegakkan hukum. Jangan mentang-mentang punya kuasa seenaknya mau tangkap, jangan. Tapi bagaimana caranya seorang penegak hukum bisa interogasi seseorang itu sehingga dia bisa sadar dan bisa mengaku. Itu yang paling penting sebenarnya, bukan kekerasan. Kalau memakai kekerasan dia akan dendam, tidak akan selesai. Itu makanya, kami dari Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Timur di sini, kalau ada konflik kami ajukan tawaran, secara hukum atau damai. Kalau damai kita selesaikan secara damai, kalau hukum silakan. Dua pilihan, kalau secara damai yang tadi – walaupun dia membunuh- kalau kita sudah damaikan, dia dianggap seperti keluarga lagi kembali. Tidak ada kata sengketa. Itu yang kita terapkan sekarang ini.
Itu salah satu ciri kearifan lokal orang Dayak ya?
Ya. Itu makanya saudara-saudara kita yang dari luar janganlah berpikir atau bimbang mau masuk Kalimantan bagaimana? Itu cuma provokasi orang tertentu saja. Orang dari luar mungkin sudah pernah ke sini, dia sudah menikmati begitu enak supaya orang lain tidak masuk dia provokasi seperti itu supaya orang lain tidak datang. Setelah orang datang ke sini baru tahu orang Dayak itu bagaimana, mereka makan bersama, bisa tidur bersama dan dijaga lagi. Khususnya para investor Kalimantan Timur Saya ingatkan, Saya tidak pernah minta apa-apa dengan mereka. Kalau kalian datang, permisi dulu. Supaya keberadaan kalian itu kita bisa pantau, kita bisa jaga. Soalnya, usaha perkebunan dan pertambangan itu identik dengan pemilik lahan, jangan kira semua lahan itu milik pemerintah. Di sana itu ada orangnya, ada kuburannya. Itu yang memicu konflik sekarang ini. Kuburan nenek moyang digusur tanpa izin. Akhirnya, tangkap lagi, tangkap lagi sesuai hukum. Itu bukan menyelesaikan masalah, itu menambah konflik.
Apa ada pesan untuk warga Anda?
Kembalilah kepada habitat kita, tata cara hidup kita, santun dan hormat kepada siapapun dan jangan mendahului dalam segala hal apalagi anarkis. Karena itu memang budaya nenek moyang kita dahulu. Tetapi kalau kita ditindas terus , kalau kita benar disiksa terus, mau tidak mau, istilahnya jika orang jual kita beli. Jangan digertak pakai senjata. Dulu Indonesia merdeka menggunakan bambu runcing, bukan pakai senjata. Sebenarnya kita Bangsa Indonesia ini sama, Saya sejak usia 12 tahun merantau ke mana-mana. Saya ke Jawa, jadi orang Jawa, ke Sumatera jadi orang Sumatera, ke Sulawesi jadi orang Bugis Makassar. Tidak masalah, semua dapat KTP Saya. Hendaknya juga orang dari luar begitu tau Kalimantan ini siapa sih. Dunia saja mengetahui Kalimantan ini Dayak, Indonesia pada umumnya mengatakan Kalimantan ini pulau Dayak. Kenapa kita tidak tau orangnya. Dayak itu tidak sangar, Dayak itu tidak keras tapi apabila harga diri diinjak-injak apalagi sampai keluar darah itu perlu acara khusus itu. Dayak itu tidak memandang etnis maupun agama. #
Comments are closed.