BERITAKALTIM.CO- Kepergian Guru Bangsa Buya Syafii Maarif selama-lamanya, Jumat (27/5/2022), membuat rakyat Indonesia berduka. Kalangan pejabat menumpahkan kenangan-kenangan yang pernah dilalui bersama sang tokoh yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah itu. Begitu juga bagi kalangan penulis, mereka menumpahkan tulisan tentang kecintaannya merawat kebhinekaan di negeri ini.
Ada tulisan Hamid Basyaib, Dahlan Iskan hingga Syafril TH Noor. Ada juga statemen dari sejumlah tokoh atas kepergian Buya dipanggil Tuhan dalam usianya yang tak lagi muda, 85 tahun.
Berikut tentang Buya Syafii Maarif dan kumpulan tulisan tentang dirinya. Disampaikan untuk mengenang sang tokoh dan menjadi inspirasi generasi muda Indonesia.
BIODATA SYAFII MAARIF
Buya Syafii Maarif, lahir pada 31 Maret 1935 di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). Daerah tersebut mendapat julukan “Makkah Darat”.
Bernama lengkap Ahmad Syafii Maarif, beliau adalah putra pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah. Buya Syafii Maarif pernah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah berikut ini.
– Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus
– Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudur
– Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera
– Madrasah Muallimin
– FKIS IKIP (Universitas Negeri Yogya/UNY)
– Northern Illinois University (DeKalb)
– Ohio University (Athens)
– The University of Chicago
Karier Buya Syafii Maarif
– Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963)
– Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964)
– Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969)
– Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969)
– Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972)
– Asisten dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972)
– Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976)
– Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990)
– Profesor tamu di University of Lowa, AS (1986)
– Dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga, Yogyakarta (1984-1990)
– Dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990)
– Dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990)
– Dosen Senior (Pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)
– Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1992-1993)
– Professor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994)
– Professor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996)
Karir Organisasi
– Wakil ketua PP Muhammadiyah (1995-1998)
– Ketua PP Muhammadiyah (1998)
Gelar Buya Syafii:
– Gelar MA dalam ilmu sejarah di Ohio University, Athens, Amerika Serikat (1980)
– Gelar PhD dalam bidang pemikiran Islam
– Penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina (2008).
—————————————————————-
TULISAN 1
Tulisan-tulisan ini dimuat sebagai artikel di media-media online Indonesia. Dikutip secara utuh agar para pembaca memahami lebih dalam tentang kehidupan Sang Guru Bangsa Buya Syafii Maarif.
SENYUM MUJAHID SYAFII MAARIF
Oleh Hamid Basyaib
SEPEDA motor Honda CB 125 Pak Syafii Maarif memasuki kampus UII Jl Cik Di Tiro Jogja, lalu dengan langkah cepat ia menuju kantor majalah Himmah yang kecil di ujung koridor. Ia datang untuk rapat perkenalan dengan pengelola majalah mahasiswa itu. Ia tanpa banyak tanya langsung menerima permohonan untuk menjadi penasihat di sana.
Semua peserta rapat sudah siap, dan Pak Syafii berkata: “Sebelum rapat dimulai, saya ingin tahu yang mana yang namanya Hamid Basyaib.” Orang-orang tersenyum. Beberapa menyahut, “Itu yang persis di sebelah Bapak.” Ia kontan menoleh ke sebelah kanannya, memandangi saya dengan tajam beberapa saat, sebelum ia berkata, “Oh, Anda rupanya!” Ia tidak menyebut “kamu”.
“Tulisan Anda itu tidak benar! Fazlur Rahman tidak seperti yang Anda gambarkan. Dia adalah sarjana Muslim yang sangat bertanggung jawab terhadap Islam. Maryam Jameelah itu bukan tandingannya!” Setelah diam sejenak, “Tapi bahasa Indonesia Anda cantik! Bagus.”
Ia merujuk artikel tiga halaman berjudul “Fazlur Rahman” yang saya tulis di edisi terbaru majalah Himmah. Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan Pak Syafii terhadap gurunya di Universitas Chicago itu; tidak berani menyanggah karena modal saya pas-pasan, hanya berdasarkan buku kecil Maryam Jameelah (Margaret Marcus), eks penganut Yahudi yang antara lain menyebut Fazlur Rahman adalah musuh Islam dari dalam dan karenanya lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka.
Lagi pula Pak Syafii belajar bertahun-tahun dari pakar Islam Pakistan yang hebat itu, maka tentu ia lebih mengenalnya (dua tahun kemudian, Agustus 1985, saya sempat menemui Fazlur Rahman, tapi dalam status sebagai pengagum beratnya, saat ia dan isterinya hadir di diskusi di kampus IAIN Sunan Kalijaga dengan moderator Prof. Mukti Ali).
Sejak “insiden” itu kami akrab. Ia, katanya, sangat senang terhadap sikap saya, yang mengritiknya tapi pada saat yang sama memintanya menjadi penasihat majalah yang saya kelola. “Begitu semestinya orang Islam dalam berbeda pendapat! Perbedaan tidak menjadi permusuhan. Kita tetap harus bisa bekerja sama.” Tema ini lalu terus ditekankannya sampai bertahun-tahun kemudian — dengan hasil yang mengecewakannya.
*
Kadang Pak Syafii menjemput saya di kampus dan mengajak ke Pesantren Pabelan di dekat Ambarawa. Berboncengan di Honda CB-nya, kami bisa tiba cepat di Pabelan karena tidak melalui jalan raya. Ia hapal jalan-jalan tikus ke sana, masuk dan keluar kampung-kampung di sepanjang jalan Jogja-Pabelan. Sambil terguncang-guncang, saya tanya bagaimana ia bisa tahu jalan-jalan alternatif yang rumit itu. “Dulu saya sering lewat sini,” katanya.
Saya rasa dia enggan menjawab panjang bukan karena harus konsentrasi di tengah jalanan yang buruk. Itu mungkin karena ia enggan mengenang apa yang ia alami dulu: dari beberapa sumber saya dengar ia di masa mudanya sering berjualan kambing ke kampung-kampung untuk mendapatkan nafkah guna menghidupi keluarga kecilnya. Itu kisah yang terlalu panjang, dan pahit, untuk dituturkan oleh seorang doktor yang baru lulus dari universitas top Amerika dan sedang memegang setang motor dengan khusyuk.
Di ruang tamu rumah Kiai Hamam Dja’far di Pabelan, kadang ada Mas Dawam Rahardjo, Arief Budiman, Aldy Anwar, Armahedi Mahzar. Dua yang terakhir adalah tokoh-tokoh ITB, yang punya persambungan dengan Pabelan karena dihubungkan dengan para aktifis Yayasan Mandiri, sekumpulan aktifis mahasiswa ITB, antara lain Sugeng dan Mochtar Abbas, orang Aceh yang kemudian jadi lurah Pabelan berkat dukungan Kiai Hamam.
Aldy Anwar adalah kerabat Haji Agus Salim yang terkenal pintar sebagai mahasiswa Fisika, tapi tidak menyelesaikan studinya, namun menekuni peluang mengembangkan helio energy (sumber matahari) sebagai bagian penting dari ambisi besarnya untuk melahirkan masyarakat yang “hemat energi, kaya nilai”.
Kembali ke Jogja malam hari, Pak Syafii mengembalikan boncengannya ke tempat semula, kampus UII. Sebelum berpisah, ia memaksa saya menerima separuh honor yang didapatnya dari forum Pabelan. Saya menolak, tapi dia melesakkan uang itu ke kantong baju saya. Itu jumlah yang cukup besar untuk seorang mahasiswa miskin.
Padahal di forum itu saya cuma melongo melihat orang-orang pintar bertukar pendapat — yang saya sudah lupa apa isinya — dan tidak ada seorang pun yang mempedulikan kehadiran saya, dan sewajarnya mereka bersikap begitu. Hanya saya sendiri yang peduli terhadap tindak-tanduk setiap peserta, misalnya tentang Mas Dawam Rahardjo, yang bersarung dan menggerogoti apel sendirian, yang cuma bikin ngiler.
Kesibukan masing-masing membuat kami tidak bisa berjumpa sesering dulu. Tapi suatu siang Pak Syafii menjemput saya dan mengajak melihat rumah yang sedang dibangunnya di kompleks baru Nogotirto, di Godean. Kami pun melihat-lihat, menerobos barisan kayu yang malang melintang, dan ia menerangkan calon ruang yang ada satu per satu.
“Lumayan besar rumahnya, Pak,” saya bilang tentang bangunan sekitar 120 m2 itu. “Ya, ini sebetulnya terlalu besar,” ucapnya. Ini hanya untuk anak dan isteri saya. Kalau saya sendirian, saya cukup indekos di satu kamar saja.”
*
Suatu sore saya mengunjunginya di kampus IKIP tempat ia mengajar. Kabarnya ada ruang baru untuk dosen. Maka saya datang untuk melihat keadaannya. Ternyata yang dimaksud “ruang dosen” itu berupa kamar-kamar 2,5 x 2,5 meter persegi (mungkin juga lebih kecil) yang berbaris seperti WC umum. Saya lihat Pak Syafii seperti terhimpit di antara timbunan buku di meja dan barisan bukunya di rak seadanya.
“Beginilah nasib dosen negeri, kalau Anda mau tahu,” katanya. “Doktor lulusan Amerika pun hanya mendapat ruang kerja begini saja.”
Saya berbasa-basi menghiburnya, meski saya sebetulnya kaget melihat kondisi yang tidak layak itu. Memang mudah disimpulkan bahwa perguruan tinggi kita umumnya tidak memuliakan ilmu meski hal itu adalah urusan utamanya. Spirit itu terlihat dari kondisi ruang dosen yang disediakan.
Universitas kita jauh lebih mementingkan aspek-aspek birokrasi pendidikan dan kepangkatan. Ruang dekan jauh lebih baik daripada ruang dosen. Gedung rektorat pasti merupakan gedung yang paling mentereng di seantero kampus — ruang laboratorium harus dipastikan berada di pojok yang sangat sulit ditemukan. Kini, 40 tahun sejak saya mengunjungi Pak Syafii Maarif di ruang kerjanya yang mini, saya tidak melihat perubahan berarti dalam piramida sosial di kampus-kampus kita.
*
Ahmad Syafii Maarif pulang ke Jogja dari Chicago di akhir 1983 dengan battle cry “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!” Inilah judul wawancaranya di majalah Prisma; dan diulanginya dalam banyak kesempatan. Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, “Ihya Ulumuddin”.
Sudah jamak dianggap oleh kalangan pembaru Islam bahwa kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Kalangan Syiah biasanya menyanggah anggapan “kemacetan berpikir” ini dengan menyatakan bahwa itu hanya terjadi di wilayah Sunni. Sedangkan di kalangan penganut Syiah, pemikiran tetap subur; para ulama Syiah biasanya juga merangkap filosof — status yang dianggap identik dengan ketekunan berpikir.
Pengaruh Ghazali sedemikian besar, sampai seorang orientalis Inggris, Montgomery Watt, memastikan bahwa sufi Persia itu adalah orang kedua terpenting dalam Islam setelah Nabi Muhammad dalam mempengaruhi pikiran umat Islam.
Syafii Maarif — yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktifis pembaru Islam, mungkin karena berasal dari Universitas Cokroaminoto Jogja yang kurang ternama — dengan caranya sendiri ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed dan beberapa lainnya.
Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat — meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).
Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman. Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel — semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.
Saya terlalu muda untuk punya hak hadir di acara yang sangat terbatas itu. Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, “ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya”, sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya.
Sambil berjalan keluar dari hotel, Pak Syafii bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”
“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.
“Lho, kenapa?”
“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”
Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”
Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. “Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”
*
Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic studies itu.
Sampai hari-hari terakhirnya, Syafii Maarif — yang dulu kumis tebalnya membuat ia mirip bintang Hollywood Burt Reynolds — menjalankan peran mujahid itu dengan caranya sendiri. Ia terus meneriakkan battle cry “Umat Islam seribu tahun berhenti berpikir”, dengan beragam elaborasi.
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian “Buya Guru Bangsa”, belakangan ia mengungkapkan kepedihan hati dan pesimismenya terhadap masa depan Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya tentang kondisi umat Islam beserta corak pemikiran keagamaannya.
Ia tak henti meratapi apa yang dipandangnya sebagai kehancuran moralitas elit dan warga dalam berbangsa dan bernegara, dengan nada pesimistik yang terasa terlalu getir dan melampaui situasi sebenarnya.
*
Barangkali Pak Syafii sengaja menaifkan diri dalam menyuarakan kerisauannya tentang Indonesia. Ia tentu tahu state policies, beserta dampak-dampaknya pada kehidupan sosial warganegara, adalah urusan yang jauh lebih kompleks untuk dinilai semata-mata berdasarkan patokan ahlak religius, perangkat tunggalnya dalam melontarkan kritik-kritiknya yang keras — terhadap pejabat negara, juga elit-elit ormas Islam radikal.
Tapi suara moral Syafii Maarif, yang telah ditabungnya sejak ia remaja di kampung halamannya di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tetaplah diperlukan, termasuk untuk urusan-urusan yang dianggap tak relevan untuk dicampuri oleh mode ahlak individual. Baginya, segala macam perkara di dunia yang sementara ini — dari soal kebersihan WC umum di terminal bis sampai hubungan-hubungan internasional yang rumit dan berdimensi luas — adalah untuk keperluan menyejahterakan Manusia — dengan M.
Dan untuk itu semua orang yang mengenalnya cukup dekat pasti mengerti bahwa kehidupan dirinya sendiri adalah monumen yang meyakinkan tentang kebenaran apa yang disampaikannya. Ia sahih. Kerisauannya yang diungkapkan dengan sepenuh kesungguhan tercetus dari kemanusiaannya yang tulus; dari kejujurannya yang tanpa ampun; dari kesederhanaan perilakunya. Dan pasti juga dari ketidakpeduliannya pada pemilikan harta benda.
Ia, yang sampai berumur 40an mencita-citakan terbentuknya Negara Islam di Indonesia, seakan menjalani hidup dengan kemurungan konstan. Tetapi saya kira jenis kemurungan semacam itulah yang justeru memberinya energi besar untuk mencapai usia 87 tahun.
Kini ia tak lagi murung. Sejak pukul 10 pagi tadi, ia selalu tersenyum. *
Tulisan Hamid Basyaib ini sudah diterbitkan di media obline:
https://www.rmollampung.id/senyum-mujahid-syafii-maarif
==///////////////////////
TULISAN 2
Buya Perhatian
Oleh: Dahlan Iskan
Sabtu 28-05-2022
(Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB. Foto: ANTARA FOTO/Luqman Hakim)
”Tidak boleh lama sakit, Bung Dahlan, semoga cepat pulih, amin. Maarif.”
WA beliau itu masih saya simpan sampai sekarang. Itulah doa Buya Syafii Maarif ketika saya kena Covid-19 Januari tahun lalu.
Ternyata itu WA kedua terakhir beliau. Beliau meninggal dunia Jumat pagi kemarin. Mantan Ketum Muhammadiyah itu sudah disepakati sebagai guru bangsa. Toleran. Sejuk. Mengayomi. Akomodatif.
Orang itu memang berbeda. Pun ketika sama-sama Islam. Sama-sama Muhammadiyah. Bahkan sama-sama orang Minang. Buya Maarif, yang meninggal di Yogyakarta akibat sakit jantung, memang istimewa.
Itu ternyata WA beliau kedua sebelum terakhir. Setelah itu, beliau masih kirim WA sekali lagi. Yakni, ketika saya menulis tentang D-dimer saya yang terlalu tinggi –setelah kena Covid.
”Bung DI yg baik, saya baru baca ’Penantian D-dimer’ sambil merinding, maklumlah sudah 85 tahun. Aduh, ya Allah, berilah Bung Dahlan ini kesembuhan, bgs ini msh sangat memerlukannya, amin. Maarif.”
Semua WA beliau saya balas dengan tawaduk. Saya sangat menghormati beliau. Waktu saya menjadi sesuatu dulu, saya menghadap beliau. Kebetulan beliau di Jakarta. Tinggal di sebuah apartemen yang sederhana –untuk ukuran tokoh sekelas beliau.
Yang saya belum pernah adalah: ke rumah beliau di Yogyakarta. Di daerah Gamping, Sleman. Padahal, rumah itu terkenal sekali. Siapa pun pernah ke rumah itu. Yang Muhammadiyah. Yang NU. Yang Kristen. Yang Konghucu.
Dan para tamu itu selalu diajak Buya makan tongseng. Yakni, di sebuah warung tongseng yang jadi langganan Buya.
Sejak tidak jadi apa-apa lagi, saya sebenarnya kehilangan nomor HP beliau. Juga, tidak pernah kontak lagi. Saya sangat sibuk dengan urusan yang Anda sudah tahu itu.
Sampailah tahun 2020. Ketika Covid melanda kita. Tak disangka saya menerima WA dari beliau. Rupanya beliau masih menyimpan nomor saya.
Kelihatannya beliau baru saja membaca Disway dengan judul Milenial Nakal. Beliau WA saya untuk minta nomor telepon Al Ghozi yang jadi tema tulisan itu. Beliau ingin menyarankan agar Ghozi bisa dimanfaatkan BNPB. Yakni, lembaga yang menangani Covid, yang waktu itu dipimpin Jenderal Dony Monardo.
”Sudah, Buya. Ghozi sudah tidur di kamar sebelah saya,” ujar Monardo suatu saat. Respons Jenderal Monardo itu di-forward ke saya.
Lalu, beliau WA saya lagi. Rupanya baru saja membaca Disway tentang dr Andani yang dari Padang itu. Yang menemukan cara meningkatkan kapasitas lab pemeriksaan Covid sampai empat kali lipat.
Buya sangat perhatian dengan anak-anak muda berprestasi seperti itu. Inilah WA beliau tentang dokter Andani:
”Baru sy ikuti dg air mata wawancara Bung Dahlan dg Dr Andani. Matur nuwun sanget. Apkh Jend. Monardo sdh kontak dg manusia hebat dari Unand ini? Mhn juga sy diberi WA-nya. Maarif.”
Tidak lama setelah itu, saya dengar dokter Andani sudah menjadi orang BNPB pusat. Pergi ke mana-mana. Ke seluruh Indonesia. Sampai ia sendiri terkena Covid. Kadang ia bersama Monardo dan bersama Al Ghozi. Termasuk ke Surabaya. Ikut merancang peningkatan kapasitas lab milik Pemkot Surabaya.
Perhatian Buya pada penanganan Covid memang luar biasa. Beliau bahkan kirim surat ke Presiden Jokowi. Yang isinya tersiar luas di medsos. Yakni, soal kematian para dokter yang menangani Covid-19.
”Negara bisa oleng,” tulis beliau ke Presiden Jokowi.
Saya pun menghubungi dua orang kemarin. Yang tahu banyak tentang Prof Dr Syafii Maarif. Yang lulusan IKIP Yogyakarta, Ohio University, dan Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Dua orang itu: Budi S. Tanuwibowo dan dokter Jagaddhito Probokusumo.
Pak Budi adalah ketua Konghucu Indonesia. Bung Jagaddhito adalah calon spesialis jantung dan pembuluh darah, yang kini lagi menjalani residen di RS Sardjito Yogyakarta. Ia putra mantan rektor ITS, seorang ahli teknik sipil, Prof Dr Ir Priyo Suprobo.
Tulisan dokter Universitas Airlangga itu bisa dibaca di bagian lain Disway hari ini. Betapa Buya memberikan perhatian besar kepada anak muda.
Baca Juga: Guru Bangsa
Sedang Budi pertama mengenal Buya saat sama-sama ke Filipina. Yakni, ketika menghadiri dialog antar-iman di sana.
”Setiap makan pagi, saya satu meja dengan beliau. Waktu itu, sekitar 20 tahun lalu, makan saya banyak. Itu membawa kesan mendalam buat beliau,” katanya. ”Setiap kali bertemu lagi, beliau selalu mengingat selera makan saya itu,” tambahnya.
Suatu ketika, ujar Budi, Buya ke kelenteng. Minta dijelaskan apa itu popwe. Yakni, kocokan potongan bambu yang diberi nomor itu. Beliau pun mencobanya.
Lalu, giliran Budi ke forum Muhammadiyah. Waktu itu Buya lagi bicara dengan sekelompok warga Muhammadiyah. ”Melihat saya datang, beliau minta saya duduk di meja itu. Pembicaraan sebetulnya bersifat intern, tapi beliau mempersilakan saya ikut mendengar,” ujar Budi. ”Kan Pak Budi orang kita sendiri. Tidak apa-apa,” ujar Buya seperti ditirukan Budi.
Terakhir Budi diundang lagi ke Yogyakarta. Ketua umum Muhammadiyah-nya sudah Pak Haedar. ”Saat makan siang, kami berdiskusi banyak hal mengenai Islam dan Konghucu. Kami sama-sama meyakini bahwa kalau ada keadilan tak akan ada persoalan yang mengganggu persatuan. Kalau ada keadilan, takkan ada persoalan kemiskinan,” ujar Budi.
Lain hari Budi menemui Buya. Tujuannya: minta Buya bersedia diangkat menjadi anggota kehormatan Konghucu. ”Tanpa pikir panjang, beliau langsung setuju,” ujar Budi.
Terakhir Budi menemui Buya menjelang Covid lalu. Ia berharap agar Buya mau menjadi pembicara dialog Islam-Konghucu. Beliau bersedia, tapi tidak mungkin lagi. Buya sudah tidak bisa lagi pergi jauh.
Sebenarnya masih ada yang ingin ditunjukkan Budi ke Buya: kini pola makan Budi sudah berubah drastis. Berat badannya sudah turun banyak. “Tinggal” 103 kilogram.
”Mudah-mudahan di surga sana beliau masih bisa melihat perubahan makan saya,” ujar Budi yang dulu bersama saya mengurus organisasi barongsai Indonesia.
Buya, saya mohon maaf. (Dahlan Iskan)
Tulisan Dahlan Iskan sudah dimuat media-media online, diantaranya oleh:
https://nomorsatukaltim.com/index-berita/disway/catatan-dahlan-iskan/ns-20220528/buya-perhatian/
==================================
TULISAN 3
Buya Syafii
Catatan Syafril Teha Noer
DI ANTARA banyak hal tentang Buya Ahmad Syafii Maarif yang berpulang di hari utama, Jumat (27/5), beberapa yang terbuhul oleh interaksi langsung ini sulit dilupakan. Pertama, saat beliau mengajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua, ketika kami bersua pada reuni akbar tahun keseratus madrasah, di mana beliau juga pernah belajar itu.
Resminya, Buya adalah guru Bahasa Inggris kami di kelas empat Muallimin tahun 1975. Tak resminya, bersamaan dengan itu beliau tularkan pula disiplin waktu, apresiasi sastra, terutama puisi, serta sejarah dan politik. Catat. Pelajaran politik bagi murid setara satu SMA.
Selalu tanpa ke ruang guru. Usai memarkir sepeda motor butut yang pasti kalah laju dari sepeda motor sebagian kami, kerap sudah di kelas 5 sampai 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Ruangan kosong. Kami masih istirahat pertama atau kedua. Beliau biasa menunggu sambil membaca. Kelak pelajaran dimulai dengan puisi. Salah satu yang paling kami ingat adalah karya John Cornford, berjudul Huesca terjemahan Chairil Anwar.
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku
Angin bangkit ketika senja
Ngingatkan musim gugur akan tiba
Aku cemas bisa kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku
Di batu penghabisan ke Huesca
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita
Kenanglah sayang dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada
Dan jika untung malang
Menghamparkan daku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
***
John Cornford adalah penyair Inggris, relawan dalam perang saudara di Spanyol. Sebagaimana Chairil, usianya sangat singkat. Lahir 27 Desember 1915, dan tewas ketika berperang mempertahankan Madrid dan Boadilla di Cordoba, sehari setelah ulang tahunnya yang ke-21.
Huesca ditujukan kepada kekasihnya sesama aktivis, Margot Heinemann. Ditulis pada usianya yang ke-20. Entah kebetulan entah disengaja. Cornford adalah seorang komunis. Dan pelajaran hari itu dimulai Buya dengan menyuruh kami menyalin artikel berbahasa Inggris tentang kejatuhan Vietnam Selatan ke tangan Vietnam Utara, 30 April 1975, menandai penyatuan Vietnam di bawah rezim komunis.
Setelah penjelasan tentang gramatika Inggris, artikel di papan tulis tadi dihapus. Buya menggantinya dengan gambar peta wilayah negara-negara di Semenanjung Indochina. Mencakup wilayah bekas jajahan Perancis, Vietnam, Kamboja, serta Laos. Selebihnya adalah Myanmar, Thailand, dan sebagian Malaysia.
Politik global masa itu sedang dalam Perang Dingin. Blok Barat pimpinan Amerika sedang bermuka-muka dengan Blok Timur di bawah Uni Soviet dan China. Namanya saja yang ‘perang dingin’. Dari waktu ke waktu nyatanya makin panas. Masing-masing terus memperluas hegemoni.
Presiden Amerika Dwight D. Eisenhower mengingatkan ‘efek domino’ pada penetrasi komunisme. Seperti permainan domino atau gaple, begitulah komunisme pada pandangan Amerika memperluas pengaruh dari satu ke lain negara sambung-menyambung. Setelah Vietnam, bukan mustahil Asia Tenggara.
Pandangan itu pula yang memberi Amerika ‘alasan’ untuk terlibat dalam perang Vietnam lewat bantuannya ke Vietnam Selatan, yang nyatanya mubazir itu. Hari ini Uni Soviet sudah bubar. Kecuali Rusia yang masih bisa melotot ke Amerika, yang tersisa tinggal negara-negara kecil di Balkan. Komunisme dianggap sudah tidak lagi mengancam. Sebab China pun sudah sekapitalistik Amerika. Keduanya hanya dibedakan oleh sistem politik dan sosial.
Tapi kami di Muallimin kala itu, bahkan dunia, jelas masih jauh realitas sekarang. Terutama sejak tahun 1965, tahun 1970-an komunisme masih teramat horor. Sekencang apa pun cinta berdegup, berpacaran dengan anak atau cucu mantan penganut komunis dihindari. Keterpaparan paham itu diwaspadai. Sungguh bagai terhadap virus Corona tempohari.
Maka uraian-uraian Buya tadi, ditambah catatan-catatan bagaimana kaum beragama menjadi musuh utama komunisme, jelas amat memukau dan mencekam kami. Seakan Saigon, ibukota Vietnam Selatan yang direbut Vietnam Utara itu, terletak di samping Kulon Progo – cuma 30-an kilometer dari Yogyakarta.
Sayangnya, tak lama Buya bersama kami. Beliau harus meneruskan studi sejarah di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika – di mana kelak terlibat dalam kajian Al-Quran bersama tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, beliau berdiskusi intensif dengan dua tokoh nasional, Nurcholish Madjid dan Amien Rais.
Alih-alih ke Bahasa Inggris, pesona Buya lewat ‘four in one’ pelajaran tadi, tak ayal memantik penasaran. Saya malah tergoda, pingin tahu. Kebetulan, selama studi di Amerika buku-buku beliau dititipkan di salah satu kamar asrama Muallimin. Tapi pintunya terkunci rapat. Kuncinya dalam lemari pembimbing yang juga terkunci rapat. Konon, karena ada buku tentang komunisme di situ.
Lho, justru! Saya melihat peluang suatu hari. Ada ‘anak jendela’ di sisi luar kamar itu. Cukup untuk badan saya. Sebentar kemudian saya sudah di dalamnya. Mencari-cari. Ketemu. Tentang Marxisme dan Buku Merah Mau Tse Tung – Bapak Komunis China. Saya bolak-balik halamannya.
Alhamdulillaah. Tak satupun yang nyangkut dan saya pahami. Adegan curi baca ini tak saya ceritakan saat kami berbincang di sela Reuni Akbar tahun ke-100 Muallimin di Yogyakarta, 33 tahun sejak Buya tak lagi mengajar kami secara langsung. Namun kalimat beliau di waktu berbeda, juga di kelas empat, saya ucapkan ulang. Di depan beliau. “Bagi saya, tidak penting; mau dianggap Muhammadiyah atau bukan. Bahkan mau dianggap muslim atau bukan. Karena yang terpenting adalah bagaimana Tuhan akan menganggap saya”. Begitu bunyinya.
Buya menatap rada dalam. Tersenyum. Lalu meninju perut saya, seraya berkata, “Ingat saja Anda ya?” Kami, murid-murid yang masih merasa murid di usia yang tak lagi muda, serempak tertawa. Tidak ingat, dalam kaitan apa beliau mengucapkan itu. Tapi, terutama bagi saya, jelas sangat membekas.
Apalah arti ‘anggapan’ bila hanya bermakna sentimen sempit kelembagaan, asesoris, simbol-simbol, busa-busa, yang hanya memupuk takabbur hampa? Ormas, kendati pun tetap sangat penting, sejatinya ‘hanyalah’ cara atau ‘jalan’ menuju anggapan Tuhan. Tidak boleh lebih penting dari Tuhan.
“Karenanya, bagaimana Tuhan akan menerimamu, menganggapmu, itulah pokok-pangkal masalah kita sebagai manusia”. Demikian seolah Buya menitipkan pesan-wasiat.
Tiga hari lagi, 31 Mei, usia Buya genap 87 tahun. Tahun lalu pelukis Jumaldi Alfi lewat Yayasan Seni Sarang memelopori penerbitan buku kumpulan tulisan sejumlah tokoh perempuan, menandai 86 tahun usia beliau. Judulnya Ibu Kemanusiaan. Komunitas Ladang terlibat dalam peredarannya di Kalimantan Timur.
Tahun ini penandaan demikian agaknya tak lagi diperlukan. Buya sudah membuat sendiri penandaan-penandaan lewat berjibun sumbangsih. Tanda cinta beliau untuk semua yang masih menunggu giliran pulang, seperti penggalan empat baris terakhir puisi yang dulu beliau bacakan,
Dan jika untung malang
Menghamparkan daku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.
Terima kasih, Buya. ***
Tulisan Syafril Teha Noer ini sudah tayang di:
https://kaltim.prokal.co/read/news/399526-buya-syafii.html
=======================================================
Cerita Mereka Mengenang Guru Bangsa
- Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenang Buya Syafii sebagai teladan. Dia mendatangi kediaman Syafii Maarif di Kabupaten Sleman, Sabtu (26/3) lalu, kemudian sempat menjenguk Syafii Maarif di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Sleman. Syafii Maarif kemudian wafat.
“Selamat jalan Sang Guru Bangsa,” kata Jokowi lewat akun Twitter-nya.
Presiden Jokowi datang ke Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, untuk melayat almarhum Ahmad Syafii Maarif. Selain itu, Jokowi juga melepas almarhum Buya Syafii untuk dimakamkan sore ini. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Di Masjid Gede Kauman Yogyakarta, Jokowi menyatakan Syafii Maarif adalah kader terbaik Muhammadiyah yang senantiasa menyarakan keberagaman dan toleransi beragama. Selain itu, Syafii Maarif juga tidak hidup bermewah-mewah.
“Beliau guru bangsa, hidup dalam kesederhanaan,” kata Jokowi.
- Wapres Ma’ruf Amin
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengenang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu. Dia menilai Syafii Maarif adalah ulama moderat.
“Keteladanan beliau wajib kita teruskan. Sebagai guru bangsa, pemikiran-pemikiran beliau sangat menyejukkan, moderat, dan dapat diterima lintas generasi,” kata Ma’ruf dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (27/05).
- Amien Rais
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, turut berbela sungkawa. Dia mengenang koleganya di ormas Islam tertua di Indonesia itu. Amien yang kini memimpin Partai Ummat menganggap Syafii Maarif sebagai sahabatnya.
“Pada hari ini saya berdukacita sangat mendalam karena sahabat saya, karib saya, sejak muda sampai setua ini, saya sebagai saksi bahwa dalam kehidupan yang panjang almarhum telah banyak jasanya buat Muhammadiyah, buat bangsa kita,” ucap Amien dalam video seperti dilansir laman detikcom.
- Din Syamsuddin
Masih dari kolega Muhammadiyah, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap agar ada kader yang meneruskan karakter Syafii Maarif. Lebih dari itu, wafatnya Syafii Maarif bukan terbatas sebagai kehilangan Muhammadiyah saja.
“Tapi bagi bangsa Indonesia dan dunia Islam,” ujar Din.
- Sri Sultan HB X
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan kepergian Syafii Maarif merupakan kehilangan bagi Yogyakarta. Sultan mengenang sosok Syafii Maarif sebagai pria sepuh berwawasan luas.
“Tapi lembut di dalam membangun komunikasi dengan kearifannya,” kata Sultan.
- Putri Gus Dur
Putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid, menyatakan Buya Syafii adalah sosok yang berhati bersih dan bernurani jernih. Almarhum semasa hidup adalah tempat Alissa meminta petuah. Tokoh Muhammadiyah itu juga merupakan sosok yang dihormati ayahnya.
“Buya adalah tokoh yang sangat dihormati #GusDur,” kata Alissa.
- Jusuf Kalla
Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK) menyebut Syafii Maarif sebagai pembimbing bangsa Indonesia. Jasa Syafii Maarif tidak terbatas pada Muhammadiyah saja, tapi juga berjasa bagi Indonesia.
“Kami sekeluarga dan seluruh pengurus Dewan Masjid Indonesia mengungkapkan duka cita yang mendalam atas berpulangnya almarhum bapak Syafii Maarif yang selama ini menjadi guru bangsa, negarawan pembimbing kita semua,” kata JK dalam keterangannya.
Hubungan JK dan Ahmad Syafii Maarif terbilang sangat dekat. Istilah JK sebagai the real Presiden saat mendampingi SBY selaku wakil Presiden, terlontar dari almarhum. Yang kemudian diluruskan oleh Jusuf Kalla, bahwa dirinya seorang the real vice President.
- Mahfud Md
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menyebut Syafii Maarif sebagai tokoh besar. Ide-ide Syafii harus dilanjutkan oleh generasi muda supaya Indonesia bisa rukun, bersatu, kompak, dan saling membantu. Syafii mengajarkan kosmopolitanisme. dan memedomani Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara.
“Kehilangan seorang tokoh besar Buya Syafii Maarif meskipun beliau bukan seorang ningrat bisa disebut seorang bangsawan. Bangsawan dalam arti bahwa dia selalu berpikir untuk kepentingan bangsanya sampai saat-saat terakhir,” kata Mahfud ditemui di Masjid Gedhe Kauman.
Menko Polhukam Mahfud Md Foto: Rahmatia Miralena/detikcom
Lebih lanjut, Mahfud menceritakan bahwa dirinya punya kenangan yang dalam dengan Buya. Dulu dia merupakan asisten Buya. “Saya mengajar itu bersama Pak Syafii saya sebagai asistennya saya punya kenangan yang cukup dalam,” ucapnya.
Bersama Buya, Mahfud mengajar mata kuliah Pancasila 2 selama satu semester. “Saya adalah asisten Pak Syafii ketika mengajar mata kuliah Pancasila 2. Pancasila 2 itu pancasila filsafat kenegaraan,” tutupnya.
- Ahok
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok juga turut berbela sungkawa atas kepergian Syafii Maarif. Di mata mantan Gubernur DKI yang kini duduk sebagai Komisaris Utama Pertamina ini, Syafii Maarif adalah sosok teladan dalam keberagaman.
“Bangsa Indonesia sangat kehilangan negarawan seperti beliau yang telah menjadi teladan dan insipirasi bagi kami dalam merawat kebinekaan,” kata Ahok.
- Ketua MPR Bambang Soesatyo
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengenang ajaran Syafii Maarif untuk bersaudara dalam perbedaan. Dia juga mengenang kisahnya yang mengagumi Syafii Maarif sebagai wartawan.
“Sebagai orang yang pernah menggeluti dunia jurnalistik, saya punya kekaguman tersendiri terhadap Buya Syafii Maarif. Analisis dan tulisan Buya sangat tajam dan mendalam. Keberpihakannya kepada kebenaran dan keadilan jauh melampaui para jurnalis pada umumnya. Lebih dari itu, Buya adalah sosok negarawan yang istiqomah membela kebinekaan dan kemajemukan demi keutuhan NKRI,” jelas Bamsoet.
Menag hingga Menteri BUMN
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menyebut Syafii Maarif sebagai guru bangsa. Menurutnya, Syafii Maarif bukan hanya intelektual namun juga ulama.
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam…,” ucap Yaqut mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Imam al-Tabrani dan al-Baihaqi.
Menag Yaqut Cholil dan istri saat ditemui di Leteh, Rembang. Foto: Mukhammad Fadlil/detikJateng
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketum Partai Golkar mengaku sangat kehilangan sosok panutan. Dia bakal rindu dikritik Syafii Maarif.
“Wejangannya, nasihatnya, dan kritik-kritiknya, akan kami rindukan. Saya mewakili seluruh kader Golkar di seluruh nusantara menyampaikan duka mendalam, dan mendoakan agar Buya Syafii mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin,” ujar Airlangga.
Menteri Koordinator Bidang Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate merasa Indonesia kehilangan pengayom bangsa. Syafii adalah panutan kemajemukan bangsa dan jangka negara.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menuturkan kepergian Syafii Maarif adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Syafii perlu diteladani semua orang. Syafii adalah pengawal toleransi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga berduka. Dalam kenangannya, Syafii Maarif adalah sosok yang berkontribusi pada perkembangan perekonomian nasional serta beragam tatanan kebijakan dalam kehidupan berbangsa. Sumbangsih Syafii tak ternilai dan perlu dilanjutkan.
Erick Thohir, Menteri BUMN, mengenang masa-masa saat Almarhum masih giat menulis di kolom Resonansi milik koran Republika. Erick dulu duduk sebagai Direktur Utama di surat kabar itu. 18 Tahun Syafii Maarif menyumbangkan buah pikirannya.
“Tak berlebihan jika kami semua memanggilmu Guru Bangsa. Lewat kegigihan Buya Syafii dalam pengajaran dan konsistensi beliau dalam menulis, kita semua bisa memiliki cakrawala berpikir yang lebih luas lagi,” kata Erick.
Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menilai Syafii sebagai sosok yang ramah dan toleran. Syafii senantiasa mengingatkan Islam yang ramah. Hal ini disampaikan oleh Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani.
- BPIP
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengenang Syafii sebagai ulama dan pemikir Islam kontemporer. Syafii juga menjadi guru dan juga berperan menghantarkan dirinya memperoleh beasiswa untuk studi lanjut di McGill University dan mengajar di School of Law, Harvard University.
Buya Syafii yang telah menjadi anggota Dewan Pengarah BPIP juga telah menulis lebih dari puluhan buku yang sebagian besar mengulik isu pembumian Islam, pendidikan, hingga Kebhinekaan.
Seperti bukunya yang berjudul; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (1985), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993), Membumikan Islam (2019) dan karya-karya lainnya.
Melalui karya-karya dan kontribusinya pada tahun 2008 Buya Syafii juga dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
Buya juga pernah memimpin Muhammadiyah dengan ditunjuk sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dari tahun 2000 hingga tahun 2005. Sementara pada tahun 2017 Buya Syafii dilantik sebagai Dewan Pengarah BPIP RI yang saat itu masih bernama Unit Kerja Presiden (UKP) Pembinaan Ideologi Pancasila.
“Berpulangnya Buya Syafii merupakan kehilangan besar bagi Bangsa Indonesia. Tulisan dan gagasan beliau yang mengedepankan hati nurani di atas kepentingan politik sesaat selalu menjadi oase bagi apatisme publik,” ungkap Yudian dalam keterangan tertulis.
Sebagian artikel ini ditayang ulang dari detiknews, “Ragam Kisah Mengenang Guru Bangsa Buya Syafii Maarif yang Berpulang” selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-6098969/ragam-kisah-mengenang-guru-bangsa-buya-syafii-maarif-yang-berpulang. #
Editor: wong | dari berbagai sumber
Comments are closed.