SAMARINDA, beritakaltim.co- Praktisi hukum Supriyana SH menegaskan, lima anggota DPRD Kota Samarinda yang tidak mematuhi PAW dengan alasan apapun, bisa dicoret dari DCT (Daftar Calon Tetap).
“Ini konsekuensi. Kok mau dua-duanya. Harus ada pilihan, tetap menjadi DCT atau PAW,” ujar Supriyana kepada beritakaltim.co, menanggapi situasi di DPRD Samarinda yang dianggapnya telah menciderai demokrasi, Minggu (20/1/2019).
Lima anggota DPRD Samarinda yang tidak juga di-PAW itu, tiga dari partai Golkar Adhi Agustiawarman F, Mashari Rais, Alphad Syarif, dari Partai Hanura Syaiful dan dari partai Nasdem Akhmed Reza S. Kelimanya pindah partai ke Gerindra yang menurut undang-undang sudah harus diberhentikan dari DPRD setelah mereka ditetapkan sebagai DCT (Daftar Calon Tetap) oleh KPU. Kelimanya juga sudah diberhentikan Gubernur Kaltim Isran Noor.
Seperti diberitakan sebelumnya, kelimanya bertahan di DPRD karena ada gugatan masyarakat terhadap surat pengunduran diri mereka di Pengadilan Negeri Samarinda. Setelah mendapat putusan sela dari majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda, kelimanya punya ‘senjata’ untuk bertahan. Bahkan ketika terbit surat pemberhentian dari Gubernur Kaltim, mereka menggugatkan ke PTUN (Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara) Samarinda.
Menurut Supriyana yang mengakui telah mempelajari masalah hukum tersebut, ada ruang untuk menghentikan kelima anggota DPRD Samarinda itu untuk ikut kontestasi di Pemilihan Legislatif pada 17 April 2019. Sebab, ada persyaratan yang tidak dipenuhi oleh kelimanya, yakni penyerahan surat pemberhentian dari Gubernur Kaltim.
Surat pemberhentian dari Gubernur Kaltim sebagai salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi oleh kelimanya. Karena sebelum DCT diterbitkan KPU, kelimanya membuat surat bahwa surat pemberhentian masih dalam proses.
“Ketika surat itu sudah terbit, kok malah dicari cara untuk menghindari persyaratan administrative. Mereka malah menggugat ke PTUN itu sebagai bentuk tindakan hukum bahwa mereka tidak mau memenuhi persyaratan adminsitratif persyaratan menjadi DCT,” ujar Supriyana.
Dia melihat Bawaslu punya kewenangan untuk meminta kepada KPU untuk mencoret kelima nama anggota DPRD Samarinda itu sebagai DCT.
Supriyana mengakui, peluang itu ada. Sebab kasus menyangkut administrasi persyaratan caleg juga terjadi di Jawa Barat. Kemudian ia menunjukkan sebuah berita dari media online tertanggal 12 Januari 2019, di mana Bawaslu Jawa Barat memutuskan untuk nama Muh Rojak, calon anggota DPRD Jabar untuk daerah pemilihan Jabar IX (Kabupaten Bekasi) dari partai Demokrat melanggar administrasi pemilu.
Sidang Putusan Bawaslu dibacakan oleh majelis yang dipimpin Yulianto serta didampingi Abdulah dan Yusup Kurnia dihadapan pelapor dan terlapor. Menurut berita itu terlapor bersalah karena tidak melampirkan surat pengunduran diri dari KPAD Kabupaten Bekasi pada saat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Jabar.
“Jadi, kalau yang di Jawa Barat itu karena tidak melampirkan surat pengunduran diri dari kantornya sebagai pegawai negeri. Nah, kalau di Samarinda ini tidak menyerahkan surat pemberhentian gubernur. Itu sama atau setara, menyangkut administrative pemilu,” ujar Supriyana.
Lantaran tidak memenuhi persyaratan itu, Bawaslu Jawa Barat menyatakan Caleg tersebut tidak memenuhi syarat (TMS). Karena dianggap tidak mengundurkan diri sebagai pegawai KPAD Kabupaten Bekasi. Atas putusan tersebut, Bawaslu menyampaikan kepada KPU Jawa Barat agar nama tersebut dicoret.
Apa yang terjadi di DPRD Samarinda, menurut Supriyana, adalah contoh buruk demokrasi. Bagaimana mungkin kelima anggota DPRD itu sekarang menjadi anggota Partai Gerindra, tetapi masih menjalankan tugas-tugasnya di DPRD mewakili Partai Golkar, Hanura dan NasDem.
“Saya kira ini tidak bisa didiamkan. Kacau tata cara demokrasi dan parlemen kita,” ujarnya.
Sejak dari adanya gugatan masyarakat di Pengadilan Negeri Samarinda, Supriyana sudah melihat ada ‘kekacauan’ hukum di sana. Misalnya, penggugat yang terdiri dari lima orang warga Samarinda dan mengaku sebagai konstituen.
Menurut Supriyana, ini gugatan yang lucu dan tidak masuk akal. Kelima orang itu mengaku konstituen, namun apakah mereka bisa membuktikan sebagai konstituen yang mencoblos sehingga lima orang itu terpilih. Pemilu menganut azas luber dan jurdil. Luber singkatan dari langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil singkatan dari jujur dan adil.
“Lho, di mana rahasianya. Bisa dibuktikan mereka mencoblos kelima orang itu,” ujarnya.
Pada saatnya Supriyana berjanji untuk membuka satu persatu keanehan yang terjadi dalam perkara kelima anggota DPRD Samarinda ini. Apakah di dalamnya ada unsur konspiratif, menurutnya ada banyak petunjuk ke arah itu. #le
Comments are closed.