BeritaKaltim.Co

Gelombang Pembela Meiliana Membesar, Begini Kronologi Lengkapnya

SAMARINDA, beritakaltim.co- Sejak Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan kepada Meiliana atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya, Selasa 21 Agustus 2018 lalu, gelombang protes membela perempuan di Tanjung Balai Sumatera Utara kian membesar.

Sebuah petisi pembelaan muncul di change.org. Sampai Kamis (23/8/2018), jam 16.17 Wita, sudah 42.714 menandatangani petisi. Gelombang protes juga muncul di media-media sosial. Para aktivis berusaha keras menyuarakan ketidakadilan yang diterima oleh perempuan beragama Budha itu dengan keputusan penjara majelis hakim Pengadilan Negeri Medan.

Mahfud MD, pakar hukum Tata Negara, menjawab pertanyaan dari followernya di twitter menyatakan langkah yang bisa ditempuh oleh Meiliana adalah mengajukan banding. Perjuangan yang perlu dilakukan adalah di tingkat banding. Dalam kasus di yudikatif ini tidak bisa ada yang mengintervensi, bahkan seorang Presiden tidak bisa.

Meiliana dan keluarga sudah meminta maaf.

“Vonis utk Ibu Meliana skrng sdh masuk ranah pengadilan (yudikatif), tak bs diintervensi oleh Presiden (eksekutif). Beda dgn kss begal thd santri dari Madura di Bekasi, waktu itu msh dijadikan tersangka. Utk Ibu Meliana, skrng bs diperjuangkan di yudikatif dgn banding dan kasasi,” kata Mahfud dalam tweetnya.

Meiliana dinilai hakim terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Kasus ini bermula pada Senin, 29 Juli 2016. Ada beberapa versi, di antaranya yang beredar di pengadilan. Versi pertama menyebutkan, suasana di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan tegang setelah seorang warga, yaitu Meiliana menyampaikan proses terhadap suara azan yang menggema dari Masjid Al Maksun.

Protes Meiliana seperti ditulis Tempo, disampaikan kepada salah seorang nazir masjid bernama Kasidik. Kasidik lalu memberi tahu teguran tersebut kepada jemaah masjid setelah Shalat Magrib.

Setelah berdialog dengan jemaah masjid, Harris Tua Marpaung selaku Imam Masjid dan beberapa pengurus Badan Kemakmuran Masjid (BKM) mendatangi rumah Meliana. Di sana sempat terjadi perdebatan antara jemaah masjid dengan Meliana.

“Lu, Lu yaa (sambil menunjuk ke arah jamaah masjid). Itu masjid bikin telinga awak pekak. Kalau ada pula jamaah minta berdoa, minta kaki lah bujang, bukannya angkat tangan,” tuding Meliana seperti yang diceritakan Harris Tua saat dijumpai Tempo di Masjid Al Maksun pada Kamis, 4 Agustus 2016.

Perdebatan tersebut tidak berlangsung lama setelah suami Meliana, Lian Tui, hadir menjadi penengah dan meminta maaf kepada jemah masjid. Namun suasana kembali tegang setelah Meiliana kembali berteriak dan marah saat azan Isya berkumandang. Sikap itu membuat masyarakat makin emosi. Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saat itu pengurus BKM dan jamaah masjid berinisiatif membawa Meliana ke kantor kelurahan Tanjung Balai Kota 1.

Di sana, Meiliana terus disoraki oleh masyarakat meski telah meminta maaf di hadapan Lurah Tanjung Balai Kota 1 saat itu, Edy Muriadi. “Enggak sempat buat permintaan maaf di atas kertas. Karena kami anggap sudah makin tidak kondusif, makanya dibawa ke Polsek Tanjung Balai,” kata Edy saat ditemui di kantornya, 4 Agustus 2016.

Edy sempat akan pulang usai membawa Meiliana ke polsek. Namun Camat Tanjung Balai Selatan memintanya kembali ke polsek untuk melakukan mediasi. Di tengah mediasi, sekitar pukul 21.30 WIB sebuah kerusuhan pecah saat masyarakat yang diduga dari luar kelurahan Tanjung Balai Kota 1 mendatangi rumah Meiliana dan melakukan pengrusakan.

Seketika kerusuhan menjalar dan massa yang tidak diketahui pasti asalnya menyerbu berbagai kelenteng dan vihara di seputaran Kota Tanjung Balai. Amukan massa berpuncak hingga penyerangan Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera yang terletak di tepi Sungai Asahan menjelang subuh. Sepanjang malam itu suasana mencekam.

Dampaknya, sedikitnya tiga vihara, 8 kelenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan dan rumah Meiliana rusak. Sebanyak 20 orang juga sempat ditahan polisi karena dianggap menjadi pelaku pengrusakan.

Buntut dari rangkaian peristiwa itu, Meiliana menjadi tersangka penistaan agama pada Maret 2017 hingga diseret ke meja hijau. Sekitar 8 orang yang terlibat pengrusakan vihara dan klenteng juga diseret dan dihukum sekitar 1-3 bulan penjara.

Usai mendengarkan vonis, Meilina yang hadir memakai kemeja putih langsung tertunduk lesu. Ia tampak menahan tangis.

Putusan yang dijatuhkan majelis hakim itu sesuai dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Tanjung Balai. Meski demikian, jaksa mengaku masih akan pikir-pikir terkait langkah selanjutnya dari putusan peradilan. “Kami akan menggunakan waktu 7 hari untuk pikir-pikir dulu,” kata Anggia Sinaga, salah satu jaksa.

Di tempat terpisah, kuasa hukum Meliana menegaskan akan melakukan banding terhadap putusan yang menjerat kliennya. “Iya, harapan kami banding lah, karena enggak ada bukti. Bagaimana tindak pidana enggak ada bukti,” ujar salah seorang tim kuasa hukum Meliana, Ranto Sibarani.

Saat disidang, Meiliana pasrah.

Ranto menjelaskan bahwa apa yang didakwakan jaksa kepada kliennya tidak dapat dibuktikan. Dalam dakwaan, jaksa menyatakan Meiliana melarang seruan azan. Nyatanya, menurut Ranto, di tanggal tersebut massa beramai-ramai mendatangi rumah Meiliana untuk melempari dan membakar rumah. Sedangkan Meiliana diklaim hanya mempertanyakan mengapa suara azan dari Masjid Al Maksun kepada seorang pedagang saat berbelanja pada 22 Juli 2016. “Sekarang suara masjid kita agak besar ya,” ungkap Ranto menirukan pernyataan yang dikatakan Meliana kepada penjual yang biasa dipanggil Kak Uwo.

Menurut Ranto, percakapan tersebut juga sudah dibenarkan oleh penjual saat persidangan. Nada suara Meiliana saat menyampaikan tersebut juga disebutnya pelan dan dinyatakan secara personal kepada penjual.

Sementara dalam proses persidangan, jaksa disebut hanya mencatumkan alat bukti surat dua unit pengeras suara merek TOA dan amplifier merek TOA. “Nah itu memberikan petunjuk apa dalam dakwaannya,” kata Ranto.

Alat bukti lain yang menjerat Meiliana adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 100 orang anggota BKM Al Maksun dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara yang menyatakan Meiliana melakukan penodaan agama. “Besok-besok datang orang 100 orang buat surat pernyataan, si A membunuh. Tidak ada fakta yang lain, hanya surat pernyataan. Ditambah lagi Fatwa MUI bahwa si A membunuh, ya sudah kita pidana lah dia. Mana bisa begitu”, kata Ranto,

Menurut dia, jaksa hanya bertahan dengan surat pernyataan dan Fatwa MUI tersebut. Padahal dalam persidangan sudah dihadirkan ahli untuk mempertanyakan apakah kedua hal tersebut bisa dijadikan alat bukti. “Kedua ahli itu menyatakan satu-satunya cara menguji kesahihan atau kebenaran dari suatu ucapan seseorang yang sudah dituliskan, itu adalah dengan memperdengarkan rekamannya. Rekaman tidak pernah dihadirkan oleh jaksa sebagai barang bukti di persidangan,” kata Ranto.

Saat ini, tim kuasa hukum Meiliana sekarang dalam proses menyusun dan mempersiapkan banding kepada putusan yang telah dikeluarkan Majelis Hakim.

Versi lainnya, dimunculkan oleh tim Kuasa Hukum Meiliana. Mereka adalah Ranto Sibarani, Josua Rumahorbo, Jimmi Sibuea, Kamal Pane, Radinal M Panggabean, Puji Aprilia Marpaung dan Gracia F Tambun.

Dalam catatan tim kuasa hukum seperti yang beredar di website, kronologi peristiwa sebagai berikut.

 

Tanggal 22 Juli 2016,

ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), “kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras”, pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.

Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada “orang melarang Adzan” merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)

Tanggal 29 Juli 2016

Beberapa orang mendatangi rumah Meliana, mempertanyakan kebenaran issu “ada yang melarang Adzan” langsung ke rumah Meliana, orang-orang semakin ramai, rumah Meliana dilempari, dirusak dan dibakar. Tidak hanya itu saja, massa yang marah juga membakar puluhan rumah termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.

Tanggal 30 Mei 2018

Kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwa ibu Meliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”

Jaksa mendakwa perbuatan pidana Meliana dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016, padahal pada tanggal tersebut Melianalah yang menjadi korban tindak pidana dari orang-orang yang beramai-ramai menyatroni rumahnya, mengintimidasi, merusak rumahnya, membakar rumahnya dan melempari rumahnya, dan berteriak-teriak bakar kepada Meliana dan keluarga. Jaksa menjadikan surat pernyataan dari orang lain dan fatwa MUI Prov Sumut sebagai alat bukti Meliana melakukan perbuatan yang dituduhkan. Surat pernyataan tersebut dengan rinci menguraikan ucapan Meliana pada tanggal 29 Juli 2016, meskipun tidak pernah ada rekaman/video yang membuktikan kebenaran surat pernyataan tersebut adalah sama dengan yg diucapkan Meliana.

Dalam persidangan, Jaksa Anggia Y Kesuma, SH dkk tidak pernah membuktikan kebenaran dakwaannya, tidak dapat menghadirkan rekaman suara atau video yang bisa membuat terang tindak pidana yang dilakukan oleh Meliana. Jaksa malah menyebutkan dalam tuntutannya bahwa barang bukti yang mereka buat adalah toa dan amplifier yang tidak pernah diperlihatkan di muka sidang, padahal barang bukti tersebut tidak sedikitpun menunjukkan apalagi membuktikan Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan.

Padahal, di era digital saat ini, orang yang bertengkar dipinggir jalan saja ada yang iseng memvideokannya, mengapa saat orang ramai menyatroni rumah Meliana untuk mempertanyakan kebenaran issu tersebut tidak satupun ada video? Atau ada video, namun tidak ada bagian yang membuktikan bahwa Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan?

Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa dan yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum telah menerangkan, bahwa rekaman suara adalah suatu hal yang lazim diperdengarkan untuk menguji kebenaran ucapan seseorang dengan apa yang sudah dituliskan. Dalam hal ini, dakwaan jaksa dengan surat pernyataan masyarakat sama persis tulisannya terkait ucapan Meliana, Penasehat Hukum sudah keberatan terhadap dakwaan Jaksa tersebut, sejak dari Eksepsi sampai pada Pledoi, namun Majelis Hakim yang mulia tetap mengadili perkara Meliana.

Terkait unsur sengaja di muka umum pun kami anggap tidak terpenuhi, karena umum tersebutlah yang mendatangi rumah ibu Meliana pada tanggal 29 Juli 2016.

Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama, karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri, hal ini juga panjang lebar telah diterangkan pak Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.

21 Agustus 2018

Meliana divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, SH., MH dan dua anggota Majelis Hakim yaitu: Saryana, SH., MH dan Erintuah Damanik, SH., MH., dengan putusan Meliana terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.

Tanpa keraguan kami Penasehat Hukum langsung menyatakan banding terhadap putusan tersebut, meskipun resikonya mendapatkan intimidasi dan kekerasan verbal dari pengunjung sidang yang sejak awal sudah membenci Meliana dan menularkan kebenciannya tersebut kepada kami Tim Penasehat Hukum, bahkan dalam setiap persidangan kami mendapatkan kekerasan verbal tersebut. Untung rugi daripada banding ini akan kami diskusikan kemudian dengan ibu Meliana, dan upaya banding tersebut akan kami review kembali setelah bertemu dengan ibu Meliana dalam waltu dekat ini.

Satu hal lagi yang perlu kami sampaikan, ibu Meliana adalah perempuan, ibu dari empat anak, bersuku Tionghoa dan beragama Budha, saat ini tidak bisa membesarkan anak dan mengurus keluarganya, karena harus berhadapan dengan rimba raya penegakan hukum di negara kita yang seharusnya semakin baik.

Karena itu, mari kita sejenak membayangkan bahwa Meliana adalah ibu kita, kakak perempuan kita, anak perempuan kita, apakah benar Meliana berani mengucapkan apa yang dituduhkan padanya tersebut didepan orang banyak yang sedang marah? Meliana perempuan yang tidak berdaya dari kelompok yang minoritas, suaminya hanya bekerja serabutan menjaga sarang burung walet milik orang lain yang sekarang kehilangan pekerjaannya tersebut karena perkara ini, anaknya trauma berat karena massa marah yang mendatangi rumah mereka. Saya kuatir Meliana dipenjara 10 tahun pun tidak mengobati kebencian kita terhadap perbedaan2 agama, namun sebaliknya akan membuka ruang-ruang hukum untuk memperkarakan perbedaan-perbedaan agama dan pahamnya.

Beruntung dalam menghadapi perkara tersebut ibu Meliana dibantu oleh Tim hebat Ferry Wira Veryanto Sitohang dan rekan-rekannya dari Organisasi Aliansi Sumut Bersatu (ASB) organisasi yang selama ini getol menyuarakan pluralisme, yang bekerja keras menghadirkan ahli dan mempersiapkan hal lainnya untuk membela ibu Meliana. Ibu Meliana juga beruntung didampingi oleh penyuluh agama dan juga peneliti Deva Alvina Br Sebayang. Bahkan banyak pihak yang bersimpati dan mendukung ibu Meliana, termasuk kak Anita Martha Hutagalung yang tidak bosan-bosannya menjelaskan fakta terhadap perkara ini dan hadir dalam sidang putusan tempohari. #

 

ATURAN PENGERAS SUARA MASJID

Aturan ihwal pengeras suara masjid ini sebenarnya sudah diatur sejak 1978 melalui instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.

Berikut lima poin aturan terkait pengeras suara masjid tersebut.

  1. Perawatan penggunaan pengeras suara seharusnya dilakukan orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini menghindari suara bising, dengung, yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
  2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Quran, dan lain-lain) harus memiliki suara yang fasih, merdu, dan enak, tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati orang yang mendengar, selain menjengkelkan.
  3. Memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
  4. Orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau sedang dalam upacara. Dalam keadaan demikian, kecuali azan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas: suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa, dapat dianggap sebagai hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

 

  1. Dari tuntutan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah suara muazin tidak sumbang, tapi sebaliknya, enak, merdu, dan syahdu. #

Comments are closed.