BERITAKALTIM.CO – Kehebohan yang dimunculkan dokter Lois Owien dengan narasi ‘COVID deniers‘ belum lama ini ternyata masih meraup banyak dukungan di medsos.
Itu terungkap setelah Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, melakukan analisis peta pendukung ‘COVID deniers‘ dengan studi kasus dr Lois. Analisis ini dilakukan dengan melihat peta percakapan pada 5-11 Juli 2021.
Dari cuitan dr Lois yang masih terbuka dan yang sudah dihapus, terangkum sederet klaim dr Lois antara lain: kematian karena keracunan obat, bukan virus, vaksin menurunkan imunitas, vaksin adalah logam berat dan racun, saya adalah ‘suara kebenaran’, saya anti-hoax, paling ilmiah sedunia, semua penganjur vaksin = penjahat perang, pengkhianat bangsa.
“Dalam periode 5-11 Juli, tren percakapan naik pesat tgl 11 Juli. Ini dipicu oleh munculnya Lois di acara Hotman Paris dan Podcast seorang netizen pendukung,” kata Ismail Fahmi lewat penjelasannya di Twitter seperti dikutip pada Rabu (14/7/2021).
Peta percakapan tentang akun dr Lois pada 5-11 Juli 2021 menampilkan dua klaster besar yaitu pro Lois dengan akun sentral @LsOwien dan kontra Lois dengan akun sentral @tirta_hudhi.
Akun Apa Saja yang Pro dan Kontra-dr Lois?
Ismail Fahmi menyebut beberapa akun Twitter yang terang-terangan pro-dr Lois, yaitu @AldoBabeh, @mysubuh, @N4t0, @Cobeh09, @mtaufikmJKT48, @Hitamputih2010. Salah satu akun pendukung yang paling aktif adalah @AldoBabeh. Tak hanya memberi dukungan, mereka juga membuat podcast bersama.
“Profile beberapa akun top pendukung Lois memiliki karakteristik yang mirip. Dan dalam cluster sebelumnya tampak mereka saling berjejaring,” kata Ismail Fahmi.
Di sisi lain, banyak pula yang terus memberikan narasi kontra terhadap dr Lois. Salah satunya adalah dr Tirta, yang juga menyampaikan langkah IDI dan MKEK.
Keriuhan soal dr Lois tak hanya menyebar di Twitter atau YouTube, tapi juga masuk ke grup-grup WA. Video yang menyebar merupakan potongan podcast dan acara TV yang menampilkan dr Lois.
“Acara TV dengan Hotman Paris serta Podcast dengan @AldoBabeh ternyata cukup besar pengaruhnya di kalangan orang-orang yang cenderung menolak vaksin, obat, dan covid19. Potongan videonya menyebar di medsos dan group-group WA,” paparnya.
Ia juga menggabungkan peta social network analysis (SNA) tentang dr Lois dan peta SNA ‘vaksin COVID’ yang lebih luas. Pada pendukung membentuk cluster sendiri yang terdiri atas netizen dengan berbagai latar belakang, seperti oposisi, nakes, aktivis politik, media, netizen umum, dan akun-akun propemerintah.
“Sebagian pendukung @LsOwien ini dekat dengan kalangan Oposisi. Tapi tak semua oposisi setuju dengan Lois, dan tak semua pendukung Lois itu oposisi. Oposisi banyak yang satu cluster dengan nakes, media, dan aktivis politik terkait vaksin covid. Banyak beri kritikan ke pemerintah,” ungkap Ismail Fahmi seperti dilansir detikcom.
“Dari narasi konspiratif yang banyak disampaikan @LsOwien di awal analisis ini, para pendukungnya kebanyakan dari mereka yang percaya teori konspirasi. Tidak semua dari oposisi dalam percakapan ini yg percaya teori konspirasi. Kalau kebetulan percaya, mereka manfaatkan @LsOwien untuk menyerang pemerintah juga, misal dengan menambahkan tagar #PakPresidenKapanMundur,” sambungnya.
Dari analisis tersebut, Ismail Fahmi merangkum siapa saja pendukung seorang influencer COVID deniers. Bisa saja mereka merupakan irisan dari kalangan pro-teori konspirasi, antivaksin, dan pengkritik pemerintah (oposisi). Kesamaan frekuensi di antara kalangan-kalangan itu membuat narasi COVID deniers juga cepat menyebar.
“Kesamaan frekuensi ini pula yang bisa membuat orang-orang menyebarkan pesan-pesan yang tidak 100% beririsan dengan narasi mereka, ke dalam group-group WA mereka. Biasanya sudah dicampur (collapse) dengan narasi lain yang berbeda konteks agar makin sefrekuensi,” kata Ismail Fahmi.
Dari sederet analisis itu, Ismail Fahmi menarik kesimpulan soal bahwa pendukung COVID deniers yang merupakan irisan dari kelompok antivaksin, pro teori konspirasi, dan oposisi. Dia juga memaparkan dampak negatifnya.
“Dampak negatif dari influencer covid deniers seperti ini adalah, akan selalu ada kelompok orang yang memanfaatkan narasi, grafis, dan videonya, yang di-“context collapse”-kan dengan narasi lain yang cocok dengan narasi kelompoknya, dan disebar ke group-group WA,” jelasnya.
“Penyebaran di group WA ini sangat cepat viralnya dan tidak bisa dimonitor, khususnya dalam jejaring tiga kelompok tersebut. Dan ini mudah mempengaruhi pengguna, khususnya dari kalangan yang tidak bisa melakukan verifikasi (seperti orang tua, post truth believers),” sambung Ismail Fahmi. (*)
Comments are closed.