BeritaKaltim.Co

Guru Mogok Mengajar di Kutai Barat, Protes Pemotongan TPP yang Dinilai Diskriminatif

BERITAKALTIM.CO – Ratusan guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, memilih tak masuk kelas. Mereka tak lagi berdiri di depan papan tulis, tak lagi menyapa siswa dengan daftar hadir.

Sejak awal pekan ini, mereka melakukan aksi mogok mengajar sebagai bentuk protes terhadap pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang dinilai tidak adil.

Di halaman SMP Negeri 1 Barong Tongkok, puluhan guru berkumpul dalam keheningan yang terasa pekat. Bukan karena tak ada suara—tapi karena suara mereka sudah lama tak didengar.

“Kami tidak meminta lebih, hanya keadilan, TPP kami dipotong, padahal rekan ASN di jabatan struktural tetap menerima penuh. Di mana letak keadilannya?” kata Muhammad Muttaqin, guru di sekolah

Dalam struktur penggajian ASN, dikenal istilah “kelas jabatan” yang menjadi acuan besaran TPP. Tapi para guru menyebut sistem ini hanya formalitas belaka.

“Dalam praktiknya, untuk kelas jabatan yang sama, ASN struktural bisa menerima Rp7 juta, sedangkan kami guru hanya Rp3,5 juta, Ketika dipotong Rp1 juta, mereka masih terima Rp6 juta. Kami tinggal Rp2,5 juta.”ujarnya.

Kesenjangan ini, kata para guru, bukan hanya soal angka. Tapi menyangkut rasa keadilan, martabat, dan pengakuan terhadap kerja keras mereka membentuk masa depan generasi Kutai Barat.

“Guru itu bukan hanya profesi, tapi panggilan. Tapi bagaimana kami bisa menjawab panggilan itu, kalau kami sendiri diperlakukan seperti warga kelas dua?” kata seorang guru lainnya, yang enggan disebutkan namanya.

Aksi mogok ini, menurut Muttaqin, bukan keputusan gegabah. Ia menyebut para guru telah menempuh berbagai jalur formal mulai dari dialog dengan Dinas Pendidikan, audiensi ke DPRD, hingga Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

“Tahun lalu Bupati sempat bilang guru akan disetarakan. Tapi setelah itu justru muncul kabar akan ada pemotongan lagi. Bagaimana kami bisa percaya?” katanya.

Desas-desus terbaru menyebutkan bahwa pada 2026 mendatang, TPP guru akan kembali dipangkas hingga 35 persen.

“Kalau itu benar terjadi, maka kami akan kehilangan lebih dari separuh penghasilan di luar gaji pokok. Padahal kebutuhan hidup terus naik, dan guru tetap diminta mengajar maksimal.” katanya.

Aksi mogok ini memicu kekhawatiran para orang tua siswa. Tapi para guru menegaskan bahwa mogok bukan bentuk pengabaian terhadap murid, melainkan upaya terakhir untuk menyelamatkan masa depan pendidikan.

“Kami tidak egois. Justru karena kami peduli terhadap anak-anak, kami ingin sistem ini dibenahi. Kalau tidak, bagaimana pendidikan bisa bermutu jika gurunya tidak dihargai?” tuturnya.

Para guru bersikukuh, mogok akan terus berlanjut hingga ada jaminan tertulis dari pemerintah.

“Selama belum ada kepastian hitam di atas putih, kami tidak akan kembali mengajar. Kami siap kembali ke sekolah kapan saja—asal keadilan itu benar-benar diberikan, bukan janji kosong,” pungkasnya.

Reporter : Yani | Editor : Wong

Comments are closed.