BeritaKaltim.Co

Pokja 30 Soroti Proyek Terowongan Samarinda

BERITAKALTIM.CO – Berita mengenai pembangunan terowongan Sungai Damak Samarinda yang tidak disertai AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) sampai juga ke Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kaltim. Buyung Marajo. Dia menaruh perhatian khusus mengenai masalah itu dan menduga tidak terlibatnya anggota DPRD sebagai wakil rakyat ketika merencanakan proyek itu.

“Bagaimana ini, anggota dewan saja tidak terlibat? Apalagi masyarakat?” tanyanya pada saat diwawancarai melalui telepon seluler, Jumat (31/5/2024).

Masalah proyek terowongan tanpa AMDAL itu dibongkar oleh anggota DPRD Kota Samarinda Joni Sinatra Ginting. Sebagai wakil rakyat dia belum pernah mendapati dokumen tersebut, padahal menjadi kewajiban dari pemilik proyek sebelumnya mengerjakannya.

Ungkapan politisi Partai Demokrat itu disampaikan saat acara rapat dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Belakangan masalah itu dijawab oleh Kepala Dinas PUPR Samarinda Desy Damayanti. Terkait status proyek tersebut, Desy menjelaskan bahwa secara administratif semua dokumen terkait AMDAL sudah rampung.

“Administrasinya sudah selesai, sidang AMDAL juga sudah dilakukan, namun penyampaian dokumen AMDAL ke anggota dewan belum dilaksanakan,” ujarnya saat usai acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) di Hotel Mercure, Kamis (18/5/2024).

SOROTAN POKJA 30

Sementara Pokja 30, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Samarinda menyoroti dampak dari proyek tersebut bagi warga sekitar. AMDAL yang diwajibkan berdasarkan peraturan undang-undang itu untuk meminimalisir dampak dari proyek yang memakan biaya sekitar Rp365 miliar tersebut.

Ia mendesak agar posisi masyarakat yang terkena dampak proyek ini harus digali lebih dalam. “Apakah selama ini ada penyelesaian terkait dampak yang dirasakan masyarakat sekitar, seperti masalah debu, getaran, dan keretakan rumah?”

Buyung juga bertanya-tanya mengenai keterlibatan pemerintah kota Samarinda dalam proyek terowongan yang pertamakali dilaksanakan di Kota Samarinda itu.

“Apa proyek ini belum masuk dalam perencanaan pemerintah dan dianggap dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa keterbukaan kepada rakyat?”

Pokja 30 juga mengkritik urutan pelaksanaan proyek yang dinilai tidak sesuai prosedur.

“Kenapa terowongannya sudah ada, baru AMDAL-nya dibuat? Siapa yang bertanggung jawab jika bukan wali kota,” tanyanya

Ia mengindikasikan bahwa proyek ini mungkin saja hanya untuk menghabiskan anggaran atau demi kepentingan politik tertentu.

Dalam hal ini, Buyung mendesak agar DPRD kota Samarinda menggunakan hak angketnya untuk memanggil wali kota dan meminta kejelasan.

“DPRD berhak memanggil wali kota untuk meminta penjelasan. Proses awalnya saja belum selesai, artinya ada yang salah,” pintanya

Selain itu, Buyung juga menyoroti proses pengadaan kontraktor yang dinilai tidak transparan. “Kalau proyek di atas satu miliar harus ikut lelang. Apakah kontraktor yang menang punya spesifikasi untuk membuat terowongan? Ini perlu diperiksa.”

Buyung mengingatkan bahwa hak-hak masyarakat yang terdampak harus diperhatikan.

“Masyarakat terdampak harus dilibatkan sejak awal. Jika ada keluhan, harus segera ditangani,” jelasnya.

Buyung menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proyek pembangunan ini.

“Jika sejak perencanaan hingga pelaksanaan bermasalah, siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja kepala daerah yang punya kewenangan,” pungkasnya. #

Reporter: Sandi | Editor: Wong

 

Comments are closed.