Salam Perspektif Baru,
Kita akan berbincang dengan Herlina, guru Sekolah Dasar (SD) yang juga aktif dalam program pendampingan Solidaritas Perempuan (SP). Ia mulai aktif di SP saat mulai ada program pendampingan untuk masyarakat di Desai Sei Ahas, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.
SP memulai program pendampingan di wilayah Mantangai setelah adanya program Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP). KFCP adalah bagian dari proyek REDD+ dan merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Australia.
Menurut Herlina, program KFCP memunculkan banyak permasalahan. Mulai dari sisi sosialisasi hingga keterlibatan masyarakat lokal dalam melaksanakan program ini di lapangan. Keadaan masyarakat kemudian diperparah dengan kehadiran perusahaan sawit yang menguasai hutan di sekitar tempat tinggal. Padahal hutan adalah sumber dari kehidupan mereka.
Yang paling terkena dampak dari permasalahan-permasalahan tersebut adalah kaum perempuan. Perempuan menjadi berperan ganda, selain harus mengurus rumah tangga, juga harus membantu mencari nafkah. Hal ini karena hutan tempat mencari nafkah telah dikuasai oleh investor.
Herlina meminta pemerintah jangan memberi izin baru lagi untuk perusahaan-perusahaan sawit. Pemerintah juga harus tegas kepada pihak perusahaan yang sudah tidak mengantongi izin lagi.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Mahisa Dwi Prastowo sebagai pewawancara dengan narasumber Herlina. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.
Bagaimana Anda bisa memiliki kegiatan bersama Solidaritas Perempuan?
Saya mulai bergabung dengan Solidaritas Perempuan pada 2013. Saat itu ada proyek REDD+ bernama Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP). Saat itu mulai timbul berbagai permasalahan hingga ada konflik antara masyarakat dan pihak pengelola proyek KFCP. Program ini mempunyai banyak permasalahan. Misalnya, soal ketidakterbukaan dengan masyarakat saat melakukan pelaksanaan proyek pembibitan dan penanaman. Masyarakat dirugikan karena pembibitan yang dilakukan masyarakat hanya dihargai antara Rp 100 sampai Rp 300.
Program penghijauan dengan melakukan penanaman hutan kembali. Ini kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Australia.
Apa peran warga dalam proyek ini?
Warga yang melakukan pembibitan, kemudian mengangkut bibit ke lahan, dan melakukan penanaman.
Lalu, apa peran Solidaritas Perempuan di sana dalam hubungan proyek ini?
Solidaritas perempuan melakukan pendampingan kepada warga, salah satunya membantu kami untuk mengetahui sumber dan pengalokasian dana.
Apa saja kegiatan yang dilakukan?
Kami banyak melakukan diskusi antara perempuan-perempuan yang ada di tiga desa dimana program KFCP berjalan.
Sebenarnya, KFCP mempunyai program di tujuh desa. Solidaritas Perempuan sudah mulai melakukan pendampingan ke beberapa desa. Tapi penduduk desa masih ingin mencoba dulu, seperti apa program KFCP itu.
Bisa Anda jelaskan lagi, apa saja permasalahan masyarakat Sei Ahas dengan KFCP selain mengenai biaya pembibitan?
Pertama, permasalahannya adalah pihak KFCP mengklaim sudah datang ke kampung untuk melakukan sosialisasi. Tapi kami tidak tahu kapan proses sosialisasi itu, tiba-tiba proyek sudah akan dilaksanakan. Setelah itu bermacam-macam konflik terjadi masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan KFCP, dan sebagainya.
Alasan kami menolak KFCP karena merusak budaya kami. Bila ada rapat atau diskusi di balai desa, mereka selalu memberi uang duduk untuk masyarakat. Jumlah peserta rapat dibatasi, sehingga tidak seluruh masyarakat bisa mengikuti rapat.
Alasan kedua adalah soal proses pengambilan keputusan. Peserta rapat kebanyakan adalah laki-laki. Perempuan memang bisa datang, tapi perempuan biasanya duduk di belakang. Bila ada keputusan dan perempuan yang hadir berkeberatan dengan keputusan tersebut, maka suara mereka tidak terlalu dihiraukan. Yang lebih berperan dalam mengambil keputusan adalah laki-laki.
Selain kami anggap merusak budaya kami, masyarakat juga tidak boleh masuk ke hutan. Mereka membuat batas-batas seperti dengan membendung sungai. Masyarakat biasa mengambil rotan, karet, atau bercocok tanam dengan melewati sungai. Setelah KFCP datang dan membuat bendungan, maka semakin mempersulit akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan.
Selain masalah KFCP, apa lagi masalah yang dialami di Sei Ahas?
Sejak 2004 ada perusahaan sawit yang masuk ke Desa Sei Ahas. Dari berdiri, mereka sudah bermasalah dengan masyarakat. Mereka mendapat izin arahan itu sebenarnya lima kilometer ke atas dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Ternyata pihak perusahaan itu mengambil mulai dari tiga kilometer DAS Kapuas. Jarak tiga kilometer dari DAS Kapuas itu banyak perkebunan karet dan ladang masyarakat. Pihak perusahaan langsung menggarap tanpa ada pemberitahuan ke masyarakat.
Pada 2011 terjadi aksi masyarakat ke pihak perusahaan. Aksi disaksikan juga oleh pihak pemerintah daerah (Pemda) dan Kepolisian. Tapi pemerintah daerah tidak menanggapi permasalahan masyarakat dengan perkebunan sawit. Sampai sekarang sebenarnya perizinan kepala sawit itu sudah tidak ada lagi. Bahkan bupati mengatakan PT Rezeki Alam Semesta Raya, nama perusahaan sawit itu, tidak mengantongi izin dan ilegal. Sampai sekarang masyarakat selalu meminta kepada Pemda untuk memberikan keputusan karena bupati sudah menyatakan kalau itu ilegal. Sudah beberapa kali masyarakat bertemu dengan pihak perusahaan, DPRD Palangkaraya, DPRD Kapuas, dan juga bupati untuk melakukan mediasi. Tetapi Pemda tetap tidak ada keputusan.
Apa yang masyarakat lakukan sekarang?
Yang dilakukan masyarakat saat ini adalah selalu meminta pemerintah untuk cepat-cepat memberi keputusan karena masyarakat sudah tidak mempunyai lahan. Jadi banyak laki-laki pergi ke daerah-daerah lain untuk mencari tambahan penghasilan.
Yang banyak tinggal di kampung adalah perempuan. Para perempuan inilah yang mengelola hutan yang tersisa. Kebakaran lahan besar-besaran pada 2015 di Kalimantan makin mempersulit. Para perempuan sulit untuk mengambil rotan atau karet karena lahan mereka sudah terbakar.
Apa perbedaan mengelola hutan antara perempuan dan laki-laki?
Perbedaan yang pertama adalah laki-laki biasanya tidak bisa menganyam. Kebanyakan yang menganyam adalah perempuan. Memang laki-laki yang mengambil rotan di hutan, tapi perempuan juga ikut dalam pengambilan bahan bakunya. Kemudian perempuan biasanya banyak mengambil obat-obatan atau ramuan tradisional untuk mengobati orang yang habis melahirkan. Kebanyakan laki-laki tidak tahu ramuan apa yang dicari.
Apa dampak bagi masyarakat di desa Sei Ahas akibat konflik pengelolaan hutan yang terjadi?
Perempuan menjadi lebih was-was. Mereka takut terjadi apa-apa karena tidak adanya laki-laki di kampung. Selain itu, laki-laki atau suami mereka kadang mengirim uang untuk istrinya, kadang juga tidak. Jadi terpaksa perempuan bekerja keras ketika suaminya tidak mengirim uang. Pekerjaan perempuan menjadi double, sudah mengurus anak, mengurus rumah tangganya, kemudian juga mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya.
Selama Solidaritas Perempuan melakukan pendampingan, apa saja program yang sudah dilaksanakan dan apa kemajuan yang telah dicapai?
Banyak kemajuannya. Dulu hanya ada dua orang yang ikut kegiatan-kegiatan diskusi, tapi sekarang sudah ada sekitar 15 ibu-ibu yang ikut diskusi. Jadi ibu-ibu ini yang dulu tidak mengerti apa yang dibicarakan orang ketika rapat pengambilan keputusan, sekarang sudah ada kemajuan pada ibu-ibu tersebut. Mereka sudah bisa mengutarakan yang mereka rasakan. Mereka berani berbicara sesuatu yang menurut mereka tidak benar.
Sekarang perempuan di sana sudah termasuk kritis. Jadi ketika ada perusahaan atau proyek yang mau masuk, mereka tidak mau seperti dulu. Kalau dulu, bila diminta hadir mereka langsung hadir. Bila disuruh tanda tangan, mereka langsung tanda tangan. Sekarang mereka sudah berpikir dulu untuk apa tandatangan ini. Jadi mereka tidak harus ikut-ikutan lagi. Itu karena mereka sudah banyak mengalami permasalahan, mereka akhirnya belajar dari pengalaman.
Apa harapan ibu secara pribadi?
Harapannya, baik dari saya pribadi maupun ibu-ibu atau masyarakat di sana, adalah jangan sampai ada izin baru lagi. Kami meminta pemerintah jangan memberi izin baru lagi untuk perusahaan-perusahaan sawit. Pemerintah juga harus tegas kepada pihak perusahaan yang sudah tidak mengantongi izin lagi. Jadi harus memberikan keputusan untuk tidak “menggantung nasib masyarakat”. Selain itu dengan seiring berjalannya waktu, kami berharap agar Solidaritas Perempuan makin berkembang. Mudah-mudahan makin banyak ibu-ibu yang mengikuti kegiatan-kegiatan Solidaritas Perempuan.
BOX KETERANGAN RUTIN
Yayasan Perspektif Baru bekerjasama dengan Yayasan Konrad Adenauer memproduksi program PERSPEKTIF BARU, dimuat sebagai sindikasi empat koran se-Indonesia, yaitu Duta Masyarakat Surabaya, Harian Jogja, Joglo Semar Solo, B Magazine dan Harian Pagi Siwalima.
Naskah ini merupakan transkrip wawancara radio yang disiarkan sindikasi ratusan stasion radio melalui Jaringan Radio KBR 68 H, Jaringan Radio Antero NAD, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Metro RGM Purwokerto, Global FM Bali, Lesitta FM Bengkulu, Maya Pesona FM Mataram, Pahla Budi Sakti Serang, Poliyama FM Gorontalo, BQ 99 FM Balikpapan, Gita Lestari Bitung, Dino FM Samarinda, Genius FM Pare-Pare, Civica FM Gorontalo, Shallom FM Tobelo Maluku Utara, Marss FM Garut, Sangkakala FM Banjarmasin, M83 FM Kutai Kartanegara, RPFM Kebumen, BFM Bangka Belitung, Sehati FM Bengkulu, Gemma Satunama Yogyakarta, BPKB FM Gorontalo, Suara Pangaba Balikpapan, RDP Kutim,Citra FM, Hulontalo FM, Suara Celebes FM.
PERSPEKTIF BARU ONLINE : www.perspektifbaru.com
E-mail : yayasan@perspektifbaru.com
Hak cipta pada Yayasan Perspektif Baru, faks. (021) 722-9994, telp. (021) 727-90028 (hunting)
Comments are closed.