BERITAKALTIM.CO – Sempat santer terdengar kabar, Indonesia tengah menyiapkan diri untuk menjadi tuan rumah balapan bergengsi di dunia. Mulai MotoGP, World Superbike dan balapan jet darat, Formula 1.
Manajemen Mandalika International Street Circuit telah melakukan diskusi dengan Formula 1 untuk menjadi tuan rumah balapan mobil jet darat tersebut dimasa mendatang. Sirkuit Mandalika dirancang tak cuma untuk memenuhi standar Grade A FIM untuk menggelar MotoGP, tapi juga memenuhi standar Grade 1 FIA sebagai syarat menyelenggarakan Formula 1.
“Sirkuit Mandalika bisa memenuhi grade A FIA yang akan menggelar F1 dan kami sudah berdiskusi dengan F1 di Lombok,” kata CEO Mandalika Grand Prix Association Ricky Baheramsjah dikutip Pitpass.
Tapi, secara hitung-hitunagn keuntungan, nampaknya harus lebih berhati-hati. Formula 1 merupakan salah satu olahraga termahal. Bukan cuma bicara teknologi mobilnya, tapi juga soal biaya penyelenggaraan yang sekali race saja membutuhkan biaya sekitar Rp 1,1 triliun! Dari mana perhitungan jumlah tersebut?
Dari Commitment Fee. Untuk menggelar F1 setiap negara harus membayar. Jumlahnya berbeda setiap negara. Kita ambil contoh tetangga Indonesia, Vietnam. Vietnam yang (sempat berencana ) menggelar balapan F1 pada 2020 (namun gagal karena pandemi COVID-19 dan kemudian dihantam isu korupsi) harus membayar commitment fee sebesar 42,9 juta dollar AS. Itu setara dengan Rp 587 miliar. Demikian dikutip dari Vietnam Investment Review.
Beberapa negara harus membayar commitment fee lebih besar. Misalnya Azerbaijan, Rusia, Bahrain, dan Uni Emirat Arab. Negara-negara tersebut diketahui membayar hingga USD 60 juta, atau sekitar Rp 821 miliar untuk sekali balapan.
Menariknya lagi, commitment fee ini terus naik setiap tahun. Padahal, umumnya saat sebuah negara sepakat untuk menggelar balapan F1 di wilayahnya, maka kontraknya akan berdurasi beberapa musim sekaligus (misalnya 10 tahun). Jadi saat sebuah negara berkomitmen menggelar balapan F1 maka pengeluaran setiap tahun untuk commitment fee akan terus melonjak.
Commitment fee tersebut tentu saja belum mencakup keseluruhan biaya menggelar F1. Masih ditambah dengan cost penyelenggaraan, ini merupakan jumlah yang harus digelontorkan promotor untuk mengelar tiga hari balapan (Jumat-Sabtu-Minggu) plus segala persiapannya.
Dikutip dari Forbes, dana promotor balapan rata-rata sekitar US$ 40 juta atau sekitar Rp 575 miliar untuk menggelar satu balapan. Perhitungan kasar untuk biaya penyelenggaraan F1 mencapai Rp 1,1 triliun.
Sebagai catatan, biaya promotor dan commitment fee itu masih harus ditambah dengan biaya pembuatan sirkuit. Ini tentunya berlaku buat negara yang berniat ikut menghelat F1 tapi belum punya lintasan. Sementara jika Indonesia mau mengajukan diri, Sirkuit Mandalika sudah siap digunakan.
Gara-gara biaya itu, banyak negara menarik diri. Biaya yang besar tidak sebanding dengan pemasukan. Seperti Grand Prix Malaysia yang akhirnya tidak memperpanjang kontrak pada tahun 2018 karena semakin besar dana yang harus dikeluarkan. Atau Grand Prix India yang terpaksa terhenti di tahun 2013 karena terlilit utang sebesar US$ 51,4 juta (Rp 740 miliar). Sementara Grand Prix Korea Selatan juga dihentikan setelah digelar selama 3 musim saja yakni dari 2010-2013. Hal ini disebabkan sepinya peminat Formula 1 dan akhirnya pihak penyelenggara tidak mendapat keuntungan.
Untuk diketahui, nyaris seluruh balapan F1 dibiayai oleh pemerintah negara masing-masing tuan rumah. Pada tahun 2015, dari 19 balapan yang digelar, 15 di antaranya dibiayai oleh negara (pemerintah negara tuan rumah).
Ini sejalan dengan anggapan bahwa balapan F1 merupakan ajang promosi sebuah negara, terutama terkait ‘jualan’ wisata. F1, terutama yang digelar di jalanan, memang bisa memamerkan keindahan atau bangunan-bangunan ikonik sebuah kota.
Ini menjadi alasan balapan dalam kota, seperti di Singapura dan Monaco, menjadi seri yang dianggap paling eksotis, dan berpeluang mendapat penonton televisi lebih banyak. Nah, menarik dinantikan. Bila Indonesia ngotot menyelenggarakan balapan itu, apakah hitungan profitnya ditujukan untuk jualan wisata atau untuk penggemar F1? Mengingat fans F1 tak terlalu besar di Indonesia. (*)
Comments are closed.