JAKARTA, BERITAKALTIM.co- Basuki Tjahaya Purnama sudah memulai tugasnya di Balai Kota DKI Jakarta sejak Senin (13/2/2017) pagi ini. Sebelum sampai ke ruang kerjanya ia sudah dihadang sejumlah warga yang mengadukan aneka permasalahan. Tradisi ini sudah berlangsung lama sejak ia menjadi Gubernur. Tapi, soal pengaktifan kembali Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta masih panas dibahas para pakar hukum.
Salah satu yang menyoal adalah pakar Tata Negara hukum Mahfud MD. Ia meminta pemerintah mengeluarkan Perppu untuk melegitimasi pengaktifan Ahok sehingga Gubernur Jakarta yang sedang di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas tuduhan penistaan agama itu tidak perlu diberhentikan sementara.
Ujung pangkal silang sengketa pendapat itu bermula dari adanya ketidakjelasan perumusan dalam Pasal 83 ayat (1) UU Pemda. Pasal itu mengatur kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden karena, salah satunya, melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. Di sisi lain, Ahok didakwa dengan dua pasal yaitu Pasal 156 KUHP dengan ancaman maksimal empat tahun penjara atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.
“Perihal kepastian hukum apakah salah satu dakwaan alternatif dapat digunakan sebagai dasar pemberhentian sementara Ahok, maka sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan (AP), Presiden sebagai pejabat administrasi pemerintahan mempunyai wewenang diskresi yaitu memilih salah satu dari dua pilihan kebijakan yaitu memberhentikan sementara atau tidak memberhentikan sementara Ahok,” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono.
Hal itu disampaikan di sela-sela acara ‘Study for the Amandement to the Law’ di Osaka, Jepang, Senin (13/2/2017). Acara itu diikuti perwakilan Kemenkum HAM dan para ahli hukum serta peneliti dari Indonesia.
“Jika akhirnya saat ini Presiden memilih untuk tidak memberhentikan sementara Ahok dengan pertimbangan ketidakjelasan norma Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, hal itu merupakan suatu pilihan diskresi yang harus dihormati karena dijamin oleh UU,” ujar Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Menurut Bayu, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2004 tentang Pemda, sebenarnya mudah diterapkan ketika dakwaan jaksa terhadap terdakwa adalah dakwaan tunggal. Dalam dakwaan tunggal terhadap terdakwa yang melakukan satu perbuatan pidana surat dakwaan hanya berisi satu dakwaan saja.
“Dalam kasus dakwaan jaksa terhadap Ahok, pada dasarnya merupakan bentuk dakwaan alternatif yaitu perbuatannya satu namun dibuatkan beberapa dakwaan, di mana dalam dakwaan alternatif ini masing-masing dakwaan bersifat saling mengecualikan yang ditandai dengan kata sambung ‘atau’,” papar Bayu.
Dalam kaitannya dengan pemberhentian sementara bagi kepala daerah yang diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, maka konsekuensi digunakannya dakwaan alternatif dalam kasus Ahok pada akhirnya menimbulkan permasalahan yaitu apakah bisa Presiden bisa melakukan pemberhentian sementara dengan mendasarkan pada ancaman hukuman dari salah satu dakwaan dalam dakwaan alternatif. Meskipun ada ahli hukum berpendapat bahwa dalam dakwaan alternatif sesungguhnya sudah mengandung kepastian dakwaan yaitu kedua dakwaan sama-sama didakwakan di mana nantinya hakim yang akan memilih salah satu dakwaan yang didakwakan menurut keyakinannya.
“Namun itu hanyalah pendapat hukum yang tidak tercantum secara tegas dalam Pasal 83 ayat (1) UU Pemda,” cetus Bayu.
Menurut Bayu, permasalahan ketidakjelasan rumusan Pasal 83 ayat 1 itu akibat kelalaian pembentuk UU Pemda perihal dapat atau tidaknya digunakannya salah satu dakwaan alternatif sebagai dasar pemberhentian sementara ini.
“Selain ketidakjelasan itu, secara khusus juga ditujukan hanya kepada kepala daerah yang melakukan tindak pidana berat dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun. Sementara faktanya dalam persidangan Ahok ternyata Ahok didakwa dengan pasal 156 atau 156a KUHP yang ancaman pidananya bukan termasuk pidana berat karena ancaman hukumannya paling lama 5 tahun,” papar Bayu.
Sebelumnya, Refly Harun menyatakan lebih tegas yaitu tidak ada alasan untuk memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Sebab Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan Pasal 156 a yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.
“Berdasarkan ‘5 tahun’ tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan,” jelasnya.
Adapun Mahfud MD sebelumnya menyebut Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Perppu jika tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal itu dikarenakan ada pasal yang mewajibkan kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan ancaman di atas lima tahun bui harus dinonaktifkan.
“Menurut Undang-undang, Pasal 83 ayat 1 jelas seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Nggak ada pasal lain yang bisa menafikan itu. Kalau memang Ahok ini dipertahankan juga ya cabut dulu pasal itu agar tidak melanggar hukum. Presiden boleh mencabut pasal itu dengan perppu, dengan hak subjektifnya,” ujar Mahfud MD. #
Comments are closed.