BERITAKALTIM.CO-SEBUAH peristiwa memilukan di masa kelam masih membekas dalam ingatan, pada peristiwa “Balikpapan Jum’at 15 Oktober 1965.” Kita bisa menilik perjalanan panjang sebuah organisasi berlabel Partai Komunis Indonesia (PKI), sangat kejam, dan tidak berperikemanusiaan. PKI merupakan sebuah kekuatan politik mencapai puncaknya di tahun 1965, pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
Maka sebelum masuk ke peristiwa kelam Balikpapan Jum’at 15 Oktober 1965, alangkah baiknya menyimak sedikit, dari perjalanan Kabinetnya. Jika melihat dari Kabinet Djuanda, TNI diberlakukan SOB, hingga terjadinya pemberontakan PPRI dan Permesta, pada tahun 1958. Telah memainkan peran penting dalam bidang politik. Kemudian TNI bersama rakyat mengusulkan dan menghidupkan kembali UUD 1945.
Soekarno pada saat itu menjalankan taktik dua kaki, yaitu berusaha merangkul angkatan bersenjata, khususnya angkatan udara. PKI yang juga sebagai partai baru dan mulai bangkit 1952 dari kehancuran akibat pemberontakan di Madiun (1948), pada saat itu dapat dipatahkan oleh TNI AD. Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) pertama (1955), PKI muncul sebagai kekuatan baru menjadi pemenang ke Empat.
PKI kemudian menerima penetapan Presiden, Nomor 7 Tahun 1959, dia mendapat tempat sebagai “Konstelasi” politik baru, sehingga dengan peluang ini dimanfaatkan oleh PKI.
Secara perlahan ternyata PKI berusaha untuk menyaingi TNI, dengan memanfaatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini PKI bisa dikatakan ibarat pisau bermata dua, PKI berusaha mencari simpatik di depan Presiden Soekarno.
Itulah sekilas perjalanan sebuah partai politik yang dimaksud adalah PKI, sekarang di bulan Oktober 2024, sebuah peristiwa besar di masa kelam Kalimantan Timur (Kaltim) juga berimbas, yang sangat aneh terjadinya selalu pada hari “Jum’at”, seperti peristiwa Sultan Kutai Tenggarong, Kesultanan Sadurangas, Kesultanan Bulungan, dan Peristiwa Balikpapan Jum’at 15 Oktober 1965.
Pagi itu, semua kegiatan dan aktivitas masyarakat di pusat kota dan sentral perdagangan Kebun Sayur berjalan seperti biasanya. Kemungkinan tidak semua orang atau warga Balikpapan mengetahui, peristiwa bumi hanguskan Kampung Baru/Kebun Sayur, sekarang wilayah Balikpapan Barat. Doeloenya merupakan jantungnya Balikpapan banyak menyimpan “sejarah” dari perjalanan panjang Balikpapan.
Hari itu Jum’at, mata hari mulai naik dari peraduannya, transaksi perdagangan terus berjalan, mata hari kian bergeser naik ke ufuknya. Sekitar pukul 12.00 sebagian pedagang dan sejumlah toko, mulai menutup dan menurunkan tenda-tenda tutup sementara. Para umat Islam mulai meninggalkan sejumlah lapaknya. Mereka bersiap-siap menuju masjid terdekat untuk melaksanakan Ibadah Sholat Jumat.
Namun masih ada beberapa toko yang buka, itu juga milik warga keturunan asing warga Tionghoa. Termasuk warung nasi, kedai pintunya masih terbuka separuh. Lapak-lapak sudah tertutup terpal dan kain pemilik pergi ke masjid terdekat melaksanakan Sholat Jum’at. Sekitar pukul 13.00 ibadah Sholat Jum’at selesai. Ada yang langsung ke kedai, dan ada juga menuju lapaknya masing-masing, bahkan masih ada duduk di depan teras masjid.
Sinar sang “Surya” terus bergeser dari orbitnya tepat pukul 14.00 (Jam dua), siang itu tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan, suara itu berasal dari salah seorang warga. Asaap…asaaap, aaapiii…..kebakaran, suara teriakan itu. Kemudian suara itu disambut dengan suara kentongan yang dipukul bertalu-talu. Kemudian terdengar suara “Sirine atau suling/Alarm” milik Permina, berbunyi panjang dan tak henti-hentinya isyarat bahaya.
Api menyala secara tiba-tiba di perumahan Sepaku kemudian warga berusaha untuk memadamkan dengan alat seadanya. Bangunan rumah terbuat dari bahan yang mudah terbakar seperti kayu, sirap dan daun rumbia. Warga berusaha semaksimal mungkin, dan berhasil menguasa api. Namun suatu keanehan di tempat lain api muncul secara tiba-tiba membakar rumah milik salah seorang.
Safri Nawawi, yang juga anggota veteran bersama-sama warga lainnya turut memadamkan nyala api tersebut. Namun sangat mengejutkan bagi Safri kawasan Gang Murni, api secara tiba-tiba menyala di pemukiman penduduk, ketika dia sedang ikut memadamkan api yang membakar rumah warga, ternyata di tempat lain di mana di kawasan tersebut juga terdapat rumah miliknya, yang juga turut terbakar.
Safri Nawawi sangat terkejut, dia berusaha menolong warga yang rumahnya terbakar. Tanpa disadarinya, di kawasan Gang Murni, rumahnya sendiri dilalap si jago merah. Dalam peristiwa itu anak-anak sekolah dasar (SD), sedang masuk siang, dari pukul 13.15 sampai pukul 17.15. Ketika terjadi musibah di Jumat itu, anak murid dilarang keluar ruangan dan tidak boleh meninggalkan ruangan, dan pintu ruang kelas di kunci dari luar oleh gurunya.
Komplek sekolah itu, adalah SD I, SD 3 dan SD 5 sekarang telah menjadi kompleks SD 4, Balikpapan Barat. Dahulu gedung sekolah pada umumnya gedung di bangun dengan berkonstruksi kayu. Pada saat itu api telah membakar perumahan penduduk, sehingga membuat anak-anak SD menjadi panik. Mereka berteriak minta tolong, kebetulan sekelompok
anak muda yang dipimpin Burhan bersama kawan-kawannya melintas di belakang gedung sekolah, mereka bermaksud untuk menolong warga yang tertimpa musibah.
Ketika melintasi belakang gedung sekolah dan mendengar suara-suara gaduh dari dalam kelas. Terdengar teriakan minta tolong, dengan spontan Burhan bersama kawan-kawannya mendekati jendela sekolah itu. Kemudian jendela yang berada pada bagian belakang ditarik dengan paksa dan terbuka. Burhan dengan cepat masuk dan membuka jendela lainnya, agar anak-anak dapat keluar dengan cepat dan tertolong.
Semua murid sekolah itu, akhirnya dapat keluar melalui jendela-jendela sekolah, selamatlah murid-murid tadi. Mereka berlarian pulang menuju rumahnya masing-masing.
Anak-anak murid itu berlari melintasi gang dan bukit, sambil berlari dan berteriak-teriak “kebakaran-kebakaran”. Warga yang melihat api mulai panik, karena api secara tiba-tiba membakar perumahan penduduk di siang itu.
Kepanikan mulai terasa di sekitar tempat kejadian, seperti yang menimpa salah seorang ibu muda bernama Salbiah. Siang itu, dia sedang menidurkan anaknya dalam sebuah ayunan. Salbiah pun larut terbawa kantuk dan tertidur. Rupanya peristiwa ini membawa petaka baginya. Api yang membakar kawasan tempat tinggalnya, dekat sekali dengan rumahnya, mendengar suara ribut dan panas, dia terbangun masih di bawah alam sadar.
Salbiah terperanjat, dengan sigap mengangkat sebuah benda dari dalam ayunan, dia berusaha menerobos kepulan asap. Tanpa disadarinya setelah berada di tempat aman, dia ditegur oleh seorang kakek bernama Abdullah. Masih tetangga ayahnya(orang tuanya) di kampung halamannya, Banjarmasin. Kakek Abdullah, berkata “Apa yang ikam gendong itu, Sal”, tanya si kakek, Salbiah masih gemetaran.
Ternyata sedari tadi, yang diselamatkannya adalah sebuah guling, bukan anaknya, setelah kesadarannya mulai normal dan kontan saja dia mulai berteriak histeris. Anakku…anakku, tapi apa daya kawasan itu sudah luluh lantak rata dengan tanah. Kakek Abdullah berusaha untuk menenangkan Salbiah. Apa daya malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, takdir Allah sudah berkehendak lain.
Sementara orang tua Salbiah masih berada di Handil, sedang berjualan tembikar, dan juga sudah mendapat “habar” (kabar/berita) bahasa daerah Banjar, kalau tempat tinggal turut terbakar bersama cucunya. Samsi dan Siti Fatimah (istri) segera bertolak dari Handil menuju Balikpapan, untuk segera menemukan Salbiah yang juga anaknya semata wayang itu.
Sementara suami Salbiah berada di Amuntai, Kampung halamannya Banjarmasin. Suami Salbiah, sebenarnya ke Amuntai untuk mengambil sejumlah barang dagangan, berupa tembikar yang akan dipasarkan di Kaltim. Menurut kisahnya (ceritanya), suami Salbiah waktu itu “tulak” (berangkat/pergi) menuju kampungnya, melintasi jalur darat, “Umpat”(dialek bahasa Banjar), dengan menumpang kendaraan “Land Rover” sampai Tanjung, kemudian berganti “oto”, kendaraan untuk melanjutkan sampai tujuan.
Kemudian Samsi dan Fatimah beberapa hari kemudian berhasil menemukan anaknya (Salbiah), yang terlihat masih lunglai dan dengan tatapan kosong, di tempat sementara, kediaman Kai Abdullah. Selang satu bulan kemudian mereka pulang ke kampung halamannya, membawa Salbiah. Ternyata kondisi Salbiah di kampung halamannya bukannya membaik, sering melamun dan, terkadang menggendong guling, seraya berkata anakku…anakku dengan tatapan kosong.
Setahun kemudian Salbiah wafat, kedua orang tuanya sangat terpukul dengan kepergian anaknya itu. Samsi dan Fatimah pun tidak melanjutkan dagangannya, hanya berkebun di sekitar rumahnya saja. Sedangkan suami Salbiah pun telah mendahului mereka meninggal dunia, akibat penyakit yang dideritanya. Tidak lama setelah itu kedua orang tuanya pun menyusul kepergian Salbiah, menurut cerita nenek Jahora, yang pernah pulang ke kampung halaman di Amuntai.
Dari peristiwa Balikpapan Jum’at 15 Oktober 1965, tidak hanya meninggalkan duka mendalam, juga menimbulkan kerugian sejumlah harta benda milik warga yang tak berdosa.
Semuanya itu akibat ulah oknum PKI, api timbul dan menyala secara tiba-tiba. Warga sempat melihat, semacam bom molotov jatuh ke atap rumah milik warga. Semacam botol bersumbu dan menyala dan dilemparkan, jatuh menimpa atap dan terbakar.
Untuk mengantisipasi peristiwa itu, agar tidak terulang kembali kemudian warga di kampung- kampung, pada malam hari mulai telah berjaga-jaga. Bahkan warga juga dilarang untuk bepergian pada malam hari, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara di kawasan kampung lain, di lapangan Parikesit Karang Anyar terdapat beberapa lubang dan tiang gantungan. Rencananya pada Hari Sabtu (16/10/1965), akan dilakukan penculikan terhadap tokoh dan pemuka agama, namun niat itu gagal terwujud.
Akibat dari peristiwa pembakaran itu, pada awalnya di kawasan Sepaku, kemudian meluas ke Gang Aman, hingga pinggir laut dan berakhir kawasan Gudang Sepuluh (10) Kampung Baru Ulu. Seluruh pemukiman warga rata dengan tanah. Dalam peristiwa itu ada suatu keajaiban dan kebesaran Allah SWT, sebuah masjid (Masjid Al’Ula) di kawasan Baru Tengah, tetap berdiri kokoh, walau di sekeliling masjid rumah-rumah warga ludes terbakar. Barang-barang milik warga penduduk yang diletakkan di dalam masjid, semuanya telah menjadi abu.
Setelah situasi dan kondisi reda dan aman seperti biasa, pihak TNI dengan jajarannya melakukan pembersihan terhadap oknum-oknum yang dicurigai atas keterlibatannya. Mereka yang di interogasi, dalam pemeriksaan aparat yang berwenang, dalam peristiwa tersebut dinyatakan sebagai tahanan politik (Tapol). Mereka dari berbagai kalangan, seperti oknum TNI, guru, perawat, mantri kesehatan, juru masak, hingga simpatisan.
Semua anggota yang terlibat dalam gerakan itu, terbagi dari beberapa kelas atau golongan, seperti C, B dan A. Para tahanan golongan “A” mereka ditempatkan di luar Balikpapan, yaitu Amborawang, di jaga dengan ketat oleh aparat. Karena mereka dikategorikan tingkatannya orang yang berpengaruh. Sedangkan golongan B, semacam ketua-ketua
kelompok menempati penjara Tapol di kawasan Prapatan, sedang golongan C, pengikut di penjara di kawasan Sumberejo.#
Reporter: Muhammad Asran/Pemerhati Sejarah|Editor: Hoesin KH
Comments are closed.