JAKARTA, beritakaltim.co- Awalnya banyak yang percaya kalau Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, adalah korban politik. Dia dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar tidak bisa maju di Pilgub Kaltim. Tapi, fakta hukum di pengadilan justru membuka tabir; suap merajalela di Pemkab Kukar. Ironisnya, yang mengungkap justru para stafnya sendiri.
Setiap kali sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, selalu ada kejutan dari saksi-saksi yang umumnya adalah staf ASN (aparatur sipil negara) di bawah kendali Rita.
Seperti yang terjadi pada sidang ke-4, Rabu (14/3/2018), yang menghadirkan saksi Marli, Sekretaris Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara (Sekda Kukar). Kepada majelis hakim Marli mengaku mendengar soal tim 11 yang meminta fee 10 persen dari proyek-proyek di Kukar. Tim 11 disebut sebagai tim sukses Bupati Kukar nonatif Rita Widyasari saat pilkada.
“Informasi dari rekanan bahwa, mendapatkan proyek tersebut harus memberikan dana 10 persen dari nilai kontrak dan diatur oleh tim 11 di antaranya Junaidi,” kata Marli saat membacakan BAP miliknya pada sidang Rita dan Khairudin di Pengadilan Tipikor.
Rita Widyasari didakwa menerima uang gratifikasi Rp 469.465.440.000, terkait perizinan proyek pada dinas Pemkab Kukar. Gratifikasi itu diterima melalui Komisaris PT Media Bangun Bersama Khairudin, yang juga anggota Tim 11 pemenangan Bupati Rita. Bupati perempuan itu juga didakwa menerima uang suap Rp 6 miliar terkait pemberian izin lokasi perkebunan sawit. Uang suap itu diterima dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun.
Pada sidang dengan saksi Marli, hakim meminta Sekda Kukar itu membaca BAP yang dibuatnya saat dipenyidik KPK. Dia menyatakan proyek yang diminta 10 persen itu hanya proyek yang nilainya di atas Rp 200 juta.
“Dikarenakan proyek di setda (sekretariat daerah) nilainya kecil maka tidak pernah ada permintaan oleh tim 11 atau Junaidi,” ucap Marli melanjutkan membaca BAP.
Hakim menanyakan bagaimana Marli mengetahui soal permintaan 10 persen tersebut. Menurut Marli, ia hanya mendengar isu soal permintaan 10 persen itu.
“Memang benar yang saudara bacakan keteranganmu di penyidik?” tanya hakim.
“Pada waktu saya ditanya kaitan dana 10 persen ini informasi yang santer beredar di masyarakat oleh penyidik menanyakan pada saya dan menuliskan ini. Isu-isu di luar seperti ini,” ucap Marli.
Hakim mengaku heran kenapa seorang Sekda hanya mendengar isu permintaan fee 10 persen tersebut dan tidak mengecek kebenarannya. Hakim menyatakan harusnya Marli mengecek kebenaran informasi itu.
“Apa logis seorang Sekda mendengar isu-isu? Yang anda bilang lagi salat, sekitar masjid, musala. Kalau anda dengar kenapa nggak tanyakan pastikan benar nggak. Pertanyaan jadi seperti itu, kalau itu nggak benar kamu bisa laporkan,” ujar hakim.
Berikutnya, Marli kembali diminta hakim membacakan BAP miliknya. Dalam BAP itu, Marli menjelaskan adanya pengaturan soal pemenang lelang proyek di Dinas Kominfo dan Dinas Perindag Kukar oleh Junaidi yang merupakan anggota tim 11.
“Sebetulnya pemenang lelang dan penunjukan langsung sudah diatur oleh Junaidi/ULP,” ucap Marli.
Marli juga mengungkapkan estimasi dari seluruh permintaan 10 persen dari tiap proyek di Kukar sekitar Rp 7 miliar dari proyek tahun 2010 hingga 2016. Uang itu disebutnya diserahkan kepada Rita lewat Junaidi.
“Estimasi perhitungan jumlah dana yang diserahkan oleh rekanan kepada Rita Widyasari melalui Junaidi sesuai dengan data pengadaan sekitar Rp 7.064.185.922,” ucap Marli membacakan BAP miliknya.
ADA ABUN DI RUMAH PRIBADI RITA
Pejabat lain yang dipanggil KPK sebagai saksi adalah Ismed Ade Baramuli, Kepala Bagian Administrasi Pertanahan pada Setda Kabupaten Kukar. Dengan blak-blakan dia menyebut Rita menerima kantong merah setelah menandatangani izin perkebunan kelapa sawit untuk PT Sawit Golden Prima (SGP). Kantong itu diberikan oleh Dirut PT SGP Hery Susanto Gun alias Abun.
Awalnya, hakim bertanya kepada Ade Baramuli apakah Rita pernah meminta agar proses penerbitan izin untuk PT SGP dipercepat. Menurut Ismed, Rita pernah meminta hal itu dan ia membawa draf izin perkebunan sawit untuk PT SGP langsung ke Rita untuk ditandatangani.
“Bu Bupati bilang, kalau sudah selesai, bawa ke rumah untuk ditandatangani. Saya proses, begitu selesai, saya langsung bawa ke beliau. Sebenarnya, mestinya harus ada paraf dari atasan saya, yaitu Pak Asisten dan Sekretaris Daerah. Namun, karena mendesak dan diperintahkan beliau, draf itu saya bawa langsung,” kata Ismed kepada majelis hakim.
Ismed, yang saat itu menjabat Kepala Bagian Administrasi Pertanahan Sekretaris Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, mengaku membawa draf tersebut ke rumah pribadi Rita pada malam hari. Saat itu ada Abun dan Timotheus Mangintung.
“Saat itu saya kerjakan sore dan malamnya bawa ke kediaman pribadi beliau. Di situ sudah ada Pak Hery Susanto Hun dan Pak Timotheus Mangintung,” ucapnya.
“Tanggal berapa itu?” tanya hakim.
“Saya lupa pastinya,” jawab Ismed.
Hakim mengingatkan, peristiwa itu terjadi pada 30 Juni 2010. Setelah draf ditandatangani, Ismed mengaku melihat Abun menyerahkan kantong kecil berwarna merah kepada Rita.
“Setelah saya serahkan, ada lihat ada bungkusan yang diserahkan Pak Hery Susanto Gun kepada Bu Rita, tapi saya nggak tahu apa, kalau nggak salah (warnanya) merah,” ujar Ismed.
“Bungkusan atau kantong kecil?” tanya hakim.
“Kantong, diserahkan Pak Hery Susanto Gun ke Bupati,” ucap Ismed.
“Anda mendengar apa yang dikatakan? Tahu apa isinya?” tanya hakim.
“‘Ini untuk Ibu.’ Saya nggak tahu isinya,” ujar Ismed.
Hakim juga bertanya kepada Ismed, apakah pernah diberi sesuatu oleh Abun. Menurut Ismed, dia hanya pernah dijanjikan untuk diberangkatkan umrah oleh Abun, namun ditolaknya.
Hakim kemudian bertanya soal batasan izin perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, ada aturan yang membatasi kebun sawit hanya seluas 15 ribu hektare, namun yang diberikan dalam izin PT SGP seluas 16 ribu hektare.
“Batasannya 15 ribu. Namun, karena waktu itu saya alpa, saya lupa. Tapi ditulis 16 ribu,” ucap Ismed.
Berikutnya, saat giliran jaksa bertanya, Ismed menyatakan kantong merah kecil itu berisi barang berharga. Ia menduga isinya adalah perhiasan.
“Itu kantong kecil merah Anda duga isinya apa?” tanya jaksa.
“Mungkin perhiasan atau apa, saya nggak tahu,” ujar Ismed.
RITA KASIH IZIN KE ABUN
Majelis hakim Tipikor juga menghadirkan Nafsiah, Dirut PT Madu Indah Sejahtera (MIS) sebagai saksi. Nafsiah mengaku perusahaannya tidak diterbitkan izin untuk kebun sawit di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Padahal, ia merasa sudah mengurus persyaratan yang diperlukan.
“Ini kalau kajian teknis ini ada syarat khusus sehingga keluar itu izin atau seluruhnya dari BPN?” tanya hakim.
“Nggak tahu. Setelah terbit izin PT Golden saya juga nanya, bilang saya PT Golden ini semuanya sama nggak dengan saya, tidak perlu bilangnya. Salah satu yang jelaskan itu pak, Pj Bupati Kukar sekarang, saya sempat tanya sama beliau. Pak ada aturan tidak sementara saya ada sekian-sekian untuk rekomendasi, tidak perlu dibilangnya. Bukan aturan ibu itu yang dipakai, ini terserah dibilangnya bupati nerbitkan siapa tidak harus pakai aturan itu,” ujar Nafsiah.
Hafsiah mengaku diberi uang pengganti oleh Abun. Hal itu terjadi setelah dia melayangkan surat. “Ibu harus datang ke sini (kantor PT SGP) akan digaji 1 bulan Rp 15 juta. Saya ngomong apa adanya, 6 bulan setelah itu saya datang, ternyata tidak juga. Sementara permohonan saya kembalikan biaya pengeluaran saya awal. Bapak tiba-tiba terbit izin begitu. Waktu itu kalau tidak salah ada Rp 10 juta, 6 bulan baru diambil,” ujar Nafsiah.
Nafsiah mengaku menghabiskan biaya Rp 3 miliar saat perusahaannya ingin mendapat izin perkebunan sawit. Biaya itu disebutnya untuk transportasi dan operasional dirinya sendiri saat harus pulang pergi mengurus izin sejak tahun 2008.
Dia menyebut uang Rp 10 juta itu diberikan Abun tiap bulan selama 1 tahun. Total ada sekitar Rp 100 juta yang didapatnya.
“Itu obat supaya ibu nggak stres?” tanya hakim.
“Iya. Dia bilang, ibu sebenarnya permohonan saya kembalikan pengeluaran pribadi saya. Bukan uang dari orang lain, saya berkorban sampai meninggal kakak saya, karena takut saya meninggal juga karena siang malam menangis setelah mendengar izin PT Golden (PT SGP) terbit. Seenaknya, sementara yang menyelesaikan tapal batas saya semua kok bisa terbit PT Golden,” ujar Nafsiah.
Hakim mempertanyakan apa maksud Abun memberi uang ke Nafsiah. Namun, Nafsiah mengaku tidak tahu apa maksud Abun.
“Nggak tahu saya, mungkin keuntungan karena dia terbit itu kali,” ucapnya. #LE
Comments are closed.