BeritaKaltim.Co

DPRD-Pemkab PPU ‘Tegang’, Legislator Belajar Problem Solving

BERITAKALTIM.CO- Ketua Komisi II DPRD Kabupaten PPU (Penajam Paser Utara) Dr Wakidi MM memimpin delapan anggotanya melakukan kunjungan ke DPRD Kota Samarinda. Kunjungan itu dalam rangka bertukar pendapat dan sharing pengalaman tentang “problem solving’, yaitu bagaimana cara penyelesaian sebuah masalah jika terjadi ketegangan hubungan antara legislatif dengan eksekutif.

Wakidi datang bersama 8 orang anggota legislatif gabungan fraksi, yakni Partai Gerindra, Demokrat, PKS Golkar dan PDIP. Pilihan mereka ke DPRD Kota Samarinda, karena sebagai ibu kota provinsi dinilai memiliki kemampuan dan pengalaman jam terbang ketika terjadi konflik dan polemik dengan pemerintah.

Rombongan fraksi-fraksi gabungan DPRD PPU itu diterima Wakil dan anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda, Angkasa Jaya dan Samri Syaputra. Dalam pertemuan itu, anggota DPRD PPU terkesan “curhat”, lantaran pihak eksekutif di daerahnya, yakni Bupati Abdul Gafur Masud, dituding meninggalkan hak dan kewenangan DPRD dalam menentukan anggaran perubahan APBD 2021 PPU.

DR Wakidi yang bertindak sebagai koordinator rombongan dan mewakili rekan lainnya menceritakan, Bupati PPU membuat kebijakan yang mereka sebut kontroversial. Kebijakan kontroversial itu berupa terbitnya kebijakan Peraturan Kepala Daerah atau Perkada.

Menurut Wakidi, terbitnya Perkada ini tidak lazim. Kebijakan itu hanya muncul dalam situasi tertentu seperti gantung dan tidak stabil. Sedangkan di PPU sendiri menurut Wakidi, proses perumusan dan penetapan anggaran berjalan lancar terkendali hingga ditetapkan nilai APBD tahun 2021 sebesar Rp 1,76 Triliun.

Ketegangan antara legislatif dengan eksekutif mulai terjadi ketika Bupati Abdul Gafur secara sepihak membuat kebijakan tanpa persetujuan atau pembahasan dengan para wakil rakyat, mengubah platform anggaran melalui estimasi perhitungan sepihak, sebesar Rp 1,9 Triliunan. Celakanya nilai APBD 2021 itu tidak terealisasi sesuai nilai yang diestimasi bupati.

Padahal sejumlah proyek fisik sudah digulirkan dengan anggaran yang fantastis yang disebut para wakil rakyat adalah estimasi karangan tanpa berdasarkan kebutuhan.

Akibatnya sejumlah proyek tidak terealisasi dan pengerjaannya stagnan, sebab tidak tersedia anggaran sesuai harapan Bupati. Di sisi lain, ada sejumlah proyek lain yang kesannya dipaksakan dikerjakan.

“Masalahnya adalah anggaran yang digunakan itu mengambil pos pos anggaran kegiatan pembangunan termasuk belanja daerah,” ujar Wakidi.

Salah satu yang terkena imbas pencopotan anggaran-anggaran itu adalah belanja DPRD PPU. Menurut Syarifuddin, salah satu wakil rakyat PPU, akibat kebijakan tanpa koordinasi dengan legislatif, anggota DPRD tidak bisa melakukan Bimtek, reses dan kegiatan sosialisasi Perda ke masyarakat, lantaran mereka tidak memiliki anggaran operasional.

“PPU saat ini hancur-hancuran, pengelolaan anggaran bupati seenaknya sendiri tanpa melibatkan kita di DPRD,” kata Syarifuddin.

Angkasa Jaya dalam pertemuan itu mengatakan, seharusnya DPRD dan pemerintah diibaratkan seperti suami istri. Pemerintah mau belanja harus diskusi dengan DPRD, jangan seenaknya karena berpotensi menciptakan dinamika tak bagus dalam pemerintahan.

Angkasa Jaya mengatakan, DPRD punya fungsi budgeting, legislasi dan pengawasan sehingga harus mengetahui soal anggaran mulai dari perencanaan hingga sisa anggaran setelah dibelanjakan.

“Makanya harus sepakat platform rencana anggaran soal rencana belanja,” kata Angkasa Jaya.

Dia juga mengatakan jika ada keputusan perubahan atau persoalan penggunaan anggaran yang butuh disiasati agar bisa terealisasi dan mencukupi kebutuhan pembangunan, maka pemerintah dan DPRD harus menggelar sidang Paripurna Dewan, bukan asal menentukan sesuai napsu pemerintah sendiri.

Dia menjelaskan, anggaran yang sudah ditetapkan tidak boleh ditambah atau diubah. Kalo diubah itu namanya otoritar, DPRD bisa ambil sikap. Kalau Kepala Daerah otoriter, maka DPRD berhak untuk tidak mensahkan anggaran, atau melakukan hak interpelasi.

“Saat interpelasi, dewan bertanya kepada kepala daerah; kenapa ambil sikap sendiri,” kata Angkasa Jaya.

DPRD dan Kepala Daerah kedudukannya itu setara. Sehingga lucu jika pemerintah secara sepihak melakukan kebijakan dengan menerbitkan Perkada, padahal APBD sudah disahkan.

“Heran juga kita kalau diutak-atik kembali anggarannya,” tambah Jaya lagi.

Angkasa Jaya menyarankan kepada para anggota DPRD PPU agar melakukan pendekatan politik dengan cara melakukan lobi-lobi dengan Sekda dan Bupati PPU. Upaya itu merupakan siasat agar daerah dan masyarakat tidak dirugikan, karena adanya egoism jabatan pejabat pemerintah dan DPRD.

“Dana-dana harus jelas alurnya, jangan dimain-mainkan. Itu kebijakan,” kata Jaya lagi.

Anggota Komisi 3 DPRD Samarinda lainnya, Samri Syaputra mengatakan jika benar apa yang disampaikan dalam diskusi para anggota DPRD PPU, ada masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di sana. Seharusnya antara DPRD dan Pemerintah itu setara dan seiring sejalan dalam menyelenggarakan pemerintahan termasuk penganggaran APBD. Jika bupatinya jalan sendiri dan menninggalkan DPRD, lalu bagaimana fungsi kontrol DPRD yang merupakan tugas utamanya?

“Ini berbahaya bagi penyelenggaraan negara, kalau seperti itu,” kata Samri Syaputra.

Dia menambahkan, bahwa jika DPRD dan pemerintah tidak sejalan, maka yang terjadi seluruh kinerja pasti terganggu. Kerjanya setiap hari pasti ribut dan saling menyalahkan.

“Dalam kondisi seperti ini kasihan masyarakat yang sudah memilih dan mempercayakan amanah pemerintahan kepada mereka. Jadi jagan lupa bahwa pemerintah dan DPRD itu sama-sama mengemban amanah masyarakat, sehinga kita jangan kedepankan egoism dengan mengorbankan rakyat,” kata Samri lagi. #

Wartawan: M Sakir

Comments are closed.