PAKAR-pakar lingkungan dan para geolog kelas dunia mulai serius membicarakan ini; karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari aktifitas manusia dan alam dibuang ke mana?
Topik itu mengemuka dalam acara Media Training yang digelar 22-23 Juni 2024. Meski berlangsung secara online, setidaknya ada 34 pelaku media dari seluruh Indonesia, termasuk Charles Siahaan dari Beritakaltim.co, mengikutinya.
Setelah Kyoto Protokol 11 Desember 1997, seluruh dunia sepakat untuk mempertahankan bumi dari pemanasan global. Bukti-bukti ilmiah menyebutkan, CO2 alias karbon dioksida yang dihasilkan dari aktifitas manusia di bumi dan proses alam, jika dibiarkan terlepas di udara maka mengancam lapisan ozon.
Ilustrasinya begini. Jika lapisan ozon yang berfungsi melindungi bumi dari sengatan Matahari ‘bolong-bolong’ dirusak emisi karbon dioksida, maka temperatur di permukaan bumi bakal naik. Tanah panas, air laut panas, es kutub utara mencair dan berubah jadi lautan.
Jika sampai pada situasi itu. Manusia juga tidak akan mampu bertahan hidup lagi. Planet Bumi Sakti bakal musnah.
“Emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer,” urai Moch Abadi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim yang tampil sebagai salah satu pemateri.
Persoalan itulah yang diurai solusinya oleh berbagai pakar di seluruh dunia. Kesepakatan global, semua negara wajib menjaga pelepasan karbon dari wilayah negeri masing-masing.
Semua negara menargetkan net zero emission. Indonesia sendiri memproklamirkan tahun 2060, bahkan direvisi oleh Presiden Joko Widodo menjadi 2030.
PESERTA AGRESIF
Hari pertama acara pelatihan, peserta yang rata-rata adalah para jurnalis sudah memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan. Selama ini isu karbon tidak pernah masuk dalam daftar trending berita media. Selalu kalah dengan berita-berita politik, sepakbola bahkan kasus-kasus pembunuhan sadis.
Padahal, isu karbon, efek gas rumah kaca, sangat-sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia dan segala isinya di muka bumi,
“Dari April 2023 sampai April 2024, diskusi tentang karbon di media di seluruh dunia, Amerika yang terbanyak sebesar 64 persen, kanada 8 persen, inggris dan india 4 persen. Indonesia 3 persen,” tutur pemateri yang memonitor popularitas isu karbon di media sosial.
“Kok bisa? Sedikit sekali diskusi isu karbon di kanada,” tanya seorang peserta lewat kolom Q&A (quistion and answer) pada aplikasi zoom dalam acara pelatihan itu.
Bagi panitia penyelenggara pelatihan, Lientera (Lembaga Inovasi Energi Teknologi Nusantara) kegiatan seperti itu sudah yang kelima kali. Tahun 2024 ini, temanya “Bisnis Karbon dan CCUS Potensi, Bisnis Proses dan Outlook”.
Dalam website resminya, Lientera menyebut dalam visinya; sebagai lembaga handal yang produktif dan dipercaya oleh seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan solusi melalui inovasi teknologi dengan tujuan membantu negara Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dan penanganan masalah limbah (padat, cair dan gas) guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan hidup yang hijau lestari.
Ketua Umum Lientera adalah Heriadi Kaboel. Namun dalam sesi media training dengan para jurnalis, yang hadir adalah Moshe Rizal sebagai Ketua Pembina Lientera.
Selain Moshe yang menjadi pemateri, kegiatan bersama RTG dan Pamerindo itu menghadirkan juga narasumber Pera Malinda, Direktur Nol Karbon. Kemudian Didik Sasono Setyadi, Ketua Asosiasi Praktisi Hukum dan Energi Terbarukan / Ahli Hukum Sumber Daya Alam.
Ada juga Annisa Sekar Palupi, Stimulation Service Manager NESR Indonesia dan Moch Abadi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim.
‘PENJARA’ KARBON
Ketakutan manusia akan efek gas rumah kaca telah membuat reaksi para ahli untuk menanggulanginya. Langkah-langkah yang paling trend adalah apa yang disebut dengan era baru ekonomi hijau.
Paparan menarik disampaikan Pera Malinda Sihite dari Nol Karbon. Dia menguraikan risiko bencana hidrometeorologi mencapai 80% dari total bencana di Indonesia.
Data yang disajikan Pera Malinda menyebut alasannya; Pertama, Indonesia berada dalam urutan ke-4 sebagai negara dengan tingkat emisi ton-CO2 tahunan terbesar di dunia.
Kemudian Pertumbuhan populasi dan ekonomi yang cepat meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim.
Dari tahun 1981 – 2018, Indonesia mengalami kenaikan suhu 0,03℃ per tahun. Kenaikan permukaan laut Indonesia mencapai 0,8 – 1,2 cm/tahun, dimana 65 persen masyarakat tinggal di wilayah pesisir.
Secara sadar rakyat Indonesia juga bergerak mengatasi produksi CO2. Selain dengan mengganti teknologi mesin-mesin pabrik yang ramah lingkungan dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi, serta batu bara), juga usaha untuk menangkap CO2 dengan menghadirkan kawasan hijau, seperti hutan dan juga mangrove.
Para ahli sudah menemukan berbagai sektor yang dapat mengurangi pelepasan karbon. Ada di sektor kehutanan dan pertanian, proses industri dan juga pengolahan limbah. Tapi para ahli juga meyakini, tindakan pelestarian, menanam mangrove dan menjaga keutuhan hutan alam, tidak akan mampu menangkap CO2 yang jumlahnya sangat besar.
Dalam bahasa ekonomi, situasi itu disebut defisit. Tidak seimbang antara jumlah produksi dengan serapan karbon. Sehingga diperlukan upaya-upaya lain untuk menangkap dan ‘memenjarakan’ karbon agar tak sampai menyentuh atmosfir.
Tidak mudah untuk menangkap CO2 yang terlepas ke atmosfir. Diperlukan teknologi dan pastinya biayanya tidak murah.
Singkat cerita, kini para pakar sedang berupaya keras untuk menangkap dan ‘memenjarakan’ CO2. Dibutuhkan tempat menyimpan karbon dalam kapasitas besar. Maka, pilihan yang paling masuk akal adalah dengan mengirim CO2 ke dalam perut bumi.
Para pemerhati karbon sekarang mengenal istilah CCS dan CCUS. Untuk CCS adalah akronim dari Carbon Capture Storage. Ini upaya berantai, mulai proses pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang, kemudian berlanjut ke pengangkutan CO2 yang ditangkap ke tempat penyimpanan (transportasi) dan penyimpanan ke tempat yang aman (Storage).
Sementara CCUS adalah singkatan dari Carbon Capture, Utilization Storage. Dari penjelasan pemateri, CCUS merupakan teknologi menangkap Karbon Dioksida yang telah terlepas ke atmosfer.
Jadi, ada proyek penangkapan karbon yang bisa dilakukan. Pertama langsung dari pabrik industri (CCS) dan yang kedua menangkap karbon yang sudah terlepas ke atmosfir dan kemudian mengangkut dan juga menyimpan alias memenjarakan karbon.
Mochammad Abadi memberikan pemahaman kepada peserta bagaimana proses penangkapan, pengangkutan dan penyimpanan karbon berlangsung. Karbon itu diilustrasikan seperti gas bumi yang bisa diolah menjadi LNG (liquefied natural gas) dan kemudian diangkut oleh kapal atau melalui pipa ke tempat penyimpanan.
Pilihan tempat penyimpanan karbon paling ideal saat ini adalah perut bumi. Sebab banyak rongga-rongga di perut bumi yang kosong. Malah para pengebor minyak ingin memompakan CO2 hasil tangkapan ke sumur-sumur migas yang begitu banyak di Indonesia. Baik itu sumur tua yang sudah mati, maupun sumur yang masih produksi minyak dan gas.
Jadi, ceritanya, karbon hasil tangkapan yang telah diolah akan ‘disuntik’ melalui sumur-sumur minyak dan gas bumi. Penyuntikan itu akan menghasilkan tekanan di perut bumi dan kemudian minyak dan gas yang tersisa di sana terdorong ke atas. Sedangkan CO2 tertinggal di perut bumi.
“Tapi ini memang harus dijaga secara detil. Apa dampaknya CO2 di perut bumi. Apa akan ada kebocoran dan merusak lapisan tanah di sekitarnya,” ucap Moch Abadi.
Secara teori, upaya menyuntik karbon ke perut bumi bisa dilakukan. Tapi, tentu tidak muda tidak murah melakukannya.
PERDAGANGAN KARBON
Karena tidak murah, maka muncul kata perdagangan karbon. Singkat cerita, negara penghasil karbon harus membeli setiap usaha yang dilakukan kelompok untuk mengurangi efek rumah kaca.
Misalnya, jika menanam dan memelihara satu hektar hutan mangrove, maka bisa dihitung berapa besar daya tangkap karbonnya. Juga hutan konservasi, hutan rakyat, sampai kegiatan-kegiatan masyarakat yang sudah menerapkan prinsip zero carbon.
Indonesia juga sudah memasuki dunia perdagangan karbon. Bahkan pada 26 September 2023, Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) resmi diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Negara sudah cawe-cawe dengan berbagai aturannya. Dimulai dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Dan juga turunannya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
Adanya perdagangan karbon, membuat kelompok-kelompok masyarakat seperti yang mempertahankan hutan adat, bisa memasuki dunia perdagangan karbon ini. Walaupun ada banyak syarat yang perlu dilalui, di mana kawasan hutan itu sudah melewati verifikasi dan memperoleh sertifikat.
Pertanyaannya; bagaimana para kelompok masyarakat yang kawasannya kecil-kecil bisa mengurus persyaratan agar mendapat sertifikatnya?
Penulis: Charles Siahaan | Pemred Beritakaltim.co
Comments are closed.