BERITAKALTIM.CO-HARI ini, 7 November 1935 adalah hari kelahiran Wilibrodus Surendra Rendra atau lebih dikenal dengan WS Rendra, sebuah sosok yang tidak bisa dilupakan oleh jutaan warga Indonesia, karena sosoknya yang gagah, ganteng, karismatik dan penuh pesona. Hari ini mungkin di seantero Indonesia, ribuan atau bahkan jutaan warga sejenak menundukkan wajah, memanjatkan doa, atas kepergian Rendra di 9 Agustus 2009 lalu.
Rendra adalah sosok warga Indonesia yang membawa perubahan dalam hidup kehidupan, terutama di dunia teater, sosok Rendra dengan berbagai karyanya membawa angin segar dan kejutan yang menyentak jiwa, usai belajar di Amerika Serikat tahun 1967 tepatnya di American Academy of Dramatic Arts (1964-1967), Rendra mendirikan Bengkel Teater. Rendra membuka cakrawala baru dunia perteateran, karya-karya yang dipentaskan Rendra bersama Bengkel Teater adalah babakan baru dalam sebuah kesenian.
Rendra membawa kehidupan, anggota Bengkel Teater diajarkan tentang artinya hidup kehidupan. Ribuan anggota Bengkel Teater yang tersebar di seantero Indonesia, merasakan akan arti yang diberikan oleh Rendra atau anak buahnya yang memberikan pendidikan soal teater, termasuk Kalimantan Timur.
Di Kaltim sosok A Untung Basuki, murid langsung Rendra memberikan pendidikan dasar teater yang ada pada anak-anak muda yang tertarik dengan teater di tahun 1980-an, yang akhirnya nama-nama seperti Hamdani, Wawan Timor, Mappasikra Mappaseleng, Alm Syamsul Khaidir, dan masih banyak lagi yang sekarang masih berkiprah dalam dunia teater, menjadi sosok teater yang diandalkan di Kaltim. Dari tangan dan pikiran Hamdani, Syamsul Khaidir, Wawan Timor muncul generasi penerus seperti M Syabir, Arafat A Zulkarnaen, Elansyah Jamhari, H Pance, Iwan Kukubus, Ian BL dan yang lainnya.
Kehadiran Syafril TH Noor di Kaltim tidak lama setelah datangnya A Untung Basuki, adalah sebuah keberuntungan, Syafril sejak datang di tahun 1982-an, hingga saat ini tetap bercokol di Kaltim. Kesetiaan Syafril yang demikian membumi akan Kaltim, membuat Syafril dinobatkan sebagai sosok budayawan Kaltim.
Syafril yang banyak tahu perjalanan hidup kehidupan Rendra. Sehingga banyak seniman-seniman muda kalau ingin mengenal Rendra mendatangi Syafril, sekedar bertanya dan berdiskusi. Syafril yang mudah bergaul dan cepat akrab dengan siapa saja menyambut kedatangan mereka dengan senyum dan tawa.
Kemampuan Rendra dalam teater tak perlu diragukan lagi, terlebih lagi soal puisi, maka Rendra adalah jagonya, sejak sajak-sajaknya yang terbit dan dibaca jutaan manusia Indonesia dan dunia, membawa dan membuka spektrum baru di kalangan seni dan budaya.
Hidup kehidupan Rendra yang penuh warna, seperti yang terkuak dalam karya-karya puisi yang diciptakan adalah bentuk sebuah jiwa ‘pemberontakan’ Rendra yang tidak rela melihat ketidakadilan merajalela dalam sebuah kehidupan. Di zaman orde baru, karya teater dan juga puisi-puisi Rendra menjadi perhatian penguasa saat ini, semua gerak gerik Rendra diamati, dicermati.
Bahkan dalam sebuah pementasan teater di Taman Ismail Marzuki, sebuah ledakan terjadi hanya untuk bisa menghentikan pertunjukan Bengkel Teater, namun semua itu bagi Rendra adalah sebuah proses hidup kehidupan yang tak perlu ditakuti, Rendra jalan terus dan tetap berkarya melahirkan karya cipta yang penuh dengan nuansa hidup kehidupan.
Karya-karya Rendra dalam berbagai momen bisa dibilang sangat menyentuh, salah satu contoh adalah kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi (1983) yang memotret hidup kehidupan Indonesia yang penuh dengan ketidakpastian, adalah cermin pikiran dan jiwa Rendra atas kondisi Indonesia saat itu.
***
Di tahun 2000, terbit sebuah buku Rendra yang berjudul Rakyat Belum Merdeka, sebuah Paradigma Budaya, buku yang sangat menarik, karena tercermin pikiran Rendra tentang bagaimana Indonesia maju dan berkembang. Dalam buku tersebut, Rendra menyoroti kiprah DPR, MPR dan ABRI dan Dwi Fungsi di percaturan politik Indonesia.
Bagi Rendra kekuasaan pemerintahan saat itu sangat absolut menjadi berhala yang mengobrak-abrik tatanan nilai-nilai moral dan peradaban, yang mengakibatkan terjadinya proses erosi kemanusiaan di dalam kehidupan berbangsa.
Perubahan dan angin segar sedikit terkuak saat terjadi reformasi tahun 1988, pembentukan DPR, MPR yang baru dan juga pemerintahan baru terbentuk, namun apa yang terjadi? Kekuatan rakyat, kemerdekaan rakyat, tidak pernah diperjuangkan secara konkrit dan eksplisit oleh para elit politik di DPR dan MPR. Yang getol diperjuangkan oleh para elit politik adalah posisi dan kekuatan partai politik dan golongannya. Bukan kedaulatan rakyat. Dengan sikap elit politik yang demikian itu, maka elit politik sekarang adalah daur ulang dari rezim Orba (Orde Baru).
Dan bagaimana kelakuan partai politik sesudah gerakan reformasi terjadi. Partai politik tetap menganggap rakyat hanya sebagai massa politik. Mereka merekrut rakyat hanya sekedar sebagai massa politik, dimobilisasi untuk teriak-teriak mengikuti pawai yang sekedar mengungkapkan kekuatan otot, yang tidak ada hubungannya dengan argumentasi kebenaran. Apakah ini kompromi politik yang terpaksa karena kenyataan keadaan? Lalu kompromi demi apa? Demi supaya tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi penguasa?
Jadi bisa dikatakan ikut berkuasa lebih penting dari pendidikan kepada rakyat agar kembali menjadi manusia dan tidak sekedar menjadi massa. Jadi elit politik berpendapat bahwa lebih dulu punya kekuasaan, baru bisa memperbaiki nasib rakyat? Kalau begitu bukankah itu cara berpikir elit politik zaman Orba? Jadi pada hakekatnya semua partai politik yang ada sekarang ini secara mental adalah lembaga status quo dari Orba.
Sesungguhnya partai-partai politik yang ada sekarang ini dan juga para mahasiswa di jalan, hanya sibuk dengan pemerintahan dan jalannya kekuasaan, serta posisi-posisi golongan mereka di dalam mekanisme kekuasaan. Tentu, hal itu memang sah, aneh, wajib dan penting. Tapi tidak cukup! Jauh dari cukup! Karena semua itu masih harus dibarengi dengan usaha memberdayakan rakyat, agar rakyat di seluruh Indonesia bisa merdeka bersama. Ya! Memberdayakan partai itu otomatis sama dengan memberdayakan rakyat.
Masyarakat luas juga harus menyadari warga negara itu adalah pemilih dan pemberi suara, bukan sekedar massa partai. Oleh karena itu kesadaran hak beroposisi jangan hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga terhadap partai-partai politik. Masih banyak partai politik yang memperbudak dan memperbodoh rakyat, serta menganggap rakyat sekedar menjadi massa partai yang doktriner dan emosional. Juga ada partai yang tidak menjalankan demokrasi di dalam partainya sendiri.
Dari pandangan kebudayaan, memberdayakan rakyat sebagai warga negara adalah suatu kewajiban, setiap warga negara harus diberdayakan sehingga mempunyai sumber nafkah, punya rumah, punya kemampuan mobilitas dengan transportasi pribadi atau umum, punya kesempatan untuk menghibur diri dan memperlua wawasan, serta kesempatan untuk membangun rumah tangga yang bahagia.
Kecuali berdaya secara sosial ekonomi, setia warga negara juga harus diberdayakan agar sadar akan hak dan bisa mempergunakan haknya untuk berpartisipasi di dalam urusan kemasyarakatan, pemerintahan dan kenegaraan, dengan jalan melakukan pemantauan, penyelidikan, mengkritik, memprotes dan melakukan oposisi.
Adapun adil secara ekonomi adalah menciptakan segala yang baik untuk buruh, tani, nelayan, guru, dan pedagang kecil, sedangkan adil secara sosial adalah persamaan hak antara semua warga negara, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, cita-cita, keyakinan serta agama. Dan adil secara kebudayaan adalah menciptakan dorongan dan sarana bagi setiap warga negara agar bisa mengembangkan segala kemungkinan dalam dirinya, untuk kebaikan dan kemuliaan hidup.#
Penulis: Hoesin KH
Comments are closed.