BERITAKALTIM.CO-Ritual Malabuh dikenal sejak zaman dulu, di kalangan masyarakat yang bermukim di bantaran Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus.
Ritual ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada ‘penghuni’ sungai, baik yang berwujud secara fisik, seperti buaya
maupun makhluk gaib atau makhluk astral yang tidak bisa dilihat secara fisik.
Malabuh dilaksanakan secara pribadi warga maupun secara komunal melalui ritual ‘membuang’ sesaji atau makanan ke dalam sungai.
Tentu diiringi doa-doa. Dengan harapan, agar keluarga atau komunal itu mendapatkan berkah, terhindar dari penyakit dan mara bahaya.
Demikian diungkapkan budayawan dan seniman Kaltim Hamdani, saat bertemu di rumahnya yang tenang, Selasa (12/11/2024)
“Malabuh lebih bernilai budaya bukan ritual keagamaan,” tegas Hamdani.
Bagi masyarakat sepanjang Sungai Mahakam, Sungai Karang Mumus dan anak Sungai Mahakam lainnya, ritual malabuh, melarung atau membuang makanan dan benda-benda lainnya ke dalam sungai, sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun.
Diakui Hamdani, ritual semacam ini di daerah lain juga ada. Sebut saja ritual Melarung atau Melaboh yang dilaksanakan berbagai etnis di Jawa, Sumatera dan daerah lainnya.
Malabuh dan ritual sejenisnya biasanya diadakan oleh masyarakat di pinggir sungai atau laut. Esensi dari Malabuh adalah mengejawantahkan nilai-nilai budaya kekariban hubungan antara manusia dengan alam nyata. Manusia dengan alam gaib dan kadang bersinggungan dengan kepercayaan.
“Bagi masyarakat Banjar, Kutai, Bugis, Jawa dan etnis lainnya di Kaltim, ketika melaksanakan Malabuh, maka dia sudah menunaikan kewajiban berhubungan dengan alam, makhluk alam lain dan Tuhannya secara jasmani dan rohani dalam kurun waktu tertentu,” ungkap Hamdani yang juga penyair dan tokoh teater Kaltim.
Menurut Hamdani, umumnya ritual itu dilaksanakan secara komunal atau berkelompok. Paling tidak satu keluarga. Manakala ada keluarga yang ingin menikah maka dilaksanakanlah Malabuh. Ada anggota keluarga yang sakit tak mau sembuh-sembuh, ritual dijadikan alternatif penyembuhan.
Namun, lanjut Hamdani, ada juga ritual itu dilaksanakan tanpa penyebab di atas lantaran ada ‘hubungan kekeluargaan’ dengan buaya atau ‘gampiran’ antara manusia dan buaya. Kalau ihwal itu yang terjadi pelaksanaan Malabuh sebulan sekali atau per-empat puluh hari. Menjadi ritual rutin. Karena apabila tidak dilaksanakan, niscaya salah satu pihak ada yang sakit bahkan meninggal dunia.
Dari latar belakang di atas, tambah Hamdani diperoleh inventarisasi masalah: Ritual itu sudah jarang dilakukan secara komunal atau perorangan. Ritual Malabuh dianggap ‘bid’ah’ dalam agama yang berujung kepada ‘sirik’ dan Langkanya narasumber yang menjelaskan ritual Malabuh.
Diakui Hamdani, tujuan dari penulisan ini adalah melestarikan nilai budaya yang ada dalam ritual Malabuh. Mewariskan nilai-nilai budaya leluhur serta menjaga hubungan spiritual antara manusia dengan alam.
Hamdani menjelaskan Sungai Karang Mumus yang menjadi lokus atau lokasi penelitian, karena melintasi 3 kecamatan di Kota Samarinda: Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan Sungai Pinang dan Kecamatan Samarinda Utara.
Sungai Karang Mumus (SKM) mempunyai panjang 34,7 Km, melintasi 8 Kelurahan: Karang Mumus, Sungai Dana, Sidodamai, Sidomulyo, Sungai Pinang Luar, Pelita, dan Sempaja Selatan.
Di sepanjang 34,7 Km itu SKM mempunyai 11 anak sungai: Sungai Lubang Puyang, Sungai Siring, Sungai Lantung, Sungai Muang, Sungai Selindung, Sungai Bayur, Sungai Lingai, Sungai Binangat, Sungai Tanah Merah, Sungai Lempake dan Sungai Bengkuring
Dalam pengamatan Hamdani, Malabuh sebagai ritual budaya yang beririsan dengan agama dan kepercayaan dikenal sejak 200 tahun lalu, sejak kedatangan orang-orang Banjar ke Kaltim, khususnya di sepanjang Sungai Mahakam dan terutama di bantaran Sungai Karang Mumus.
“Warga etnis Banjar itu membawa kepercayaan bahwa di mana ada sungai di situ ada penghuninya, seperti buaya yang dianggap mempunyai hubungan ‘kekeluargaan’ dengan manusia. Buaya, bahkan secara gaib menjadi saudara kembar atau ‘gampiran’ sementara manusia,” tutur Hamdani.
Selain itu, tambah Hamdani, ada kepercayaan, di dasar sungai ada kerajaan gaib yang bernama Kerajaan Buaya Kuning. Di bawah pimpinan seorang Raja Buaya Kuning yang sakti mandraguna. Raja ini kerap berhubungan dengan manusia di sekitar sungai.
Dan sementara warga yang bermukim di bantaran sungai pun mengakui ada hubungan dengan kerajaan Buaya tersebut. Ada komunikasi metafisika di antara mereka.
Di sisi lain ujar Hamdani, ada derajat hubungan di antara Buaya dan sementara warga. Buaya kerap disebut sebagai ‘Datu’ oleh warga. Dahulu, ketika ada orang yang berani menyebut tanpa ada sebutan ‘Datu’ pasti akan tertimpa bala. Biasanya dia disambar Buaya ketika berada di pinggir sungai atau sedang berenang.
“Hubungan manusia dengan buaya bukan sekadar fisik, tapi terkait dengan hal ihwal metafisik. Dalam arti ada hubungan yang tidak bisa dilogikakan,” ungkap Hamdani menerawang.
Pada kurun waktu tertentu, sementara warga melabuhkan seperangkat makanan ke sungai. Dengan tujuan untuk memberi makan para ‘Datu’ agar hajat warga itu terkabul, seperti hendak menikah, atau penyakit yang sulit disembuhkan.
Bahkan ada pula ritual rutin Malabuh dari sementara warga. Apabila ritual rutin tidak dilaksanakan ada anggota keluarga yang tertimpa musibah, minimal sakit.
“Ritual rutin biasanya dilakukan oleh sementara warga yang merasa hubungannya sangat dekat dengan ‘Datu’,” papar Hamdani.
Menurut Hamdani, Malabuh biasanya dilaksanakan warga pada saat selepas shalat wajib. Paling sering sore hari atau usai shalat Isya. Dengan membawa makanan yang dimasukan ke dalam nampan atau piring, warga ‘membuang’ atau malabuh di pinggir sungai. Kalau pun malabuh nya di tengah sungai, maka akan menggunakan perahu atau jukung.
Ritual Malabuh biasanya diiringi dengan doa-doa, serta makanan atau penganan diletakkan di atas nampan yang akan dilabuh ke sungai berisikan: Ketan yang dibentuk kerucut, telur ayam beberapa butir, bunga-bungaan, pisang (kepok, raja atau mahuli) beberapa sisir, beberapa batang rokok (opsional), beberapa helai daun kelor (opsional), beberapa jenis kue, seperti cucur, apam dan lainnya.
Ritual Malabuh, tekan Hamdani mempunyai nilai dan fungsi yaitu Malabuh mempunyai nilai budaya, lantaran ada nilai-nilai luhur budaya yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Malabuh adalah kearifan lokal, yang dapat dimaknai sebagai adanya hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Malabuh juga mempunyai fungsi sosial. Pada saat melaksanakan ritual Malabuh, warga berkumpul, saling bersilaturahmi dan berdoa bersama.
Diharapkan Hamdani, instansi terkait menginventarisasi ritual Malabuh yang dilaksanakan di beberapa kawasan di bantaran Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus dan anak sungai lain di seputaran Kota Samarinda. Mengusulkan ritual Malabuh sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia, melalui Disdikbud Provinsi Kalimantan Timur.#
Penulis|Editor: Hoesin KH
Comments are closed.