HANIF Faisol Nurofiq, sebagian perjalanan hidupnya berada di tanah Kalimantan. Lulus S1 dan S2 Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ia berkarir menjadi pegawai negeri di provinsi itu.
Lulusan fakultas kehutanan di universitas manapun, selalu diberi label; rimbawan. Termasuk Joko Widodo, Presiden RI ke-7 yang diakui jebolan fakultas kehutanan Universitas Gajahmada (UGM).
Nah, Hanif juga seorang rimbawan. Sebagai seorang rimbawan, dia mengenal dengan jelas isi perut hutan Kalimantan. Termasuk satwa-satwa dan tanaman langka di Bumi Borneo.
Itu sebabnya, dia nampak terlihat gelisah saat mendapatkan laporan data dari aktivis konservasi ikan pesut Mahakam.
“Populasi pesut Mahakam tercatat hanya tersisa 62 ekor,” ujar Hanif di hadapan Wartawan yang mengikuti perjalanannya ke Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, 3 Juli 2025 lalu.
Ada Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud di situ. Ada Bupati Kutai Kartanegara Aulia Rahman Basri yang terus menyertai perjalanan Hanif yang sekarang dipercaya Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Hanif tanpa ragu menceritakan;
“Dulu, ketika saya datang ke daerah ini sekitar 25 tahun lalu, saya masih bisa melihat pesut muncul hingga ke tepian Samarinda. Hari ini, mereka terkonsentrasi di wilayah tertentu saja. Ini alarm bagi kita semua bahwa habitat mereka terus terdesak,” ujar pria kelahiran 21 Maret 1971 itu,
Ucapan Pak Menteri sejenak menghipnotis para pemangku kepentingan yang ikut dalam rombongan. Mereka terdiam, karena pernyataan itu sama persis dengan cerita warga di sepanjang tepian Sungai Mahakam.
Populasi pesut Mahakam yang dalam bahasa latin bernama Orcaella brevirostris, berada di level merah, berbahaya, menjelang punah.
“Kita yang memiliki kekuasaan dan kewenangan harus hadir penuh dalam penyelamatan ini. Kita tidak bisa lagi hanya berwacana. Kita harus menyusun langkah-langkah antisipatif untuk menjaga ekosistem agar tidak mudah rusak, mengendalikan aktivitas yang tidak ramah lingkungan, serta melakukan langkah preventif terhadap penyebab kematian pesut,” titah sang Menteri.
Sungai Desa Pela “Rumah” Pesut
Desa Pela yang dikunjungi Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, berada di anak Sungai Mahakam. Jaraknya dari Kota Samarinda (Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur) sekitar 4 jam perjalanan darat menggunakan mobil. Tapi, kemudian harus menyambung menumpang perahu motor sekitar 30 menit dari pelabuhan rakyat Kota Bangun.
Di kawasan perairan inilah diyakini tempatnya pesut- yang kerap disebut ikan lumba-lumba air tawar, mampu bertahan hidup, walau populasinya kian menipis.
Seringkali warga menemukan ikan pesut mati, mengambang jauh sampai luar perairan Desa Pela, Catatan dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) menyebutkan, faktor-faktor penyebab matinya ikan pesut, 66 persen akibat terjebak jaring nelayan jenis rengge. Kemudian 10 persen tertabrak kapal.
Ada juga, 5 persen akibat faktor usia, keracunan dan terkena setrum listrik. Dan, sebesar 9 persen, disebabkan hal lainnya.
Bagi warga Desa Pela yang pada tahun 2024 lalu berpenghuni 598 jiwa atau sekitar 175 KK (Kepala Keluarga), kedatangan para pejabat seperti Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Gubernur maupun bupati, ke desa mereka bukan hal istimewa lagi.
Desa mereka termasuk salah satu desa tersohor. Tiap tahun ada saja pejabat tinggi negeri yang datang. Mereka datang hanya karena satu alasan; di sana tempatnya habitat pesut.

Kalau sekarang tersisa 62 ekor, warga Desa Pela termasuk yang paling merasakan kesedihannya. Itu berarti, desa mereka bakal kian berubah sepi kunjungan, karena tidak ada lagi alasan pejabat maupun wisatawan datang.
“Ikan pesut jadi alasan wisatawan berdatangan ke desa kami. Kalau pesutnya sudah punah, gak tahu jadi apa desa ini,” ucap Bobby, salah seorang pengurus Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) B3 atau Bekayuh Baumbai, Bebudaya.
Bobby yang juga berstatus pejabat Desa Pela, tepatnya sebagai Wakil Ketua BPD (Badan Pemusyawaratan Desa) mengatakan, sektor wisata menjadi salah satu pendorong ekonomi warga desa itu.
Tamu-tamu yang datang, baik lokalan dalam negeri maupun mancanegara, akan bermalam di desa itu dengan tujuan bisa menemukan kehidupan ikan pesut di sungai. Bahkan ada yang berminggu-minggu tinggal di sana.
Selama berada di desa itu, maka ada kebutuhan wisatawan yang harus terpenuhi. Seperti penginapan, transportasi sungai, kemudian makanan.
“Wisatawan ini membelanjakan uangnya di desa Pela dan otomatis membuat pendapatan warga bertambah,” ucap Bobby.
Itu sebabnya, warga tak menginginkan ikan pesut sampai punah. Mereka berjuang mempertahankan dengan cara apapun.
Perjuangan panjang yang tidak mudah. Dimulai dari meningkatkan kesadaran warga, Sebab warga nelayan menggunakan jaring ketika mencari ikan. Bahkan ada yang main racun dan setrum, yang sangat berisiko jika terkena ikan pesut.
Seorang tua Desa Pela bernama Yusni, 77 tahun, berbagi cerita tentang situasi ancaman terhadap ikan pesut.
“Dulu ikan pesut di sini diburu dan dibawa ke jakarta,” cerita Yusni.
“Tahun 1974,” kata Yusni.
Rombongan itu mengaku ingin meneliti dan melestarikan ikan Pesut Mahakam. Belakangan mereka memboyong 6 ekor ikan pesut, dalam tiga kali angkutan.
Jejak digital ‘perburuan’ ikan Pesut ini terlihat dalam postingan di akun media sosial YouTube. Berupa dokumenter dengan film hitam-putih.
“Warga di sini diajak ikut menangkap pesut dan kemudian dikasih uang kerja,” kenang Yusni lagi.
Kalau sekarang, Yusni melanjutkan ceritanya, warga Desa Pela tidak mau lagi diajak ‘berburu’ ikan pesut. Sudah tumbuh kesadaran bersama, bahwa ikan pesut merupakan jenis satwa langka yang harus dilindungi.
“Kesadaran warga sudah tumbuh. Malah sekarang kita menjaga bersama agar tidak ada lagi ikan pesut mati kena setrum, kena racun, atau nyangkut di jaring nelayan,” kata dia.
Perdes Konservasi Pesut
Tahun 2018, para petinggi Desa Pela bersama masyarakat di sana menyepakati lahirnya sebuah peraturan desa (Perdes). Bukan sekadar perdes biasa, tapi sebuah pengakuan hukum masyarakat desa, bahwa ikan pesut harus dilindungi manusia.
Nama lengkapnya; Perdes Nomor 2 Tahun 2018, tentang Konservasi Pesut. Di situ diatur mengenai penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan, larangan membuang sampah ke sungai dan juga penetapan kawasan zona inti di mana siapapun tidak boleh melakukan aktifitas mencari ikan.
Peraturan Desa tentang Konservasi Pesut sudah ada. Tapi tetap saja habitat ikan pesut tidak benar-benar sudah aman. Sebab, perairan di Desa Pela, bersambung dengan desa-desa tetangga lainnya.
Ikan pesut mampu menjelajah antardesa, bahkan antarkabupaten sepanjang Sungai Mahakam.
Dari sisi geografis, sungai Desa Pela itu terhubung dengan 3 danau; Danau Semayang Kutai Kartanegara (13.000 ha), Danau Melintang Kutai Kartanegara (11.000 ha), dan Danau Jempang Kutai Barat (15.000 ha).
“Melindungi pesut tidak cukup dengan peraturan desa pela. Harus ada yang lebih tinggi mengatur antar desa dan kabupaten sepanjang sungai mahakam,” usul Bobby.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq juga memahami, sebuah Perdes tak mampu untuk melindungi ikan pesut dari kepunahan.
Ada banyak indikator yang menjadi biang keladi matinya ikan pesut. Mutu air sungai juga harus diperhatikan. Sebab di sebelah hulu terjadi pengelupasan lahan, di mana air dari sebelah hulu mengalir membawa lumpur dan mengakibatkan sedimentasi di sepanjang Sungai Mahakam.
Hanif menyebutkan, pihaknya akan segera melakukan pemetaan dan pengawasan lingkungan terhadap aktivitas di hulu Sungai Pela. Ia mensinyalir aktivitas di hulu menyebabkan sedimentasi tinggi dan mempercepat kerusakan habitat pesut.
“Kalau dari hasil mapping nanti ditemukan aktivitas yang menyebabkan degradasi lingkungan, maka kami akan mengambil langkah-langkah pengawasan dan penegakan hukum secara tegas, baik secara pidana maupun perdata,” ujarnya.
Kali ini, untuk melindungi pesut dan ‘rumah’ lingkungannya, dibutuhkan kerja sama lintas sektor, termasuk dukungan penuh dari pemerintah provinsi dan kabupaten.
Dalam kalimat akhirnya, Menteri Hanif menekankan; bahwa keberhasilan konservasi pesut Mahakam harus dapat diukur secara nyata melalui peningkatan populasi dalam waktu yang terukur.
“Kita tidak akan menilai dari rencana aksi atau laporan di atas kertas, tetapi dari hasil nyata di lapangan. Kalau tahun depan populasi pesut Mahakam tidak meningkat dari angka 62 ekor yang tercatat hari ini, maka itu artinya kita belum berhasil. Ini ukuran kinerja yang bisa dinilai masyarakat,” ujar Hanif.
Aktivis Bule dari Belanda

Kalimat tajam Menteri Hanif saat berada di Desa Pela, menohok Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dan Bupati Kutai Kartanegara Aulia Rahman Basri. Juga para pemangku kepentingan yang hadir.
Salah satunya ada Danielle Kreb, seorang perempuan bule dari Belanda yang telah menyatu dengan pesut Mahakam.
Selama 28 tahun, tepatnya sejak 1997 tiba di Indonesia, Danielle Kreb mendedikasikan hidupnya untuk mamalia sungai yang hampir punah itu. Kemudian dia memimpin program ilmiah di bawah organisasi swadaya masyarakat (LSM) Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI).
Warga Desa Pela menjuluki Danielle Kreb yang telah menikah dengan pria Indonesia, Budiono, sebagai “Ibu Pesut Mahakam”.
“Pesut itu punya suara, tapi manusia sering tak mau mendengarnya,” ujarnya suatu kali dengan mata yang berbinar.
Dia telah banyak menggali cerita rakyat tentang pesut bagi masyarakat setempat. Menurut legenda rakyat, pesut adalah penjelmaan dua anak manusia yang melanggar pesan ibunya dan berubah menjadi makhluk air setelah melompat ke sungai karena kepanasan.
Danielle menghormati cerita-cerita itu, bukan sebagai mitos kosong, tapi sebagai jembatan budaya dan konservasi.
“Mereka punya koneksi erat dengan pesut karena ada legendanya dan karena mereka terhibur,” tutur Danielle, yang fasih berbahasa Indonesia.
Ia menyadari, pelestarian pesut tidak bisa hanya dengan pendekatan ilmiah, tapi juga dengan memahami nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.
Kepada Menteri Hanif, Danielle Kreb bercerita sangat dalam tentang kondisi pesut terkini. Termasuk kondisi lingkungan dan ancaman yang membuat pesut mati. Dia juga menguraikan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kematian spesies langka itu.
Salah satunya adalah inovasi sederhana, membuat alat akustik bawah air bernama “pinger”.
“Pinger” adalah perangkat kecil yang memancarkan bunyi ultrasonik agar pesut tidak mendekati jaring nelayan. Ide itu terinspirasi dengan teknologi yang digunakan perusahaan minyak di laut dan memodifikasinya agar cocok dengan kondisi Sungai Mahakam.
“Ternyata itu solusi yang adil. Nelayan senang karena rengge mereka tidak rusak, dan pesut selamat,” jelas Danielle.
Kini, lebih dari 250 pinger, disponsori PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) telah dipasang di jaring nelayan di Mahakam.
Hasilnya, Danielle menjelaskan, angka kematian pesut akibat rengge turun signifikan. Bahkan teknologi ini kini digunakan juga di India, Pakistan, dan Brasil untuk melindungi lumba-lumba sungai lain.
Kehadiran PT Pertamina Hulu Mahakam
Cerita tentang ‘pinger’ yang dipasang di jaring nelayan, diceritakan juga oleh Isna Hakiman, dari Community Development PT PHM (Pertamina Hulu Mahakam).
“Ya, itu salah satu program yang kami kerjakan,” ujarnya.
Sejak 1 Januari 2018 beroperasi mengelola WK (Wilayah Kerja) Mahakam yang dulu dikenal dengan nama Blok Mahakam, PT PHM terpanggil untuk ‘cawe-cawe’ melakukan konservasi pesut Mahakam.
Setelah melewati diskusi panjang dengan para pemangku kepentingan, akhirnya perusahaan di bawah PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) itu menurunkan program dengan judul; Komik Pesut Mahakam.
Komik adalah singkatan dari konservasi endemik. Jadi, jelas. basis kegiatan program PHM adalah konservasi satwa terancam punah.
Dari data yang diterima, status konservasi sudah sampai tahap terancam tingkat CR (Criticall Endangered). Levelnya sudah mengerikan, tinggal setingkat lagi levelnya menjelang punah.
“Ini alarm bagi kita semua”.
Oleh: Charles Siahaan, Wartawan Beritakaltim.co
Comments are closed.