Salam Perspektif Baru,
Tamu kita kali ini bisa kita sebut sebagai orang yang sayang terhadap Indonesia, yaitu Gita Syahrani, seorang aktivis, ilmiawan, dan komunikator. Kita membicarakan mengenai kondisi negara kita karena Indonesia tidak terjadi begitu saja dan juga tidak akan bertahan begitu saja.
Menurut Gita, kita harus sama-sama mengingatkan kembali tujuan besarnya adalah Indonesia. Tujuan besarnya adalah kita ingin mempunyai negara dimana semua orang merasa aman dan tidak takut. Kita memang sudah harus mulai memfokuskan energi ke hal-hal yang semua orang bisa merayakan bersama.
Mungkin ada orang-orang yang tujuannya bukan untuk Indonesia tapi untuk golongan tertentu, dan jangan sampai kita terpengaruh dengan hal tersebut. Menurut saya, prioritas orang-orang itu bukanlah untuk kembali lagi ke situasi atau mempertahankan situasi yang sekarang ini.
Kadang-kadang kita lupa dan menganggap bahwa mayoritas masih lebih banyak, padahal kita tidak tahu nantinya akan menjadi seperti apa. Jadi mungkin mereka yang silent itulah yang harus mulai dicolek-colek. Saya ambil contoh teman-teman yang selama ini berbicara dengan kita melalui chatting, dia sangat semangat membela Indonesia tapi dia tidak berani menyuarakan itu.
Berikut wawancara Perspektif Baru antara Wimar Witoelar sebagai pewawancara dengan nara sumber Gita Syahrani. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.
=
Sekarang yang menjadi perhatian kami adalah Indonesia berada pada titik paling rawan dari segi kestabilan keamanan masyarakat, idiologi, dan pengertian dasar negara sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998. Mungkin termasuk yang paling gawat sejak kemerdekaan sebab hanya di waktu kemerdekaan masih ada debat soal syariat Islam dan Pancasila, serta antara pluralisme dan intoleransi.
Sekarang muncul lagi padahal di tengah-tengah masa dimana pembangunan Indonesia banyak mencapai titik maju. Saya sering keliling bertemu bermacam-macam orang yang banyak sependapat bahwa kita harus berjuang melawan intoleransi dan pemecah belahan, dimana setiap orang mempunyai pendekatan sendiri.
Bagaimana pandangan Gita tentang keadaan kita sekarang setelah proses pengadilan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan apa langkah ke depannya?
Dari perspektif saya dengan melihat apa yang terjadi, terutama melihat teman-teman yang juga turun ke jalan setelah adanya keputusan untuk Ahok dan ramai di sosial media, saya tentu mengakui juga dia tokoh yang sangat besar dan banyak membawa perubahan. Mungkin sekarang saatnya kita ambil langkah mundur sedikit dan melihat bahwa ini lebih besar dari tentang seorang Ahok.
Gita mengatakan bahwa dia juga sama dengan yang lain, yaitu sangat mengagumi Ahok dan sangat kehilangan seorang Gubernur yang baik. Namun dia yakin masalah ini lebih besar daripada seorang Ahok. Bagaimana maksudnya, apakah bisa dijelaskan?
Di satu sisi betul masalahnya memang lebih besar dari seorang Ahok, tapi saya juga melihat justru ini adalah peluang untuk orang Indonesia yang sayang dengan Indonesia untuk bersatu dan bersama-sama. Kita bisa melihat contoh nyata dari kejadian tentang Ahok saat ini. Yang tidak diduga adalah mungkin tadinya semua orang cuek dengan urusan masing-masing, semua orang bilang saya sibuk tapi ternyata kalau memang ada keinginan untuk bersatu maka itu bisa.
Saya lebih melihatnya bagaimana kita bisa menyalurkan energi dan kebersamaan dengan memegang komitmen, misalnya, rela ke Balai Kota pukul 05.30. Itu kita arahkan ke sesuatu yang tidak berhenti hanya tentang Ahok saja. Saya melihat bahwa Ahok sebetulnya adalah suatu simbol dari hal-hal yang memang selama ini sudah terjadi, tapi kita tidak menyadarinya karena mungkin tokohnya kurang di angkat.
Satu contoh adalah tentang penodaan agama. Kita melihat sebenarnya sudah banyak orang yang membicarakan pasal “karet” tersebut di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari zaman Gus Dur dulu. Bahkan Gus Dur berusaha untuk mencabut pasal tersebut tapi tidak pernah di-blow up dan tidak pernah ada yang sadar. Begitu ini terjadi pada seorang tokoh yang dicintai oleh banyak orang ternyata itu langsung naik lagi.
Iya, dulu kebhinekaan dan pluralisme dianggap sebagai istilah-istilah dalam buku atau istilah orang pintar. Namun sekarang orang melihat bahwa ini akan menyangkut banyak orang kalau intoleransi dan pemecah belahan dibiarkan berlangsung. Sebetulnya penderitaan ini banyak mempertemukan orang, kita menjadi “bring us closer together” sampai saat ini. Bagaimana supaya ke depannya itu menjadi sesuatu yang berguna?
Kalau dari pandangan saya memang yang pertama adalah jangan berhenti di satu tokoh saja. Memang betul Ahok adalah sebuah simbol, tapi apa yang kemudian kita inginkan untuk Indonesia. Tentu kita tidak menginginkan teman-teman kita yang sehari-hari main bersama kita hidup dalam ketakutan. Kita lihat saja circle yang paling kecil, yaitu tetangga, teman sehari-hari main bersama, teman yang kita ajak selfie, ngopi bareng, dan sebagainya, bisa jadi mereka itulah yang sebetulnya menjadi target yang kemudian akan dipaksa untuk hidup dalam ketakutan di Indonesia nantinya.
Betul, kita lihat sewaktu peristiwa Mei 1998 banyak teman-teman yang suatu ketika tidak ada dan tahu-tahu menghilang. Kalau seperti itu sangat sedih sekali, padahal mereka adalah teman-teman kita, bahkan yang dekat dengan kita.
Iya betul sekali. Saya mengalaminya langsung. Selama ini banyak sekali teman-teman yang baik, kebetulan memang saya banyak dikelilingi oleh orang baik dalam arti setiap kali kita mempunyai keinginan untuk membuat sesuatu untuk Indonesia selalu ada dukungan. Akhirnya circle-nya membesar dan membesar, baik itu tentang lingkungan atau akses terhadap bantuan hukum. Apapun itu di Indonesia ini kalau niatnya baik, orang pasti selalu mau untuk mendukung.
Saya mengalami sendiri dimana banyak sekali teman yang mendukung gerakan positif ini. Mereka putus asa dan betul-betul brokedown dan depresi karena mereka mengatakan, “Gila, saya berjuang untuk negara tapi kok saya malah diusir dari negara ini dan saya tidak diinginkan.” Itu terjadi kepada orang-orang dengan kedekatan emosi yang sangat nyata. Karena itu kita tidak bisa melihatnya hanya berhenti pada kasus Ahok atau menuntut untuk keadilan ditegakkan, tapi kita harus saling menjaga satu sama lain.
Ahok memang peristiwa sangat menyedihkan dan besar, tapi dia sudah dikalahkan dan sudah dipenjara dua tahun, tidak ada gunanya juga meminta dia dikeluarkan. Jadi orang akan merasa apalagi yang akan diperjuangkan, tidak mungkin hal itu menjadi lebih jelek “Things can’t be worst, but it’s that really true”. Apa yang bisa menjadi lebih jelek ?
Banyak sekali yang bisa menjadi lebih jelek. Kalau kita tidak melihat kesempatan dari yang sekarang ini ada dan situasinya tidak akan bisa membaik.
Yang paling gampang karena kita akan menghadapi Pemilu sebentar lagi adalah kalau kita sampai dihadapkan kepada situasi dimana kita harus memilih menjatuhkan atau tidak presiden kita. Apakah bisa dibayangkan situasi negara kita nanti dan ini tinggal dua tahun lagi. Pasti akan kacau seperti tahun-tahun dulu yang sering saya alami.
Dulu sewaktu peristiwa 1998 saya masih kecil, mungkin masih SMP, tapi saya masih ingat sekali bagaimana kekacauannya, bagaimana teman-teman saya dipaksa harus keluar Indonesia, dan bagaimana Ibu saya tidak bisa pulang dari Jakarta. Padahal kita bukan target waktu itu, dan bukan minoritas. Kita adalah mayoritas, tapi mayoritas juga terancam. Bagaimana teman-teman saya yang punya usaha secara tiba-tiba dijarah tokonya, padahal mereka sama-sama orang Indonesia.
Ketidakstabilan seperti itu mungkin sekali terjadi kalau kita terlalu fokus pada perbedaan, padahal persamaannya banyak sekali. Contoh lainnya adalah mungkin saya membela Ahok dan Anda tidak, tapi kita sama-sama makan nasi, kita sama-sama ingin ambil selfie kalau melihat laut bagus.
Betul, banyak sekali persamaan.
Iya, kenapa tidak disalurkan energi yang hanya membuat capek itu ke hal-hal yang lebih baik. Setiap hari update status di facebook marah-marah padahal itu membuat lelah. Kenapa kita tidak mencari cara dimana kita bisa saling menghargai orang lain untuk melihat ternyata persamaannya lebih banyak.
Bagaimana kalau kita menghargai, tapi orang-orang yang di sana tidak menghargai?
Kita memang harus mulai pelan-pelan. Analogi saya adalah misalnya kita melihat ada kubu yang berseberangan, ada posisi yang positif, negatif, dan netral, mungkin di awal tidak usah terlalu memaksa dan langsung membenturkan yang negatif. Kita seharusnya bicara baik-baik dengan teman-teman yang bersikap netral tapi mereka belum bersuara. Mungkin itu karena mereka nyaman dengan kenetralannya, atau mereka belum sadar kalau ini dibiarkan bisa menjadi lebih parah.
Saya yakin banyak sekali dan sudah terbukti sewaktu prosesi lilin untuk Ahok, dan sebelumnya kita sempat membuat pawai kebhinekaan. Jadi banyak orang yang sebetulnya peduli tapi mungkin masih bingung saja harus apa, mau dukung kemana, dan mengingatkan siapa bahwa kita tidak usah lagi pusing mengenai perbedaan, kita balik lagi saja bahwa kita semua adalah sama-sama Indonesia.
Tekankan persamaan dan perkecil perasaan perbedaan. Kemarin cukup tegang perlawanan antara kubu satu dan kubu satunya lagi. Sekarang di kubu yang kalah menunjukkan sikap bagus juga untuk menyalurkan solidaritasnya dalam bunga-bunga dan lilin, tidak banyak kebencian. Namun di kubu yang menang ada yang masih benci dan marah-marah mengkritik. Ada juga orang yang dulunya memecah belah terus sekarang mengajak rekonsiliasi. Bagaimana reaksi Gita terhadap hal-hal seperti itu?
Mungkin harus diingat apa tujuan besarnya. Kalau tujuan besarnya adalah menyelamatkan Indonesia seharusnya hal-hal seperti itu tidak menjadi halangan. Pasti ada sakit hati, pasti ada keinginan membalas dendam terhadap orang-orang yang pernah menyakiti, tapi mungkin kalau kita melihat tindakan seperti itu malah akan memperparah situasi.
Ibu menasihati saya, “Sebelum kamu berbicara apapun, posting apapun, coba dihitung sampai 10, setelah hitungan ke 10 kalau kamu masih mau melakukannya silakan, tapi kalau tidak maka ditahan dulu.”
Kita harus sama-sama mengingatkan kembali tujuan besarnya adalah Indonesia, tujuan besarnya adalah kita ingin mempunyai negara dimana semua orang merasa aman dan tidak takut. Mungkin juga dengan cara fokus kepada hal-hal dimana orang mempersatukan orang yaitu sepak bola.
Selain sepak bola, mie instan, dan traveling masih banyak hal-hal yang sebenarnya bisa membuat semua orang akan otomatis bangga terhadap Indonesia. Misalnya kemarin ada berita bagus bahwa salah satu obyek wisata Indonesia masuk ke dalam list diakui oleh internasional, everybody is happy. Kita memang sudah harus mulai memfokuskan energi ke hal-hal yang semua orang bisa merayakan bersama.
Tapi ada yang menganggap bahwa “Indonesia pasti ada, sebelum saya lahir dan sampai nanti juga akan ada. Kekacauan sekarang mungkin hanya kekacauan Pemilu Jakarta, Indonesianya aman dan tidak usah dibesar-besarkan.” Bagaimana menurut Gita dan dalam hal apa Indonesia bisa menjadi tidak aman?
Hal itu balik lagi kepada orangnya masing-masing. Saya adalah salah satu generasi yang juga tidak terlalu paham dengan apa yang terjadi zaman 1998 dan 1965, dan susahnya perjuangan teman-teman yang bisa membuat kita sekarang hidup sangat nyaman. Saya orang yang bergerak, tadinya sempat di swasta, sekarang masuk di lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Saya merasa hidup nyaman-nyaman saja dan tidak ada ketakutan. Tapi ternyata sebelum semua terjadi seperti ini, dulu kebebasan berpendapat, kebebasan kita untuk berkumpul, membuat gerakan ternyata sesuatu yang sangat susah, sesuatu yang meraihnya saja harus berjuang mati-matian. Cerita-cerita seperti ini mungkin harus diceritakan kembali. Sekarang ada gerakan #menolaklupa yaitu mengangkat cerita apa yang sempat terjadi sampai orang bisa membayangkan, “Gila kalau kita biarkan saja, maka bisa terjadi seperti ini lagi atau bisa lebih parah.”
Kalau orang tidak rajin melihat di waktu lain dan di tempat lain mungkin dia juga tidak tahu bahwa misalnya Yugoslavia tadinya satu negara dan sekarang menjadi Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dan sebagainya.
Yang paling dekat misalnya Syria. Saya baru melihat dokumenter yang sangat membuat saya ngeri. Dulu mereka sama seperti kita, sudah ada gedungnya, sudah modern, sudah ada transportasi yang jalan, dan orang ke sekolah. It’s very normal.
Afganistan saja dulu modis dan it’s very beautifull.
Iya bagus sekali, tetapi tiba-tiba dalam hitungan bulan bisa hancur.
Menurut Gita, mengapa bisa ada orang yang sampai hati melakukan itu dan apakah di Indonesia ada orang yang seperti itu?
Saya ingin percayanya tidak ada, tetapi mungkin ada orang-orang yang tujuannya bukan untuk Indonesia tapi untuk golongan tertentu, dan jangan sampai kita terpengaruh dengan hal tersebut. Menurut saya, prioritas orang-orang itu bukanlah untuk kembali lagi ke situasi atau mempertahankan situasi yang sekarang ini.
Mungkin mereka merasa tidak kebagian hidup yang enak itu.
Mungkin itu yang membuat mereka lebih mengejar kemenangan. Memang tidak bisa semuanya positif-positif terus, dan dari sisi pemerintah juga tidak salah.
Tidak ada salahnya kalau kita tetap mengkritisi yang saat ini seharusnya diperbaiki, misalnya kesenjangan. Kemarin property indeks Indonesia keluar dan ternyata jauh sekali di tempat-tempat tertentu, hal-hal seperti itulah yang harus disuarakan. Contoh lain yang harus disuarakan adalah petani belum bisa mendapat akses kepada lahan, masyarakat adat betul-betul belum diakui dan dilindungi di negara ini, dan sebagainya.
Masih banyak sekali yang bisa diangkat, tapi mengkritisi bukan berarti menghancurkan. Kepercayaan tetap harus ada bahwa kita di sini untuk mengingatkan pemerintah, tapi kita harus tetap memberikan effort atau tenaga untuk bersama-sama membuat ini lebih baik.
Ada partai yang mengkhususkan kaum muda, ada partai yang mengkhususkan orang Islam, ada perhimpunan yang mengkhususkan orang Batak karena mereka bilang Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, tapi bukan itu maksudnya. Manakah yang menurut Gita kelompok yang menjadi sasaran untuk diajak berpikir bersama atau berkampanye?
Kalau saya boleh memilih, sebetulnya kelompok yang menjadi sasaran adalah kelompok yang saat ini diam.
Silent majority.
Hopefully it’s still majority. Kadang-kadang kita lupa dan menganggap bahwa mayoritas masih lebih banyak, padahal kita tidak tahu nantinya akan menjadi seperti apa. Jadi mungkin mereka yang silent itulah yang harus mulai dicolek-colek. Saya ambil contoh teman-teman yang selama ini berbicara dengan kita melalui chatting, dia sangat semangat membela Indonesia tapi dia tidak berani menyuarakan itu.
Paling tidak pada saat ada Pemilu atau Pilkada maka kita harus memilih. Mungkin juga ada yang kemarin tidak milih karena sibuk dengan acaranya sendiri.
Betul, mungkin hanya 70% lebih yang memilih. Banyak sekali yang pada saat Pilkada Jakarta tidak ada di tempat, bahkan ada yang benar-benar pergi karena mereka takut menjadi sasaran.
Masih mending takut, tapi yang tidak peduli juga ada.
Iya betul. Saya ingat kata-kata dari teman saya yang menurut saya sangat powefull, yaitu pada saat orang mengatakan “I don’t have a political stand, I’m neutral, saya akan jadi Golput saja.” Menurut saya, golput itu adalah political stand.
Pada saat dia netral, pada saat dia tidak mau berpihak maka itu adalah mengambil sikap yaitu mengambil sikap bahwa dia tidak peduli.
Betul, partai tidak peduli mungkin paling besar suaranya.
Iya, dan bagaimana caranya kita membangkitkan kepedulian itu lagi.
Jadi sebetulnya tema perbincangan kita adalah menggoncangkan masing-masing yaitu saling menggoncangkan untuk keluar dari ketidakpedulian.
Betul sekali, dan itu bisa dari macam-macam sisi. Kita tidak perlu terlalu berkutat dengan kenegaraan, atau harus ilmiah. Kalau mereka tertarik dengan traveling, mereka bisa melakukan hal-hal yang membangkitkan semangat melalui travelling. Misalnya, memberikan motivasi kepada teman-teman kalau mereka tidak melakukan apa-apa maka mereka tidak akan bisa travelling lagi.
Banyak sekali sebenarnya entry point yang bisa balik lagi mengingatkan bahwa kita itu banyak persamaannya.
—oo000oo—
CATATAN
Yayasan Perspektif Baru bekerjasama dengan Yayasan Konrad Adenauer memproduksi program PERSPEKTIF BARU, dimuat sebagai sindikasi empat koran se-Indonesia, yaitu Duta Masyarakat Surabaya, Harian Jogja, B Magazine dan Harian Pagi Siwalima. rimanews.com, majalah online.
Naskah ini merupakan transkrip wawancara radio yang disiarkan sindikasi ratusan stasion radio melalui Jaringan Radio KBR 68 H, Jaringan Radio Antero NAD, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Metro RGM Purwokerto, Global FM Bali, Lesitta FM Bengkulu, Maya Pesona FM Mataram, Pahla Budi Sakti Serang, Poliyama FM Gorontalo, BQ 99 FM Balikpapan, Gita Lestari Bitung, Dino FM Samarinda, Genius FM Pare-Pare, Civica FM Gorontalo, Shallom FM Tobelo Maluku Utara, Marss FM Garut, Sangkakala FM Banjarmasin, M83 FM Kutai Kartanegara, RPFM Kebumen, BFM Bangka Belitung, Sehati FM Bengkulu, , BPKB FM Gorontalo, Suara Pangaba Balikpapan, RDP Kutim,Citra FM, Hulontalo FM, Suara Celebes FM.
PERSPEKTIF BARU ONLINE : www.perspektifbaru.com
E-mail : yayasan@perspektifbaru.com
Hak cipta pada Yayasan Perspektif Baru, faks. (021) 722-9994, telp. (021) 727-90028 (hunting)
Comments are closed.