BeritaKaltim.Co

Begini Pemerintah Mengatur Pelanggaran Perdagangan Karbon Hutan

BERITAKALTIM.CO- Bisnis karbon mulai sering dibicarakan. Bahkan Pemerintah sudah berupaya membackup dengan berbagai regulasi, termasuk upaya menindak tegas pelanggaran perdagangan karbon hutan di Indonesia.

Regulasi yang diturunkan Pemerintah adalah penerbitan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mendukung penerapan sanksi pelanggaran perdagangan hutan karbon melalui penerbitan PermenLHK 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tata kelola perdagangan karbon di Indonesia.

“Berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur karbon dimaksud, maka entitas bisnis pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang akan melakukan perdagangan karbon, diwajibkan mengikuti regulasi tersebut, dan bagi entitas bisnis pemegang PBPH yang tidak mentaati regulasi tersebut akan dikenakan sanksi,” ujar Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (PUPH) Khairi Wenda dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/3/2024).

PERDAGANGAN KARBON DI INDONESIA

Pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri.

Hal ini menepis anggapan bahwa pasar karbon Indonesia untuk luar negeri tertutup dan perdagangan karbon luar negeri melalui transfer unit karbon dapat dilakukan tanpa otorisasi pemerintah.

Berdasarkan aturan, penguasaan negara atas sumber daya alam dilakukan untuk kemakmuran rakyat sehingga mengharuskan pasar karbon Indonesia diatur pemerintah.

Di sisi lain, konvensi internasional menyerahkan kepada negara masing-masing untuk mengatur perdagangan internasional berdasarkan prinsip-prinsip yang telah digariskan menurut kepentingan nasional.

Hal ini termasuk untuk memenuhi kewajiban pemenuhan NDC negara yang telah menjadi komitmennya.

Lebih lanjut, Khairi menjelaskan salah satu bentuk sanksi atas pelanggaran perdagangan karbon hutan yakni dengan melakukan pembekuan dan pencabutan izin konsesi kehutanan oleh KLHK.

Hal ini termasuk pencabutan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.146/Menhut-II/2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam kepada PT. RRC atas Areal Hutan Produksi seluas + 36.331 hektare di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Khairi mengungkapkan pencabutan tersebut disebabkan PT. RRC selaku pemegang PBPH antara lain telah melakukan pemindahtanganan perizinan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari Menteri LHK, melakukan transaksi perdagangan karbon lebih luas dari areal perizinan (PBPH) yang dimiliki, melanggar perjanjian kerja sama dengan Taman Nasional Tanjung Puting, serta dinilai tidak membayarkan PNBP sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

PENEGAKAN PERATURAN

Khairi pun menambahkan, penerapan sanksi tersebut merupakan penegakan peraturan dalam perdagangan karbon di Indonesia. Selain merupakan ketaatan terhadap konstitusi, penerapan sanksi ini juga dalam rangka mencegah double counting dan double claim antar negara guna menurunkan emisi karbon sesuai Paris Agreement, yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2.0 derajat celcius dan upaya menuju 1.5 derajat celcius.

Dalam Perpres 98 Tahun 2021 dan PermenLHK 21/2022, telah diatur tata cara pelaksanaan perdagangan karbon antara lain sebagai berikut:

a. Pelaku usaha/kegiatan mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam Sistem Registri Nasional (SRN).

b. Pelaku usaha/kegiatan dalam menghitung penurunan emisi GRK harus sesuai dengan prinsip MRV (Measurable, Reportable, Verifiable) cara penghitungan yang sesuai dengan standard nasional dalam sistem dan metoda Indonesia (SNI) merujuk kepada metodologi IPCC serta sudah disepakati secara nasional melalui Panel Metodologi di KLHK. Kompatibilitas terhadap perdagangan yang sudah terjadi sejak lama bisa dilakukan dengan penyesuaian dalam prosedur yang sederhana sehingga tidak akan menyulitkan pihak-pihak pelaku perdagangan karbon.

c. Apabila penurunan emisi GRK yang telah dihitung akan diperdagangkan maka harus diubah ke dalam bentuk Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) melalui proses sertifikasi. SPE menjadi alat tukar yang bernilai moneter.

d. Untuk melakukan perdagangan karbon luar negeri, perlu dilakukan otorisasi sehingga dapat diketahui seberapa besar karbon yang diperdagangkan, ke mana karbon tersebut akan ditujukan, termasuk berapa harga atau nilai karbon dimaksud. Otorisasi tersebut dilakukan juga untuk menghindari terjadinya kontrak karbon yang tidak terkendali yang selain dapat mengakibatkan hilang potensi negara juga mempengaruhi tata kelola pengelolaan hutan. #

Sumber: Detikcom

Leave A Reply

Your email address will not be published.