BERITAKALTIM.CO-Kasus perundungan dokter residen junior Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang telah mencapai bagian akhir.
Pengadilan Negeri (PN) Semarang telah menghukum tiga pelaku dalam tindak pidana yang berkaitan dengan pemerasan terhadap para peserta program dokter spesialis yang menempuh pendidikan di Rumah Sakit (RS) Dr Kariadi Semarang.
Tiga pelaku dalam tindak pidana pemerasan terhadap mahasiswa peserta PPDS Anestesi tersebut masing-masing Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip Semarang Taufik Eko Nugroho, staf administrasi Prodi Anestesiolog Fakultas Kedokteran Undip Semarang Sri Maryani, serta dokter senior PPDS Anestesi Undip Semarang Zara Yupita Azra.
Kaprodi Anestesiologi Undip dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, sedangkan Sri Maryani, stafnya, dihukum 9 bulan penjara
Sementara Zara Yupita Azra yang merupakan salah satu peserta PPDS Undip angkatan 76 dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin yang mengadili perkara tersebut menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut.
Kaprodi Anestesiologi Taufik Eko Nugroho memerintahkan para mahasiswa PPDS anestesi untuk menyetorkan sejumlah uang yang disebut sebagai biaya operasional pendidikan.
Perbuatan itu terjadi selama kurun waktu 2018 hingga 2023.
Total uang yang disebut sebagai biaya operasional pendidikan yang terkumpul selama kurun waktu tersebut mencapai Rp2,49 miliar.
Hakim menilai terdapat relasi kuasa bersifat hierarkis yang mengakibatkan para dokter residen tersebut tidak mampu menolak pengumpulan uang yang ditujukan untuk keperluan ujian itu.
Sementara terdakwa Zara Yupita Azra yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76 yang meminta para residen angkatan 77 membayar iuran yang digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional selama menjalani pendidikan.
Iuran yang harus dibayarkan tersebut diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan, seperti penyediaan makan hingga membiayai joki tugas residen senior.
Selain itu, terdapat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh residen junior akibat adanya sistem hierarki di lingkungan lembaga PPDS anestesi tersebut.
Beberapa wujud hierarki yang sudah dianggap sebagai tradisi dan harus dihapuskan itu antara lain sistem tingkatan antarangkatan yang berlaku turun-temurun, serta pemberlakuan pasal dan tata krama anestesi dari senior terhadap junior.
Perbuatan terdakwa dinilai tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau.
Kematian Aulia Risma
Perkara hukum yang berujung di meja hijau tersebut bermula dari meninggalnya Aulia Risma Lestari, seorang dokter peserta PPDS Anestesi Undip pada 12 Agustus 2024.
Dokter muda asal Kota Tegal tersebut setahun yang lalu ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang.
Muncul dugaan Aulia Risma meninggal dunia akibat bunuh diri.
Residen PPDS Undip angkatan 77 tersebut diduga meninggal dunia terkait dengan perundungan di lembaga pendidikan kesehatan itu.
Pada September 2025, keluarga Aulia Risma resmi melaporkan kematian dokter muda itu ke Polda Jawa Tengah.
Perkara terus bergulir hingga akhirnya pada Januari 2025, Polda Jawa Tengah menetapkan tiga tersangka.
Meski bermula dari kematian Aulia Risma, penanganan kasus tersebut meluas ke perkara penarikan uang dari para mahasiswa PPDS semester awal.
Respon Kemenkes
Munculnya dugaan perundungan di lembaga pendidikan pencetak dokter spesialis tersebut juga langsung direspon oleh Kementerian Kesehatan.
Kemenkes menerbitkan sebuah surat dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang penghentian sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi Semarang.
Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara pembelajaran tersebut berkaitan dengan dugaan perundungan yang memicu bunuh diri salah seorang mahasiswi program studi tersebut.
Penghentian sementara itu dilakukan menyusul adanya investigasi yang dilakukan oleh kementerian atas peristiwa tersebut.
Penghentian sementara tersebut agar penyelidikan ini bisa dilakukan dengan cepat, bersih, dan transparan, bebas dari intimidasi.
Kementerian Kesehatan merasa tidak bisa lepas tangan dari perkara tersebut karena korban juga menempuh pendidikan di lingkungan RSUP Kariadi Semarang yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Kemenkes.
Penutupan PPDS Anestesi Undip tersebut tidak berlangsung selamanya.
Pada Mei 2025, Kemenkes kembali membuka program pendidikan tersebut di RS Kariadi Semarang.
Kemenkes menyebut proses evaluasi telah menuntaskan 35 langkah perbaikan tata kelola yang diaudit oleh dua lembaga pengawasan internal kementerian.
Kemenkes juga sudah membuka kanal pelaporan yang memungkinkan siapa saja mengirimkan laporan jika menemukan atau mengalami perundungan, sebagai bagian dari komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan sehat.
Pembukaan kembali PPDS anestesi di RSUP Dr Kariadi Semarang sebagai momentum pemulihan kepercayaan dan penguatan sinergi institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Selain tindakan tegas Kemenkes yang sempat menutup sementara program PPDS Anestesi Undip di RS Kariadi, sanksi hukum terhadap tiga pelaku pemerasan terhadap peserta program pendidikan itu diharapkan menjadi momentum penghapusan praktik perundungan di dunia kesehatan.
Patut ditunggu, apakah di kemudian hari masih terjadi praktik-praktik perundungan maupun pemerasan terhadap para dokter junior tersebut kembali terulang?
Lembaga pendidikan harus lebih tegas dalam menghapus praktik senior-junior di lembaga pencetak dokter spesialis itu.
ANTARA|Wong|Ar
Comments are closed.