BeritaKaltim.Co

Mengenai Kekejaman Politik

Haris Azhar -1Salam Perspektif Baru,

Tamu kita kali ini adalah orang yang sering mendapatkan intimidasi atau ancaman sehubungan tugasnya membantu para korban tindak kekerasan dan penghilangan secara paksa akibat penyalahgunaan kekuasaan. Dia adalah Bung Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS).

Menurut Haris Azhar, sekarang ada orang yang mengatakan korupsi ada dimana-mana, lalu mereka ingin balik ke zaman Orde Baru. Itu salah. Justru rahimnya korupsi sekarang adalah pada masa Orde Baru. Jadi orang-orang yang merampok pada hari ini adalah mereka sedang mempraktekkan cara merampok Orde Baru dengan satu pemikiran, “Kalau kita tidak merampok sekarang, kapan lagi? Kalau kesempatan ini tidak dilakukan kapan lagi?”

Haris Azhar mengatakan publik harus terus mengawasi negara, polisi, tentara, birokrasi, para pengusaha juga harus diawasi. Informasi-informasi tentang apa kelakuan mereka harus terus diangkat dan dipertanyakan. Jika publik tidak melakukan hal itu, dampak ke depannya adalah kita sedang berinvestasi menabung untuk membangun satu model otoriterisme baru. Anda bayangkan posisi hari ini dengan Soeharto pada 1970-an. Saat itu masyarakat tidak ada yang komplain, yang komplain hanya mahasiswa, maka ada peristiwa 1974 dan 1978. Masyarakat mulai kena dampak buruknya ketika tanahnya diambil, ketika orang protes sedikit langsung dituduh PKI, dan itu semua terakumulasi setelah 30 tahun. Apakah kita sekarang mau mengulangi itu? Jadi sekarang kita tidak boleh diam, ada sesuatu kesalahan pun, sesuatu yang aneh, kita mesti cari tahu ini apa.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan nara sumber Haris Azhar Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.

Tahun ini bangsa Indonesia memasuki 18 tahun era reformasi. Hasil reformasi adalah kita menikmati demokrasi dalam kehidupan bernegara seutuhnya. Negara demokrasi tentu saja adalah negara yang harus pro kepada Hak Azasi Manusia (HAM). Apakah saat ini kita di Indonesia sudah tidak ada lagi korban tindak kekerasan atau penculikan secara paksa?

Masih banyak. 18 tahun sudah lepas dari zaman Soeharto tetapi hari ini masih banyak yang rindu dengan Soeharto. Hari kedua pasca simposium 1965, beberapa purnawirawan tentara menyebarkan isu dan seolah-olah ada ancaman kebangkitan komunis. Tetapi dari dua minggu terakhir ini kita tidak tahu apa sebenarnya yang mereka maksud dengan komunis.

Mereka mengatakan petani tidak boleh kaya. Kalau petani kaya maka petani menjadi berbahaya karena bisa menguasai negara. Lalu muncul tuduhan kepada jurnalis yang dianggap berbahaya karena mewakili perspektif komunis. Kemudian ada pernyataan lagi dari para pendukung Orde Baru bahwa Soeharto digulingkan oleh komunis dan yang mengulingkan Soeharto salah satunya adalah mahasiswa. Jadi saya cuma ingin mengatakan jangan-jangan mereka sedang mengunakan label komunis kepada semua kelompok aktor yang sangat berperan dalam ruang demokrasi yang baru dibangun.

Lalu, apa tujuan mereka mengunakan label komunis itu?

Mereka sepertinya tersulut oleh simposium yang dibuat oleh kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk membicarakan sejarah Peristiwa 1965. Lalu, ada pembicaraan ingin membongkar kuburan masal, mengindenfikasi, membongkar, dan lain-lain. Mereka sepertinya panik. Intinya, mereka tidak mau legitimasi atau justifikasi yang mereka gunakan ketika berkuasa terbongkar. Peristiwa 1965 adalah peristiwa titik awal bagaimana praktek kekerasan politik diberlakukan oleh Orde Baru dan sisanya sampai hari ini masih dirasakan.

Membicarakan Peristiwa 1965 mungkin ada yang belum lahir dan mungkin banyak yang belum mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang terjadi pada peristiwa 1965, dan apa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi?

Peristiwa 1965 kita sebut sebagai pelanggaran HAM karena negara berperan membiarkan terjadi pelanggaran HAM terhadap warga sipil. Orang-orang yang mendukung Orde Baru beranggapan bahwa peristiwa 1965 adalah konflik organisasi agama dengan organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Konflik itu memang sudah ada sebelumnya antara PKI dan kelompok organisasi masyarakat yang lain.

Pada peristiwa 1965 negara terutama tentara terlibat langsung dan tidak langsung dengan memfasilitasi, melatih, dan mewadahi supaya kelompok organisasi agama menyerang anggota-angota PKI. Ada juga anggota PKI yang melakukan kekerasan tapi itu masuk katagorinya pidana, bukan pelanggaran HAM. Tapi saya punya prinsip apapun itu silakan dibuka saja semua dalam rangka untuk membangun kejelasan sejarah kita untuk ke depan.

Apa dampak pelanggaran HAM 1965 terhadap keadaan saat ini?

Ada beberapa dampak, satu, ada yang biasa kita sebut praktek pengekangan yang dilegitimasi dalam undang-undang, dipraktekkan di lapangan, serta menggunakan segala instrumen supaya segala pengekangan itu terjadi, seperti menggunakan militer bukan polisi ataupun aparatur sipil, juga melarang kebebasan politik, membuka kanal eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan begitu besar. Kita masih ingat bahwa Undang-Undang (UU) tentang Pertambangan muncul ketika Orde Baru mulai. Undang-undang terkait investasi itu dimunculkan oleh Orde Baru untuk kebutuhan, misalnya PT. Freeport dihadirkan di Papua. Nah itulah awalnya. Lalu praktek korupsi banyak.

Menjadi masyarakat minoritas merupakan neraka buat mereka di jaman Orde Baru. Terkadang diskriminasinya sampai double-double. Misalnya, dia keturunan Tionghoa dan beragama Kristen pula. Sudah selesai pasti akan mendapat diskriminasi. Kalau seperti saya, bukan Tionghoa tapi masih muslim sehingga agak aman. Tapi kalau sudah super minoritas seperti tadi maka dia sudah teralienasi dari berbagai sisi. Jadi catatan HAM buruk sekali. Lalu ada operasI-operasi militer. Di Aceh, Papua, Timor Leste. Bahkan Timor Leste, menurut PBB adalah Pendudukan. Korupsi merajalela. Itu praktek-praktek yang terjadi di masa Orde Baru.

Sekarang kita sudah memasuki era reformasi. Bagaimana dengan keadaan sekarang?

Keadaan sekarang adalah ada orang yang mengatakan korupsi ada dimana-mana, lalu mereka ingin balik ke zaman Orde Baru. Salah. Justru rahimnya korupsi sekarang adalah pada masa Orde Baru. Jadi orang-orang yang merampok pada hari ini adalah mereka sedang mempraktekkan cara merampok Orde Baru dengan satu pemikiran, “Kalau kita tidak merampok sekarang, kapan lagi? Kalau kesempatan ini tidak dilakukan kapan lagi?”

Bukankah sekarang sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi?

Ya, itu adalah salah satu usaha. Namun kehebatan Orde Baru adalah mereka sudah mengubah cara berpikir orang. Orang diarahkan sedemikian rupa menjadi berbudaya pragmatis. Tidak didorong untuk berpikir secara konseptual. Jadi adu kuat-kuatan. Nah itu yang terjadi dimana-mana.

Jadi bergitu masuk otonomi daerah, ada kekuasaaan di daerah-daerah yang saat ini tersebar di 400 daerah lebih, dan mereka mempraktekkan model-model kekuasaan itu. Kalau dulu Soeharto menjadikan media sangat terbatas agar dapat dikontrol. Hari ini banyak lembaga-lembaga konsultan laku karena mereka dipakai untuk menyatukan, mencari titik temu, atau bagaimana untuk mengontrol situasi yang bebas.

Hari ini media massa lumayan bebas meskipun jurnalisnya ada yang dipukul, diambil kameranya, dilarang meliput. Media online tumbuh pesat meskipun secara konglomerasi hanya dikuasai oleh beberapa orang. Adanya pertumbuhan pesat ini maka dibutuhkan lembaga yang bisa melihat apa gambaran keseluruhan. Jadi ada upaya untuk mensentralisasi lagi. Sebenarnya upaya itu beda dengan Orde Baru tapi idenya mirip. Nah orang-orang ini yang laku disewa oleh orang-orang yang gila kekuasaan di daerah. Orang yang mau menjadi bupati atau gubernur pasti menyewa lembaga-lembaga konsultan itu dalam rangka untuk mengontrol atau memenangi wacana.

Dengan adanya kekuasaan atau kontrol tersebut, apakah mereka menggunakannya untuk menyelewengkan hak-hak asasi?

Sangat. Misalnya, konsesi izin ditukar dengan rupiah, ditukar dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pengusaha. Sekarang banyak pengusaha-pengusaha di daerah bukan di Jakarta karena di sanalah tempatnya izin-izin. Sekarang kerusakan lingkungan dimana-mana karena adanya praktek pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang jumlahnya mencapai 400 setiap lima tahun.

Kedua, praktek-praktek tersebut mereka gunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Begitu diungkap oleh masyarakat dalam berbagai kelompok, masyarakatnya dibunuh, dihilangkan, ditangkap, atau dikriminalkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan terjadi dimana-mana. Jumlahnya mungkin dua ratus lebih di seluruh Indonesia.

Tadi sudah disinggung mengenai penyalahgunaan kekuasaan. Pola-pola penyalahgunaan kekuasaan pada era kini dikatakan meniru era Orde Baru. Apakah ketika mereka yang memiliki kekuasaan dan diusik oleh masyarakat melalui berbagai kelompok, apakah mereka juga memakai pola-pola seperti dulu untuk membungkamnya seperti melakukan penculikan?

Iya, banyak yang mirip. Suap terjadi dimana-mana dan makin menyebar. Kemudian juga terjadi pembunuhan. Misalnya, ada satu teman saya terbunuh di Ambon, yang dua bulan lalu peristiwa ini belum terekspose media. Dia adalah pengacara yang sudah sangat dikenal di Ambon. Dia belakangan sedang mendampingi kasus masyarakat adat di beberapa pulau di Maluku yang berhadapan dengan pengusaha-pengusaha lokal. Ada juga yang kasusnya untuk pihak militer di sana, dia benturan juga dengan polisi ketika mendampingi masyarakat adat. Dua bulan lalu dia ditemukan meninggal pada jam 02.00 pagi. Menurut polisi kecelakaan lalu lintas (Lakalantas). Namun kita sudah investigasi ternyata saksi dan bukti-bukti yang kita dapatkan menunjukkan bahwa dia bukan korban Lakalantas.

Ada juga yang ditangkap. Jadi ada beberapa aktivis di lapangan yang membela hak masyarakat atau bekerja untuk isu-isu agraria dan lingkungan hidup dituduh melakukan tindak pidana, dicari-cari kasusnya, seperti kasus Bambang Wijayanto dan Abraham Samad (Komisioner KPK – Red). Lalu ada lagi juga diamankan. Misalnya, beberapa jurnalis di Pulau Nias, Sumatera Utara berdemo karena listrik sudah tiga hari mati. Saat berdemo malah mereka dikenai pasal dan dibawa ke kantor polisi.

Kepentingan siapa sebenarnya yang terusik dalam kasus tersebut, seperti pengacara di Ambon sampai terbunuh?

Ini bukan mereka melawan sesuatu yang besar seperti Orde Baru dulu. Mereka melawan penguasa-penguasa lokal. Jadi biasanya yang menjadi topik adalah ketika berbenturan dengan praktik-praktik pembangunan yang sebetulnya menguntungkan sejumlah pebisnis dan politisi lokal.

Kedua, berbenturan dengan isu-isu kebebasan sipil, seperti kebebasan beragama. Jadi ada orang-orang yang dimobilisir untuk melakukan kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas tertentu, baik minoritas agama, adat, dan lainnya karena itu proyek. Jadi untuk konsolidasi kekuatan politik lokal.

Jika dikatakan, “Ayo kita tolak izin tambang di sini.” Ada yang setuju dan ada yang tidak. Namun kalau di daerah itu ada yang mengatakan kalimat seperti ini, “Ayo kita tolak Ahmadiyah.” Semua menjadi satu. Jadi ini alat untuk konsolidasi politik kelompok tertentu. Begitu menjadi satu maka bisa dipakai untuk datang ke perusahaan minta duit atau bisa dipakai untuk Pemilukada. Jadi konsolidasi-konsolidasi itu bisa diorientasikan lebih jauh.

Comments are closed.