Oleh: Intoniswan *)
Pemerintah berkeinginan, bahkan sepertinya sudah yakin, dengan memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, angka kejehatan seksual akan menurun. Bahkan dalam Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) yang diusulkan pemerintah, hukuman tertinggi bisa hukuman mati, dan atau mendapat hukuman tambahan, seperti dikebiri nafsu seksualnya untuk jangka waktu tertentu.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan -berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus.
Menurut pengamatan mereka, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Kekerasan seksual termasuk bentuk kekerasan paling menonjol sampai sejumlah kalangan menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
Menerbitkan Perppu dengan memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, sepertinya dilihat pemerintah paling tepat, tapi sebetulnya tidak komprehensif untuk mengatasi masalah, tidak berdasarkan hasil penelitian ilmiah, dan tak melihat fakta, siapa sebenarnya pelaku dan siapa dan dari golongan masyarakat mana yang jadi korban.
Jaksa dan hakim, belum tentu sependapat dengan Perppu tersebut, karena pelaku kejahatan seksual melakukan kejahatan dalam keadaan sadar sebab, melakukan kejahatan karena dorongan alam bawah sadarnya. Pelaku yang mempunyai perilaku menyimpang tersebut, juga bukan melakukan kejahatan karena adanya dorongan dari luar dirinya, misalnya karena sudah mabuk minuman keras, atau dibujuk teman-temannya.
Sidang kasus kejahatan seksual di pengadilan adalah sidang tertutup, jadi informasi apa saja dalam perkara itu hanya diketahui jaksa dan hakim, dan catatan lengkapnya baru bisa dibaca setelah ada putusan final atau berkekuatan hukum tetap. Tuntutan jaksa dan putusan hakim bersandar pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, plus keyakinan majelis hakim. Kedua penegak hukum tersebut tidak bisa diintervensi, baik oleh kekuasaan maupun publik, sebab penguasa dan publik tidak memperoleh akses ke keterangan saksi-saksi, korban maupun pelaku.
Pemerintah kalau mau mengatasi masalah kejahatan seksual secara komprehensif, sebetulnya membongkar kembali berkas perkara kejahatan seksual yang sudah berkekuatan hukum tetap dan mnegerahkan sebanyak-banyaknya ahli dari berbagai disiplin ilmu membaca dan mempelajari, apa sebetulnya yang terungkap dalam persidangan, dan dengan disiplin ilmu masing-masing mengusulkan ke pemerintah cara yang bisa digunakan untuk mencegahnya.
Secara umum, pelaku kejahatan seksual, sebagian besar dari kalangan masyarakat tidak berpunya alias berpendidikan rendah dan masuk kelompok masyarakat miskin. Sebaliknya, korban sebagian besar juga dari kelompok masyarakat yang sama. Misalnya dalam kasus Yy di Rejanglebong, Bengkulu, membuktikan pelaku dan korban, dari kelomnpok masyarakat yang sama. Kalau pun ada penyimpangan dari yang berlaku umum, itu dapat dikatakan “kebetulan”.
Perbuatan manusia dikendalikan pikirannya, plus alam bawah sadarnya. Kalau sekarang banyak kejahatan seksual, kewajiban pemerintah bersama masyarakat melakukan rekayasa sosial atas jalan pikiran manusia tentang apa itu seks. Rekayasa sosial tentang seks, bisa dilakukan dengan memperluas pendidikan seks terhadap anak usia dini dan remaja. Selain itu juga perlu penyuluhan terhadap masyarakat secara umum, atas kejahatan seksual itu sendiri. Pelaku kejahatan seksual karena dorongan alam bawah sadarnya, muncul karena jalan pikirannya memang sudah tidak normal tentang apam itu seks.
Fakta sekarang ini menunjukkan, sebagian besar keluarga (baik itu yang miskin maupun yang kaya) tidak sadar bahwa anggota keluarganya potensial menjadi korban kejahatan. Anak dari keluarga miskin paling rentan jadi korban kejahatan seksual sebab, waktu yang mereka habiskan di luar rumah jauh lebih lama dibandingkan anak orang kaya, dimana punya ruang di rumahnya yang membuat anak betah di dalam rumah.
Kontrol orangtua dari keluarga miskin terhadap anaknya juga sangat longgar, karena waktunya sudah habis untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehar-hari. Sedangkan si anak, dengan kondisi tempat tinggal yang sempit tidak betah berada dalam rumah, sehingga banyak bermain di luar rumah dan orangtuanya tidak tahu anaknya sedang bermain dimana.
Perbaikan kesejahteraan masyarakat, rekayasa sosial tentang seks, perbaikan lingkungan dalam artian umum, pendidikan seks bagi semua umur, secara sistematis dan dilandasi kajian ilmiah yang komprehensif, itu jalan yang seharusnya ditempuh pemerintah
Jadi kalau mau mengatasi masalah kejahatan seksual, pemerintah tidak cukup hanya memperberat hukuman, efektifitasnya masih bisa dipertanyakan karena hanya menyentuh bagian hilir dari kejahatan itu sendiri, sedangkan bagian hulunya, asal muasalnya tak dibenahi. Tanpa ada rekayasa sosial, kejahatan seksual akan terulang, terulang kembali, sehingga memperpanjang daftar kejahatan seksual itu sendiri.
*) Penulis : Intoniswan, Wartawan Utama
Comments are closed.