BeritaKaltim.Co

Inilah Politik, Sofyan-Rizal tak Sungkan Menemui Terdakwa Korupsi Rita Widyasari

Pilgub Kaltim 2018

JAKARTA, beritakaltim.co- Ada-ada saja cara yang dilakukan calon gubernur dan wakilnya untuk menaikkan elektoral. Umumnya dengan cara mendatangi tokoh agama, tokoh masyarakat sampai kesultanan, tapi ada juga yang tak sungkan memohon restu dari terdakwa koruptor.

Begitulah yang dilakukan pasangan calon (Paslon) Sofyan Hasdam-Rizal Effendi. Rabu, 21 Maret 2018 lalu Paslon nomor urut 1 ini mendatangi Rita Widyasari, Bupati Kukar yang kini jadi pesakitan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.

Pertemuan Sofyan-Rizal dengan Rita terjadi sebelum sidang kelima kali itu dimulai. Tidak menyia-nyiakan kesempatan rombongan paslon ini berswafoto. Rita mengacungkan jari telunjuknya tanda nomor 1.

Rita bukan orang asing di dunia politik. Dia adalah Ketua Partai Golkar Kaltim yang sebelum terciduk KPK sudah digadang-gadang bakal maju dalam Pilgub Kaltim. Namun anak dari mantan Bupati Kukar Syaukani HR itu harus menghentikan langkahnya, karena KPK mendakwanya melakukan tindak pidana gratifikasi sebesar Rp469 miliar.

Pertemuan singkat itu berlangsung hangat. Walau ada rasa prihatin karena Rita berada di dalam sel tahanan KPK, namun rombongan Sofyan-Rizal berusaha mengabadikan momentum itu sebaik-baiknya. Rita menjadi Bupati Kutai Kartanegara dengan perolehan suara yang cukup besar, di atas 200 ribu suara. Massa inilah yang diincar Sofyan-Rizal agar diarahkan Rita kepada mereka.

Tapi, Sofyan Hasdam beralasan kehadiran rombongan mereka ke sidang Tipikor Rita Widyasari hanya untuk memberikan dukungan moril kepada Rita.

“Ibu Rita kan ketua saya, Ketua Golkar di Kaltim, mantan calon gubernur kami kemudian saya gantikan. Kan sekarang wajar kalau saya memberi dukungan moril,” Sofyan beralasan kepada Wartawan.

Rita, yang saat itu mengenakan blazer berwarna biru dan jilbab berwarna hitam, terlihat sumringah berfoto bersama Sofyan-Rizal ditemani kader-kader Golkar kabupaten/kota di Kaltim.

Di persidangan Tipikor Rita didakwa menerima uang gratifikasi Rp 469.465.440.000 terkait perizinan proyek pada dinas Pemkab Kukar. Gratifikasi itu diterima melalui Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB) Khairudin, yang juga tim 11 pemenangan Bupati Rita.

Salah satu uang yang diterima Rita dari Dirut PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi terkait proyek pembangunan RSUD Parikesit, proyek pembangunan Jalan Tabang tahap III baru, proyek pembangunan SMA N Unggulan 3 Tengarong.

Kemudian proyek lanjutan semenisasi kota bangun Ilir Liang, proyek Kembang Janggut Kelekat, proyek irigasi Jonggon dan proyek pembangunan Royal World Plaza Tenggarong. Uang yang diterima sebesar Rp 49.548.440.000 secara bertahap.

Sebelumnya Bupati perempuan itu juga didakwa menerima uang suap Rp 6 miliar terkait pemberian izin lokasi perkebunan sawit. Uang suap itu diterima dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun.

Saksi Ismed Ade Baramuli, Kepala Bagian Administrasi Pertanahan pada Setda Kabupaten Kukar dipersidangan blak-blakan menyebut Rita menerima kantong merah setelah menandatangani izin perkebunan kelapa sawit untuk PT Sawit Golden Prima (SGP). Kantong itu diberikan oleh Dirut PT SGP Hery Susanto Gun alias Abun.

Awalnya, hakim bertanya kepada Ade Baramuli apakah Rita pernah meminta agar proses penerbitan izin untuk PT SGP dipercepat. Menurut Ismed, Rita pernah meminta hal itu dan ia membawa draf izin perkebunan sawit untuk PT SGP langsung ke Rita untuk ditandatangani.

“Bu Bupati bilang, kalau sudah selesai, bawa ke rumah untuk ditandatangani. Saya proses, begitu selesai, saya langsung bawa ke beliau. Sebenarnya, mestinya harus ada paraf dari atasan saya, yaitu Pak Asisten dan Sekretaris Daerah. Namun, karena mendesak dan diperintahkan beliau, draf itu saya bawa langsung,” kata Ismed kepada majelis hakim.

Ismed, yang saat itu menjabat Kepala Bagian Administrasi Pertanahan Sekretaris Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, mengaku membawa draf tersebut ke rumah pribadi Rita pada malam hari. Saat itu ada Abun dan Timotheus Mangintung.

“Saat itu saya kerjakan sore dan malamnya bawa ke kediaman pribadi beliau. Di situ sudah ada Pak Hery Susanto Hun dan Pak Timotheus Mangintung,” ucapnya.

“Tanggal berapa itu?” tanya hakim.

“Saya lupa pastinya,” jawab Ismed.

Hakim mengingatkan, peristiwa itu terjadi pada 30 Juni 2010. Setelah draf ditandatangani, Ismed mengaku melihat Abun menyerahkan kantong kecil berwarna merah kepada Rita.

“Setelah saya serahkan, ada lihat ada bungkusan yang diserahkan Pak Hery Susanto Gun kepada Bu Rita, tapi saya nggak tahu apa, kalau nggak salah (warnanya) merah,” ujar Ismed.

“Bungkusan atau kantong kecil?” tanya hakim.

“Kantong, diserahkan Pak Hery Susanto Gun ke Bupati,” ucap Ismed.

“Anda mendengar apa yang dikatakan? Tahu apa isinya?” tanya hakim.

“‘Ini untuk Ibu.’ Saya nggak tahu isinya,” ujar Ismed.

Hakim juga bertanya kepada Ismed, apakah pernah diberi sesuatu oleh Abun. Menurut Ismed, dia hanya pernah dijanjikan untuk diberangkatkan umrah oleh Abun, namun ditolaknya.

Hakim kemudian bertanya soal batasan izin perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, ada aturan yang membatasi kebun sawit hanya seluas 15 ribu hektare, namun yang diberikan dalam izin PT SGP seluas 16 ribu hektare.

“Batasannya 15 ribu. Namun, karena waktu itu saya alpa, saya lupa. Tapi ditulis 16 ribu,” ucap Ismed.

Majelis hakim Tipikor juga sudah menghadirkan Nafsiah, Dirut PT Madu Indah Sejahtera (MIS) sebagai saksi. Nafsiah mengaku perusahaannya tidak diterbitkan izin untuk kebun sawit di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Padahal, ia merasa sudah mengurus persyaratan yang diperlukan.

“Ini kalau kajian teknis ini ada syarat khusus sehingga keluar itu izin atau seluruhnya dari BPN?” tanya hakim.

“Nggak tahu. Setelah terbit izin PT Golden saya juga nanya, bilang saya PT Golden ini semuanya sama nggak dengan saya, tidak perlu bilangnya. Salah satu yang jelaskan itu pak, Pj Bupati Kukar sekarang, saya sempat tanya sama beliau. Pak ada aturan tidak sementara saya ada sekian-sekian untuk rekomendasi, tidak perlu dibilangnya. Bukan aturan ibu itu yang dipakai, ini terserah dibilangnya bupati nerbitkan siapa tidak harus pakai aturan itu,” ujar Nafsiah.

Hafsiah mengaku diberi uang pengganti oleh Abun. Hal itu terjadi setelah dia melayangkan surat. “Ibu harus datang ke sini (kantor PT SGP) akan digaji 1 bulan Rp 15 juta. Saya ngomong apa adanya, 6 bulan setelah itu saya datang, ternyata tidak juga. Sementara permohonan saya kembalikan biaya pengeluaran saya awal. Bapak tiba-tiba terbit izin begitu. Waktu itu kalau tidak salah ada Rp 10 juta, 6 bulan baru diambil,” ujar Nafsiah.

Nafsiah mengaku menghabiskan biaya Rp 3 miliar saat perusahaannya ingin mendapat izin perkebunan sawit. Biaya itu disebutnya untuk transportasi dan operasional dirinya sendiri saat harus pulang pergi mengurus izin sejak tahun 2008.

Dia menyebut uang Rp 10 juta itu diberikan Abun tiap bulan selama 1 tahun. Total ada sekitar Rp 100 juta yang didapatnya.

“Itu obat supaya ibu nggak stres?” tanya hakim.

“Iya. Dia bilang, ibu sebenarnya permohonan saya kembalikan pengeluaran pribadi saya. Bukan uang dari orang lain, saya berkorban sampai meninggal kakak saya, karena takut saya meninggal juga karena siang malam menangis setelah mendengar izin PT Golden (PT SGP) terbit. Seenaknya, sementara yang menyelesaikan tapal batas saya semua kok bisa terbit PT Golden,” ujar Nafsiah.

Hakim mempertanyakan apa maksud Abun memberi uang ke Nafsiah. Namun, Nafsiah mengaku tidak tahu apa maksud Abun.

“Nggak tahu saya, mungkin keuntungan karena dia terbit itu kali,” ucapnya.

Pengakuan saksi yang bernada membuka borok Rita Widyasari juga diucapkan saksi Marli. Hakim meminta Sekda Kukar itu membaca BAP yang dibuatnya saat dipenyidik KPK, yaitu pernyataan proyek yang diminta 10 persen itu hanya proyek yang nilainya di atas Rp 200 juta.

“Dikarenakan proyek di setda (sekretariat daerah) nilainya kecil maka tidak pernah ada permintaan oleh tim 11 atau Junaidi,” ucap Marli melanjutkan membaca BAP.

Hakim menanyakan bagaimana Marli mengetahui soal permintaan 10 persen tersebut. Menurut Marli, ia hanya mendengar isu soal permintaan 10 persen itu.

“Memang benar yang saudara bacakan keteranganmu di penyidik?” tanya hakim.

“Pada waktu saya ditanya kaitan dana 10 persen ini informasi yang santer beredar di masyarakat oleh penyidik menanyakan pada saya dan menuliskan ini. Isu-isu di luar seperti ini,” ucap Marli.

Hakim mengaku heran kenapa seorang Sekda hanya mendengar isu permintaan fee 10 persen tersebut dan tidak mengecek kebenarannya. Hakim menyatakan harusnya Marli mengecek kebenaran informasi itu.

“Apa logis seorang Sekda mendengar isu-isu? Yang anda bilang lagi salat, sekitar masjid, musala. Kalau anda dengar kenapa nggak tanyakan pastikan benar nggak. Pertanyaan jadi seperti itu, kalau itu nggak benar kamu bisa laporkan,” ujar hakim.

Berikutnya, Marli kembali diminta hakim membacakan BAP miliknya. Dalam BAP itu, Marli menjelaskan adanya pengaturan soal pemenang lelang proyek di Dinas Kominfo dan Dinas Perindag Kukar oleh Junaidi yang merupakan anggota tim 11.

“Sebetulnya pemenang lelang dan penunjukan langsung sudah diatur oleh Junaidi/ULP,” ucap Marli.

Marli juga mengungkapkan estimasi dari seluruh permintaan 10 persen dari tiap proyek di Kukar sekitar Rp 7 miliar dari proyek tahun 2010 hingga 2016. Uang itu disebutnya diserahkan kepada Rita lewat Junaidi.

“Estimasi perhitungan jumlah dana yang diserahkan oleh rekanan kepada Rita Widyasari melalui Junaidi sesuai dengan data pengadaan sekitar Rp 7.064.185.922,” ucap Marli membacakan BAP miliknya. #le

Comments are closed.