ALARM yang disetting pada ponsel berbunyi tepat pukul 4.30 Wite. Sebentar lagi adzan tanda sholat subuh tiba akan berkumandang. Sambil menunggu waktu sholat subuh saya pun meraih ponsel dengan tujuan membaca pesan-pesan terbaru di Whatsapp.
Sebuah pesan dari seorang teman di salah satu grup langsung menarik perhatian saya. Ada tulisan menarik untuk dibaca katanya, link pun disertakan pada chatnya.
Saya menunda dulu untuk membacanya karena selain harus sholat subuh juga ada rutinitas pagi yang harus saya tuntaskan sebelum berangkat ke kantor.
Singkat cerita, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk membacanya. Saya klik link yang dibagi tadi. Sebuah artikel muncul yang berasal dari salah satu surat kabar harian online di kota saya. Penulisnya berstatus mahasiswa di salah satu universitas negeri di provinsi ini, mungkin umurnya kurang lebih sebaya dengan anak saya yang pertama.
Beliau menuliskan pendapatnya bahwa masih ada mispersepsi atau disinformasi terhadap konstruksi Pengarusutamaan Gender (PUG). Sebagian orang menganggap istilah PUG ini sama dengan kampanye feminisme yang berstigma negatif. Feminisme dimaknai sebagai gerakan pemberontakan perempuan terhadap dominasi laki-laki di lingkungan masyarakat. Pengusung ide feminisme dianggap mengingkari kodrat perempuan yang secara biologis tertentu berbeda dengan laki-laki.
Masih menurut beliau, dampak dari gagal paham PUG dan feminisme adalah resistensi terhadap pergerakan positif yang mengandung diksi gender. Dalam bahasa yang sederhana, PUG adalah sebuah strategi untuk mewujudkan kesetaraan serta keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Beliau juga menyoroti partisipasi perempuan Samarinda dalam posisi birokrasi pengambil kebijakan memang minim sejak dulu. Saking minimnya, satu nama perempuan yang kali pertama menjadi anggota DPRD Kaltim mudah dikenang atas nama Jumantan Hasyim. Tokoh Partai Masyumi itu menjadi anggota parlemen Kaltim ketika Samarinda sebagai ibu kota provinsi belum mempunyai pemerintahan kota.
Dari hasil diskusi beliau dengan sejarawan juga terungkap, sejak berdirinya Pemerintah Kota Samarinda pada 1960 hingga kini belum pernah ada Kepala Daerah Samarinda, baik wali kota maupun wakil wali kota dari kalangan perempuan.
Kepala ASN tingkat kota, yaitu sekretaris daerah pun belum pernah dijabat oleh perempuan. Pengecualian pada Pj (Penjabat) Wali Kota Samarinda pada 2015 yang pernah ditempati figur perempuan.
Dalam lembaga legislatif Samarinda, kiprah perempuan sangat minim. Ketika sudah ada regulasi kuota minimal 30 persen untuk keterwakilan calon legislatif, kuota perempuan di DPRD Samarinda juga tak kunjung mencapai 30 persen. Bahkan untuk DPRD Samarinda periode 2024-2029 berdasarkan hasil Pemilu 2024, representasi perempuan kurang dari 10 persen. Dari 45 anggota lesgislatif terpilih, hanya ada 4 perempuan.
Beliau menghimbau kaum perempuan juga harus meningkatkan kompetensi dan value dirinya sendiri. Keterlibatan perempuan dalam proses pengambil kebijakan publik di masa depan semestinya bukan karena “hadiah” kuota 30 persen. Jika memang berkompetensi dan kuantitasnya banyak, tanpa regulasi limit khusus pun kaum perempuan bisa menempati posisi strategis bahkan mungkin lebih dominan ketimbang laki-laki.
Secara sederhana yang dapat saya simpulkan dari tulisan beliau yaitu adanya mispersepsi atau disinformasi terhadap konstruksi PUG, stigma negatif atas kampanye feminisme yang mengakibatkan gagal paham atas ide PUG dan feminisme sehingga bermuara pada resistensi terhadap pergerakan positif yang mengandung diksi gender, dan partisipasi perempuan posisi birokrasi pengambil kebijakan yang masih minim.
Yang menjadi pertanyaan, apakah PUG dan feminisme serta partisipasi perempuan posisi birokrasi pengambil kebijakan merupakan jalan bagi kaum perempuan beroleh keadilan dan kesejahteraan?
Jika dikatakan mispersepsi atau disinformasi maka apa yang dijadikan standar dalam menilai suatu hal sudah terkategori mispersepsi atau disinformasi?
Saya jadi teringat bertahun-tahun yang lalu pernah berkunjung berdiskusi dengan salah satu kepala instansi pemerintah yang juga perempuan. Saat itu kami membahas tentang isu kesetaraan gender dan feminisme. Beliau menekankan hanya menjalankan ide-ide kesetaraan gender dan feminisme yang tidak bertentangan dengan ajaran agama (baca : Islam), yang melanggar ditinggalkan.
Pertanyaan berikutnya, apakah isu-isu yang diperjuangkan kesetaraan gender dan feminisme memang ada yang bersesuaian dengan ajaran agama?
Apakah hanya memilih hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama maka sudah termasuk memiliki persepsi dan informasi yang benar tentang PUG dan feminisme?
Berat untuk tidak dikatakan, sebagian besar kaum muslimin memang tidak memahami, perbedaan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah atau peradaban adalah kumpulan dari sejumlah pemahaman tentang kehidupan, sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda yang terindra yang digunakan dalam kehidupan.
Karena hadharah merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan maka tentu hadharah sangat dipengaruhi oleh akidah. Tudingan mispersepsi atau disinformasi kepada pihak yang menolak PUG dan feminisme dengan alasan berasal dari Barat justru mengindikasikan yang menuding tidak memahami perbedaan hadharah dan madaniyah.
PUG dan feminisme adalah hadharah Barat. Hadharah Barat jelas bertentangan dengan ajaran agama (baca : Islam). Islam sebagai agama terbanyak yang dianut di negeri ini harus dijadikan pedoman dalam menghukumi apa pun tak terkecuali PUG dan feminisme.
Sementara madaniyah karena sifatnya benda yang dapat diindra, maka ianya tidak terikat dengan suatu standar nilai tertentu walau pun tetap dengan catatan yang mudahan nanti bisa dibahas pada kesempatan yang lain. Ambil contoh laptop, ponsel, kendaraan transportasi, dan yang serupanya. Jadi PUG dan feminisme tidak bisa disamakan dengan madaniyah yang bisa diadopsi sebebasnya.
Para pengusung PUG dan feminisme percaya dengan janji manis yang konon akan digapai, yaitu kebebasan, kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan di segala aspek kehidupan. Namun apa mau dikata, pegiat PUG dan feminisme gagal merumuskan akar masalah penyebab perempuan acapkali menjadi korban diskriminasi dan kekerasan.
Begitulah ketika manusia diberi wewenang untuk mengatur kehidupannya sendiri, maka solusi yang dihasilkan lahir berdasarkan kecenderungan perasaan belaka. Merasa dimarjinalkan, merasa ditindas, merasa selalu diperlakukan tak setara dan tak adil. Tentulah sangat tak logis ketika kebenaran dilandaskan pada perasaan!
Meski puluhan tahun telah “berjuang” menyejahterakan perempuan, namun kesejahteraan perempuan bagaikan dongeng seribu satu malam. Kasus PHK sepihak dan upah rendah masih menjadi hantu bagi buruh perempuan. Juga problem buruh migran yang tak kunjung usai.
Di sisi lain, akibat perempuan diprovokasi untuk keluar rumah, urusan rumah tangga dan pengasuhan menjadi terbengkalai. Muncul lost generation yang terindikasi pada maraknya narkoba, seks bebas, kekerasan dan setumpuk persoalan generasi lainnya.
Ibarat jatuh tertimpa tangga. Sudahlah tak sejahtera, generasi hilang pula. Kalau sudah begini jelas PUG dan feminisme adalah paham gagal yang telah sedemikian rupa mencerabut perempuan dari fitrah penciptaannya yang hakiki.
Dalam membahas perempuan dan masalahnya, kaum feminisme bersikukuh pada teori bahwa “hanya perempuan yang paham masalah perempuan”. Hal ini seolah menjadi justifikasi untuk berupaya menyelesaikan masalah dan mewujudkan hak-hak perempuan melalui mekanisme sistem politik dalam bingkai demokrasi.
Dalam perspektif demokrasi, perempuan dan politik selalu dikonotasikan secara dangkal dengan pencapaian di tampuk kekuasaan, baik di ranah eksekutif maupun legislatif. Negeri ini bukannya tidak pernah memiliki bupati/walikota perempuan, gubernur perempuan, legislator perempuan bahkan presiden perempuan. Namun nasib perempuan Indonesia tak kunjung membaik.
Kemiskinan, human trafficking, KDRT, aborsi, dan sejenisnya masih membelit perempuan Indonesia dengan ketatnya. Lebih jauh lagi, keterlibatan perempuan dalam politik bisa juga menambah peliknya masalah. Berkali-kali politisi perempuan terjerat kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan politik dinasti. Hadirnya perempuan tak mampu membersihkan dunia politik, meski kuota 30% keterwakilan perempuan sudah terpenuhi.
Yang makin menyesakkan dada, kaum feminis kerapkali melakukan tindakan offside dengan menuding dan menyerang Islam sebagai sumber masalah bagi perempuan. Berbagai syariat yang mengatur peran laki-laki dan perempuan mereka nilai sebagai bentuk diskriminasi yang mengeliminasi kebebasan perempuan.
Padahal, jika dicermati lebih dalam, penyebab munculnya diskriminasi terhadap perempuan adalah lantaran terdapat kesalahpahaman terkait hak perempuan dalam aspek publik. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
Keduanya juga memiliki hak mengakses layanan kesehatan. Jika terjadi diskriminasi hak publik, yang patut dipersalahkan atas semua itu ialah sistem kapitalisme yang melakukan kapitalisasi di semua sektor publik. Korban kapitalisasi ini sebenarnya juga menimpa kaum laki-laki yang sulit memberikan nafkah keluarga secara layak dan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Adapun kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan bermula dari penerapan sistem kehidupan sekuler dan liberal. Dari sistem ini, lahirlah nila-nilai hedonis dan permisif. Perilaku maksiat dibenarkan atas nama kebebasan dan hak asasi manusia.
Selain itu, sistem sanksi yang diterapkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kemaksiatan. Kita perlu mengingat bahwa kejahatan terjadi karena adanya peluang dan kesempatan. Perempuan bisa memicu peluang dan laki-laki mengambil kesempatan untuk melakukan tindak kekerasan. Semua itu karena kehidupan sekuler yang menjauhkan agama (Islam) sebagai pedoman dalam berperilaku.
Islam memiliki mekanisme sempurna dalam menjaga dan melindungi perempuan. Penanggung jawab pertama perempuan adalah walinya. Jika dia gadis, maka yang menanggung adalah ayahnya. Jika dia sudah menikah, yang menanggung nafkahnya adalah suaminya. Jika dia menjadi janda, maka nafkahnya kembali ditanggung ayahnya.
Jika tak ada ayah, tak ada suami, maka jalur wali yang menanggung nafkahnya. Yaitu ayahnya ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki, dan seterusnya. Jika para wali tidak menjalankan kewajibannya, maka perempuan itu bisa mengajukannya pada negara untuk dicarikan solusi.
Seperti Hindun istri Abu Sufyan yang mengeluhkan kurangnya nafkah karena suaminya pelit. Maka Rasulullah SAW memberi solusi Hindun boleh mengambil harta suaminya tanpa izin, tapi secukupnya saja. Jika perlu negara bisa memberi sanksi pada wali yang malas bekerja atau tak mau menafkahi.
Agar para laki-laki mampu bekerja maka negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang menghasilkan ketersediaan lapangan kerja dan usaha. Jika semua wali tidak mampu (fakir dan miskin) maka perempuan ditanggung kesejahteraannya oleh negara.
Sejarah telah mencatat para shahabiyah di masa Rasulullah SAW melakukan aktivitas politik tanpa meninggalkan tugas utama sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Khadijah, Sumayyah, Asma binti Abu Bakar, Fathimah, Aisyah, adalah sederet muslimah yang menjalankan aktivitas politik secara gemilang.
Perempuan tidak butuh PUG dan feminisme dalam mencari kemuliaan dan keadilan. Mereka harus disadarkan bahwa penerapan sistem kapitalis sekuler lah yang merupakan induk dari PUG dan feminisme yang menjerumuskan kaum perempuan ke dalam jurang kesengsaraan tak berkesudahan. Jangan lagi takut belajar Islam secara menyeluruh karena Barat akan terus berupaya menjauhkan kaum muslimin dari ajaran agamanya yang sempurna dengan berbagai cara. Wallahualam. #
*) Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd. | Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Comments are closed.