JAKARTA, BERITAKALTIM.COM – Indonesia masih menempati peringkat ke 109 dari 189 negara di dunia dalam hal kemudahan berusaha (Ease of Doing Business). Paket Kebijakan Ekonomi XII yang telah dikeluarkan guna memudahkan kegiatan bisnis masih menghadapi kendala di lapangan. Kantor Staf Presiden (KSP) menggelar diskusi bersama Wakil Menteri Koordinator bidang Perekonomian, BKPM, Pemda DKI Jakarta, Pemda Surabaya, World Bank, Boston Consulting Group, PwC Indonesia, untuk mengenali, mengurai kendala, dan memberikan rekomendasi pada pihak terkait.
Dalam sambutannya Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan, upaya peningkatan investasi tak hanya berhenti pada penyederhanaan perizinan. Interkoneksi dan koordinasi antar instansi perlu diakselerasi.
“Semuanya harus dilakukan cepat dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai lead,” kata Teten Masduki di Kantor Staf Presiden, Jumat 27 Mei 2016.
Yang lebih penting, menurut Teten, sistem apapun yang dijalankan jika muncul masalah harus ada penanganan yang memadai.
“Komplain mesti cepat ditanggapi, jangan lambat,” ujarnya.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang kotanya menjadi salah satu dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu terbaik di Indonesia mengungkapkan berbagai izin di Kota Surabaya sudah menggunakan sistem onlinesehingga tidak lagi butuh hard copy. Itulah sebabnya pemohon izin dapat memantau sampai dimana izin telah diproses.
“Bahkan saya bisa memantau siapa yang bertanggungjawab atas keluarnya izin tersebut,” jelas Risma. Menurutnya, yang lebih penting adalah pengawasan setelah izin keluar.
DKI Jakarta juga sudah berada di depan dalam mempercepat keluarnya berbagai izin. SIUP misalnya maksimal 2 hari. Bahkan DKI Jakarta meluncurkan Layanan Antar Jemput Izin Bermotor. Pemohon tinggal menelepon dan akan dilayani untuk izin yang masuk dalam daftar pelayanan.
Dalam pemaparannya para peserta memunculkan temuan dan usulan yang menarik. Misalnya, investor masih mengeluhkan adanya regulasi yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Hal ini memunculkan keragu-raguan dan kebingungan. Tak kalah penting, perlunya pemerintah menerbitkan regulasi yang spesifik, mengarah ke sektor tertentu, bukan yang terlalu umum.
Ay Tjing Phan dari PwC Indonesia mengutarakan kerisauan investor tentang frekuensi pembayaran pajak hingga 54 kali dalam setahun. Yang semestinya bisa disatukan, hanya 3 kali setahun. Penyatuan ini akan mengurangi kerepotan investor. Ia juga mengusulkan memperbanyak dan mewajibkan wajib pajak membayar secara elektronik. Cara ini memudahkan wajib pajak dalam melunasi tagihan pajaknya dan bisa meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak.
Sementara Edwin Utama dari Boston Consulting Group menyoroti tentang visa on arrival yang menurutnya kurang transparan. Sementara Irwandi Hendarta sangat menghargai diskusi ini sebagai upaya keseriusan pemerintah membenahi investasi. Namun ketika investor sudah datang ada regulasi yang tidak mendukung bahkan kontradiktif. Menurutnya niat baik pemerintah saja tidak cukup, mesti dibarengi dengan koordinasi dan penerbitan peraturan pendukung yang tidak tumpang tindih.
Bertine Kamphuis dari World Bank menyarankan perlunya pemerintah fokus pada indicator ease doing business agar kemajuannya lebih terukur. Ia mengapresiasi kemajuan Jakarta dan Surabaya dalam memberi pelayanan pada investor. Tapi sekaligus mengingatkan bahwa yang dilihat investor adalah kondisi Indonesia secara keseluruhan bukan hanya Jakarta dan Surabaya. “Benchmark nya adalah antar negara bukan daerah,” jelasnya.
Untuk memastikan Ease of Doing Business di Indonesia berjalan dengan baik, KSP akan terus melecut dan memantau pelaksanaannya. Bahkan KSP, menurut Teten Masduki akan melihat kemajuan dalam 3 bulan ke depan.
Comments are closed.